Oleh:
A. Saebani, S.Si
KSK
& Statistisi Pertama di BPS Kabupaten Cianjur
Perumahan merupakan kebutuhan dasar di samping
kebutuhan pangan dan sandang. Program satu juta rumah yang di launcing pada tahun 2015 oleh Presiden
Jokowi dan menjadi salah satu proyek strategis nasional. Di saat program sedang digencarkan pemerintah, tetapi tidak sedikit
masyarakat berpenghasilan rendah masih banyak yang tinggal di rumah dengan status bukan milik sendiri alias sewa
ataupun kontrak. Disamping itu problema perumahan harus menjadi isu penting khususnya
pemerintah Jawa Barat dalam mendukung rumah yang sehat dan layak huni.
Dalam dunia
properti sering terdengar kata backlog,
yang mempunyai arti kesenjangan antara jumlah rumah yang terbangun dengan
jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat. Istilah backlog juga sebagai salah satu indikator dalam menghitung
kebutuhan terkait perumahan. Menurut Kementerian PUPR backlog perumahan di Indonesia sekitar 11,6 juta rumah bagi rakyat.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2017 di
Jawa Barat dimana persentase rumah tangga dengan penguasaan bangunan milik
sendiri baru mencapai 76,83 persen. Sisanya 11,06 persen, rumah tangga
menempati rumah dengan status sewa ataupun kontrak dan 12,11 persen dengan
status lainnya seperti rumah bebas sewa, rumah dinas dan status lainnya. Ini
menggambarkan bahwa backlog perumahan
di Jawa Barat masih tinggi sekitar 23,17 persen rumah tangga masih belum
mempunyai rumah milik sendiri.
Dengan melihat secara kewilayahan, di
perkotaan kepemilikan rumah dengan status milik sendiri lebih rendah, hal ini
karena sulitnya ketersedian tanah maupun harga lebih mahal. BPS mencatat status
rumah milik sendiri di perkotaan sebesar 71,77 persen. Sedangkan di pedesaan
status kepemilikan rumah sendiri sebesar 88,96 persen. Untuk itu pemerintah
Jawa Barat semestinya memihak rakyat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah
subsidi karena justru masyarakat yang berpenghasilan cukup yang bisa membeli
rumah subsidi pemerintah.
Disamping itu, menurut standar World Health Organization (WHO) tentang
rumah layak huni adalah dimana ukuran rumah mempunyai luas 10 m2 per
orang. Berarti jika rumah layak huni dan sehat menurut WHO dihuni oleh 4
(empat) orang maka luas minimal harus 40 m2. Sedangkan menurut
Kementerian PUPR luasnya adalah 9 m2 dan menurut kementerian
kesehatan luasnya 8 m2.
BPS mencatat hasil Susenas 2017, rumah
tangga yang mempunyai luas rata-rata ideal menurut kriteria Kementerian Kesehatan
sebesar 88,58 persen. Sedangkan menurut standar WHO dengan luas ideal ukuran
rumah mempunyai luas 10 m2 per orang sebesar 81,07 persen. Dengan
melihat angka tersebut berarti menurut Kementerian Kesehatan terdapat 11,42
persen dan menurut WHO sebesar 18,93 persen dimana rumah tangga di Jawa Barat
menempati rumah tidak layak huni.
Perilaku sehat merupakan indikator untuk
menentukan kemajuan pembangunan manusia. Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) merumuskan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau Suistanable Development Goals (SDGs). Salah satu tujuan SDGs ke
enam adalah menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi
berkelanjutan untuk semua. Salah satu indikator yang digunakan adalah dengan
menghitung persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan
sanitasi layak.
Salah satu poin dalam SDGs adalah ketersediaan air bersih, khusus untuk
kebutuhan air minum harus bersih dan berkualitas (layak). Air dikatakan layak
menajdi air minum apabila sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga
berasal dari ledeng, air terlindung (pompa/sumur bor, sumur terlindung, mata
air terlindung) dengan jarak ≥ 10 meter dari penampungan kotoran/limbah. BPS
mencatat dari hasil Susenas 2017, di Jawa Barat persentase rumah tangga yang
mengkonsumsi air minum layak sebesar 70,50 persen atau meningkat sebesar 2,88
persen dibandingkan keadaan tahun 2016.
Berdasarkan sumber air minum yang digunakan rumah tangga di Jawa Barat,
di perkotaan menggunakan air isi ulang sebesar 33,87 persen; sumur bor/pompa
sebesar 18,87 persen dan air kemasan 17,03 persen sebagai sumber air minum. Sedangkan
untuk daerah pedesaan sebagian besar menggunakan air minum dari sumur
terlindung sebesar 24,34 persen, air isi ulang sebesar 22,75 persen dan mata
air terlindung sebesar 15,79 persen sebagai sumber air minum. Ini
memperlihatkan bahwa rumah tangga baik yang tinggal di perkotaan maupun
pedesaan belum sepenuhnya menggunakan sumber air minum berasal dari ledeng.
Jika melihat biaya air dari ledeng lebih murah harganya. Akan tetapi melihat
kualitas air yang dihasilkan oleh ledeng belum sepenuhnya layak minum sehingga
masih kurang minat rumah tangga menggunakan dari perusahaan ledeng maupun PDAM.
Berdasarkan Susenas 2017, rumah tangga
yang tidak memiliki fasitas pembuangan air besar mencapai 7,44 persen. Di duga
dari 7,44 persen penduduk membuang air besar (BAB) di sembarang tempat. Masih
tingginya penduduk yang BAB tidak pada tempatnya harus menjadi perhatian serius
khususnya pemerintah Jawa Barat. Dengan meningkatkan edukasi dan sosialisasi perilaku
sanitasi yang sehat serta bantuan infrastruktur sanitasi kepada penduduk miskin
diharapkan dapat mengurangi BAB di sembarang tempat.
Dengan melihat masih tingginya backlog terhadap perumahan serta
tingginya tingkat rumah tidak layak huni. Pemerintah melalui Kementerian PUPR maupun
Pemda harus lebih memfokuskan diri dalam hal penataan perumahan swadaya yang
tidak layak huni dengan program Rutilahu. Maupun memberikan ketegasan supaya
pengembang benar-benar memberikan rumah subsidi untuk penduduk yang
berpenghasilan rendah bukan sebaliknya penduduk yang mempunyai penghasilan
tinggi yang diberikan kredit kepemilikan rumah.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar