Oleh
: A. Saebani, SSi
Apakah
Indonesia sebagai negara agraris?. Menjadi pertanyaan di tengah masalah besar
mengenai masih adanya impor pangan. Kebijakan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan pangan dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata,
dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan,
dan ketahanan pangan nasional. Ironis,
petani sebagai tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk
Indonesia, hampir setengah dari jumlah rumah tangga miskin menggantungkan
hidupnya dari sektor pertanian.
Sumber
penghasilan rumah tangga dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi. Sumber
penghasilan menjadi indikator untuk melihat kesejahteraan, apakah digolongkan
ke rumah tangga miskin atau tidak miskin. Berdasarkan data hasil Susenas 2017,
secara umum rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian
sebesar 49,90 persen, sedangkan rumah tangga pertanian yang hidup tidak miskin
hanya sebesar 29,16 persen (Publikasi BPS 2017, hal : 29).
Indonesia
pernah berhasil dalam swasembada pangan pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto di tahun 1986. Namun kemudian kondisi tersebut belum pernah lagi
tercapai walaupun strategi pembangunan pertanian tiap pemerintahan berganti mempunyai
visi dan misi kedaulatan pangan. Tiap tahun Indonesia selalu melakukan impor
komoditas pangan seperti halnya beras dan jagung. Dengan catatan bahwa di era
Presiden Soeharto pun baru pertama kali, selebihnya Indonesia masih impor
pangan untuk memenuhi kebutuhan makan selama ini.
Ketika
dibuka kebijakan impor pangan pun kerap terjadi polemik di antara instansi
pemerintah sendiri. Tidak sedikit kritikan datang dari luar pemerintah, kenapa
negara agraris dengan sumber daya alam yang subur tidak bisa swasembada pangan.
Itu semua menjadi “PR” pemerintah untuk mencari solusi agar kebijakan impor
lambat laun di kurangi, sambil memperbaiki kekurangan dalam tata kelola
pertanian. Sehingga suatu saat nanti negara benar-benar melindungi petani dari
komoditas impor.
Kenapa
swasembada pangan sulit tercapai, bercermin dari perkembangan jumlah petani
selalu turun dari waktu ke waktu. BPS mencatat, hasil Sensus Pertanian (ST
2013) jumlah petani pangan sekitar 17,73 juta, berkurang sebesar 979 ribu atau
5,24 persen dibandingkan tahun 2003. Kondisi ini memperlihatkan bahwa profesi
menjadi petani sudah mulai ditinggalkan karena tidak menjamin kesejahteraan
keluarganya. Di lihat dari usia pun rata-rata yang bekerja di sektor pertanian
usianya 50 tahun ke atas (Kementerian Pertanian, 2015). Kondisi tersebut mencerminkan
bahwa penduduk generasi milenial lebih mencari pekerjaan di luar sektor
pertanian yang memberikan upah lebih menjanjikan.
Semangat
anak muda menjadi petani tergerus dengan berkaca dari sosial ekonomi kebanyakan
orang tua mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata
pendapatan per rumah tangga pertanian yang berasal dari usaha di sektor
pertanian di Indonesia sebesar 12,41 juta rupiah setahun. Dari besarnya
pendapatan tersebut, jika di lihat dari jenis usaha tanaman padi sebesar 3,14
juta rupiah atau sekitar 25,31 persen (BPS, 2013). Sebulan rata-rata pendapatan
dari sektor pertanian hanya sebesar 1,03 juta untuk menghidupi keluarganya.
Apakah layak untuk menghidupi istri serta anak-anak mereka?
Di
lihat dari kepemilikan dan penguasaan tanah, petani Indonesia mayoritas sebagai
petani gurem, dimana rumah tangga yang menguasai luas lahan kurang dari 0,5
hektar sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau 55,33 persen dari total yang
menguasai lahan pertanian. Dari data tersebut terjadi penurunan petani gurem
sebesar 4,77 juta atau 25,07 persen dibandingkan pada kondisi 2003 (BPS, ST 2013).
Dari
berbagai kondisi di mana lahan pertanian semakin berkurang akibat digunakan
berbagai proyek seperti jalan tol, perumahan, bandara, pelabuhan, pabrik, dan
infrastruktur. Hasil
metode Kerangka Sampel Area (KSA) 2018, menunjukkan luas baku sawah tahun
ini hanya 7,1 juta hektar atau turun 650 ribu hektar dari tahun 2013 yang
luasnya masih 7,75 juta hektar. Potensi produksi beras nasional tahun 2018
sebesar 56,54 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton
beras. Dengan melihat tingkat konsumsi beras nasional sebesar 111,58
kg/kapita/tahun atau 29,57 juta ton/tahun. Jika diasumsikan konsumsi beras yang
telah disesuaikan untuk tahun 2018 sama dengan
2017, maka selama 2018 terjadi
surplus beras sebesar 2,85 juta ton. Walaupun ada surplus beras nasional,
tetapi hanya mampu bertahan untuk konsumsi 1 bulan ke depan yang akan
mengganggu ketahanan pangan nasional.
Angin
segar pun datang untuk petani, melalui Peraturan Presiden yang ditandatangani
Presiden Jokowi dengan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Dalam Perpres ini disebutkan bahwa penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA). Dalam Perpres tersebut akan ada redistribusi tanah untuk
pertanian kepada Subjek Reforma Agraria dengan luasan 5 hektar sesuai ketentuan
TORA, serta pemberian sertifikat hak milik atau hak kepemilikan bersama.
Pelaksanaan
dari Perpres tersebut di atas harus tepat sasaran kepada hak-nya yakni petani
gurem yang memiliki luas tanah 0,25 hektar atau lebih kecil, petani penggarap,
buruh tanah, pekerja honorer dan lainnya, sesuai ketentuan subjek Reforma
Agraria. Jika tidak ada pengawasan di lapangan yang ketat tidak mustahil bukan
petani yang mendapatkan tanah TORA tetapi para oknum yang memanfaatkan
kesempatan tersebut.
Cita-cita
Indonesia untuk mencapai swasembada pangan kembali menjadi impian bersama. Mensejahterakan
petani kunci untuk mendorong semangat dalam bercocok tanam. Indonesia akan
sulit menjadi negara swasembada pangan jika sebagian besar petani masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Penulis sebagai KSK & Statistisi di BPS Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar