Oleh: A. Saebani, S.Si
Sejatinya proses demokrasi di
Indonesia harus menghasilkan para politisi yang bersih, amanah dan
berintegritas. Harapan besar para politisi terpilih, baik yang menjadi Bupati,
Gubernur, Presiden maupun anggota legislatif untuk mencurahkan segala daya dan
upaya dalam membangun negeri ini terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi,
masih banyak kasus korupsi terjadi di Indonesia baik yang ditangani oleh KPK
maupun Kejaksaan serta Kepolisian. Data KPK memperlihatkan (Detiknews.19/11/2018)
sudah total 104 kepala daerah menjadi tersangka, dari 37 kepala daerah tersebut
tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT). Di duga penyebab korupsi karena masih
kurangnya integritas dari para pejabat baik di pusat maupun daerah.
Perkembangan demokrasi Indonesia,
baik pada Pemilu maupun Pilkada menjadi parameter pembangunan politik dalam
negeri. Dana yang tidak sedikit dikucurkan negara untuk membiayai kegiatan
politik tersebut harus menghasilkan output demokrasi yang berkualitas. Salah
satu keberhasilan dari proses demokrasi bisa diukur dengan indeks demokrasi.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2017 sebesar 72,11 mengalami peningkatan
dibandingkan 2016 yang sebesar 70,09 (BPS). Dari capaian indeks demokrasi
Indonesia berada pada level “sedang” masih jauh dari tingkat baik yang harus
mempunyai skor di atas angka 80.
Bagaimana output dari demokrasi sudah
menghasilkan pemimpin yang diharapkan masyarakat?. Tak dipungkiri hasil demokrasi
di beberapa daerah mendekati arti dari demokrasi yang diharapkan. Contoh,
Ridwan Kamil merupakan hasil proses demokrasi yang baik sehingga pada Pilkada
pertama terpilih menjadi Wali Kota Bandung. Di Pilkada serentak 2018 juga
terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat. Begitu pun Presiden Indonesia, Joko
Widodo (Jokowi) diawali dari Wali Kota Solo, di Pilkada DKI Jakarta menjadi
Gubernur dan akhirnya menjadi Presiden RI pilihan rakyat pada Pilpres 2014. Tetapi
banyak juga hasil demokrasi menghasilkan para pemimpin korupsi tercermin dari
banyaknya hasil dari proses demokrasi berperkara dengan lembaga anti korupsi
KPK.
Seiring masih tingginya para oknum
politisi berurusan dengan hukum, tercermin data Indeks Perilaku Anti Korupsi
(IPAK) yang dirilis mengalami penurunan indeks. Nilai IPAK Indonesia 2018
sebesar 3,66 terjadi penurunan dibandingkan dengan 2017 sebesar 3,71 (BPS,
2018). Ini terbalik dari perkembangan hasil indeks demokrasi 2018 secara
nasional mengalami perbaikan. Seharusnya tingkat korupsi, baik itu di tingkat
kabupaten, provinsi maupun pusat mengalami penurunan tren terhadap tingkat
korupsi. Tetapi kenyataan tidak menjamin hasil demokrasi terbebas dari korupsi.
Tingginya biaya politik diduga sebagai penyebab tingkat korupsi di Indonesia
masih tinggi.
Walaupun persepsi atau pendapat
masyarakat dalam menilai perilaku anti korupsi tahun 2018 semakin baik,
tercermin dengan indeks persepsi sebesar 3,86. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat secara umum mengetahui baik, seperti memberi uang lebih untuk
memperlancar pelayanan publik itu bentuk korupsi. Tetapi dalam hal pengalaman atau
kegiatan sehari-hari justru dilakukan. Tercermin dengan indeks pengalaman anti
korupsi 2018 sebesar 3,57 lebih kecil dari pada IPAK sendiri sebesar 3,66. Ini
memperlihatkan bahwa masyarakat semakin mengetahui mana bentuk korupsi atau
bukan. Yang menjadi masalah perbuatan yang terus diulangi dan diulangi lagi walaupun itu bentuk perilaku korupsi.
Maka perlu adanya kesadaran dari
para pemimpin, birokrat, maupun masyarakat untuk tidak melakukan tindakan
korupsi dari hal paling kecil. Contoh jika diberi kendaraan dinas, maka tidak
boleh digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarga. Tidak boleh adanya uang
lebih, misal dalam hal mengurus KTP, SIM, Pasport maupun dokumen lainnya ke para
ASN yang membidangi pengurusan.
Dalam hal mendidik dari anak masuk
sekolah, banyak orang tua yang ingin anaknya di terima pada sekolah pavorit.
Sehingga sogok menyogok pun kerap dilakukan demi diterima di sekolah tersebut.
Ataupun keluarga yang mampu, justu membuat keterangan miskin karena ingin
anaknya diterima di sekolah pavorit. Melakukan pembiaran, misal di keluarga,
anak mengambil uang ataupun barang bukan miliknya. Itu bentuk perilaku anti
korupsi dari hal kecil. Jika dilakukan pembiaran dan permisif maka di saat
menjadi pemimpin rentan akan sekali melakukan korupsi.
Di bidang pelayanan publik,
penggunaan teknologi digital untuk mengurus dokumen kependudukan maupun
perizinan sangat diperlukan. Sehingga dalam melakukan pelayanan publik semakin
mudah dan waktu yang lebih cepat. Karena suburnya bentuk korupsi diakibatkan
oleh kesulitan dalam hal pelayanan publik.
Dalam proses demokrasi, baik itu Pilpres,
Pemilu maupun Pilkada serentak, perhatian negara dalam modal politik mestinya
harus ditingkatkan. Pemberian insentif untuk biaya saksi maupun biaya
operasional untuk para caleg, dan calon kepala daerah harus ditingkatkan. Karena
tidak sedikit para caleg maupun calon di Pilkada harus mempunyai modal besar
dalam berkampanye. Sehingga berpotensi ketika terpilih melakukan penyalahgunaan
wewenang serta melakukan korupsi.
Tak kalah penting, yang harus
diperhatikan dalam menimalisir pengeluaran operasional para caleg maupun para
calon Pilkada maupun Pilpres nanti. Bentuk sosialisasi ke pemilih harus segera
dirubah dari strategi kampanye tradisional menjadi kampenye digital. Jika
biasanya terjadi pengerahan massa secara besar-besaran diganti dengan kampanye
tatap muka secara online. Penyampaian visi dan misi disosialisasikan melalui
jejaring sosial media (Sosmed) ataupun bentuk Website dan youtube. Sehingga
pengeluaran bertatap muka fisik dapat
diperkecil karena memerlukan modal yang cukup tinggi.
Dengan beralihnya strategi kampanye
dari bentuk fisik (offline) ke kampanye online diharapkan sisi pengeluaran baik
itu untuk transportasi, akomodasi maupun lainya bisa dikurangi. Pesta demokrasi,
selain sebagai ajang mengukur seberapa tingginya tingkat partisipasi masyarakat
sebagai pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Paling penting proses demokrasi
tersebut menghasilkan calon para wakil rakyat dan pemimpin yang berintegritas.
Bekerja membangun bangsa dan negara dengan amanah.
A.
Saebani, SSi bekerja sebagai KSK dan Statistisi di Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa
Barat
Sumber: https://www.ayobandung.com/read/2018/11/26/40977/antara-demokrasi-dan-indeks-korupsi.
26/11/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar