KSK/Pegawai BPS Kabupaten Cianjur.
Baru-baru
ini Bank Dunia (Word Bank) merilis
indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing
Business (EoDB) di Indonesia. Kemudahan berusaha Indonesia rangking ke-73,
yang tahun sebelumnya sempat ranking ke-72. Reformasi aturan berinvestasi harus
dilakukan secara radikal baik pusat maupun daerah jika ingin mencapai target
rangking ke-40 dalam kemudahan berbisnis. Bagaimana bisa mendatangkan investor
datang ke Indonesia jika aturan main masih di pandang berbelit-belit. Kurang
bersahabatnya aturan main berinvestasi mengakibatkan Indonesia tertinggal jauh
dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia juga Vietnam.
Tak
dipungkiri salah satu untuk menggerakkan roda perekonomian supaya tumbuh
positif harus di topang dengan investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) merilis di mana total investasi baik PMDN maupun PMA pada Triwulan
III-2018 turun sebesar 1,6% jika dibandingkan dengan Triwulan III-2017. Dengan
total investasi adalah sebesar Rp 173,8 triliun. Dari jumlah tersebut porsi
penanaman modal asing (PMA) tercatat sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20,2%
dibandingkan pada periode yang sama 2017 yang tercatat sebesar Rp 111,7
triliun. Sementara, penanaman modal dalam negeri (PMDN) naik menjadi Rp 84,7
triliun atau 30,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni
sebesar Rp 64,9 triliun.
Walaupun
realisasi investasi selama Januari-September 2018 untuk PMDN dan PMA sebesar Rp
535,4 triliun mengalami kenaikkan 4,3% dibandingkan periode yang sama tahun
2017 sebesar Rp 513,2 triliun. Akan tetapi pertumbuhan investasi periode Januari-September
2018 mengalami perlambatan dibandingkan dengan laju investasi sepanjang 2017
sebesar 13,1% dengan realisasi investasi PMA dan PMDN sebesar Rp 692,8 triliun.
Pertumbuhan yang positif juga terlihat sepanjang tahun 2016 dimana realisasi
investasi PMA dan PMDN sebesar Rp 612,8 triliun atau tumbuh sebesar 12,4%.
Perlambatan
investasi akan menjadi catatan buruk Pemerintahan Jokowi-JK yang akan berakhir
pada tahun 2019 nanti. Sebenarnya kebijakan yang mendorong untuk meningkatkan
investasi banyak dilakukan Kabinet Jokowi dengan serangkaian stimulus ekonomi. Target
pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen akan sulit tercapai karena faktor
internal juga lesunya ekonomi dunia dan belum redanya perang dagang Amerika-Tiongkok.
Walaupun demikian, di topang dengan tingkat konsumsi yang masih tinggi di
triwulan III-2018 ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,17 persen (BPS).
Penurunan
kinerja investasi sepanjang Januari-September 2018 tercermin pada kinerja
ekspor Indonesia. Kondisi ini terlihat dengan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/ CAD) akibat
pertumbuhan impor yang tinggi dibandingkan dengan peningkatan ekspor. Berdasarkan
data BPS, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia antara bulan Januari hingga
September 2018 sebesar US$ 134,99 miliar, sedangkan nilai impor sebesar US$
138,78 miliar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia antara Januari hingga
September terjadi defisit sebesar US$ 3,79 miliar.
Kinerja
investasi yang kurang memuaskan juga terlihat dengan masihnya tingginya tenaga
kerja yang belum terserap pasar tenaga kerja. BPS mencatat per Agustus 2018
masih ada 7 juta orang yang masih menganggur. Dengan rincian lapangan usaha
yang banyak menyerap tenaga kerja masih di dominasi oleh pertanian sebesar
28,79%, perdagangan sebesar 18,61% dan industri pengolahan sebesar 14,72%.
Mengingat
peranan investor sangat penting untuk kegiatan investasi dalam menopang pertumbuhan
ekonomi nasional. Menurut Ketua Umum Apindo yang di kutip dari berita
Sindonew.com “Tanpa dukungan dan komitmen Kepala Daerah, maka hampir mustahil
untuk merealisasikan investasi di Indonesia. Mengingat perizinan usaha
merupakan kewenangan Kepala Daerah seperti IMB, SIUP, dan TDP. Oleh karena itu
perlu spirit utama terletak pada komitmen percepatan penyederhanaan regulasi
perijinan usaha dan investasi”.
Masih
sulitnya berbisnis di Indonesia dapat di lihat dari para birokrasi di daerah
yang meraup keuntungan dari perizinan sehingga banyak Kepala Daerah atau ASN
yang berurusan dengan KPK. Menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio
(Kompas.com, 16/10/2018), “Perijinan sering kali di buat secara rumit agar bisa
dijadikan alat tawar-menawar yang menguntungkan. Untuk membuat kebijakan harus
ada peraturan perundang-undangan, filosofinya sampai hari ini harus ada syarat
izin. Karena izin itu komoditas paling laris di Indonesia, dengan izin uang
bisa di dapat. Proses perizinan di buat serumit mungkin sehingga orang nyuruh
minta tolong bayar atau nyogok”.
Untuk
mengatasi permasalahan perizinan, sebenarnya pemerintah mulai menerapkan Online
Single Submission (OSS) yang dapat memudahkan perizinan investasi dengan
memangkas rantai birokrasi. Keuntungan yang di dapat selain mempersingkat waktu
pengurusan, OSS juga dapat memangkas anggaran untuk membuat perizinan. Data
dari Bank Dunia menunjukkan adanya perbaikan indeks kualitas administrasi lahan
11,3 di tahun 2016/2017 menjadi 14,5
pada 2017/2018. Selain itu indikator
memperoleh kredit perbankan juga meningkat dengan ketersediaan informasi
kredit. Indikator lain yang meningkat adalah kinerja bidang penyelesaian
kepailitan. Tingkat pemulihannya sebesar 65 sen per dollar AS, hampir dua kali
lipat rata-rata regional sebesar 35,5 sen.
Untuk
lebih meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia, Kementerian Keuangan
memperbaiki proses bisnis. Kemudian meningkatkan konsistensi dalam implementasi
kebijakan. Langkah kebijakan yang akan dilakukan dengan menggunakan IT system
paying taxes dan e-filling, sehingga dalam pengurusan pajak tidak perlu datang
ke kantor pajak dan waktunya akan lebih efisien.
Dalam
proses memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia, Bank Dunia memberikan
sejumlah masukan sehingga ke depan bisa meningkatkan peringkat ease of doing business (EoDB). Salah satunya adalah mengambil manfaat dari reformasi
pada bidang-bidang di luar cakupan metodologi yang digunakan Bank Dunia dalam
membuat indikator-indikator penilaian EoDB. Sehingga akan mempengaruhi pada
daya saing global. Misalnya dengan cara menghilangkan batas kepemilikan saham
asing, mengurangi tarif bea impor, serta menurunkan hambatan untuk
mempergunakan tenaga asing berketerampilan tinggi.
Dalam
memperbaiki iklim investasi, Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(TKA), pada 26 Maret 2018. Keluarnya aturan tersebut ditujukan untuk
mendukung ekonomi nasional dan memperluas kesempatan kerja melalui peningkatan
investasi.
Dalam
Perpres ini menyebutkan, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dilakukan oleh Pemberi
Kerja tenaga kerja asing dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu
tertentu, yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja dalam
negeri. Akan tetapi perlu diperhatikan pemerintah, implementasi peraturan ini
harus benar-benar di tata dengan baik. Penggunaan tenaga asing harus yang
mempunyai keahlian tinggi dan adanya alih teknologi sehingga anak bangsa dapat
manfaatnya dengan mengusai teknologi dari program tersebut.
Sumber:
https://www.ayobandung.com/read/2018/11/16/40619/sulitnya-berbisnis-di-indonesia
16/11/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar