Oleh: A. Saebani
KSK / Statistisi Ahli Pertama di Badan
Pusat Statistik Kabupaten Cianjur.
Pemilihan Legislatif
( Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan dilaksanakan secara serentak
pada 17 April 2019. Pertaruhan perkembangan demokrasi Indonesia akan menjadi
parameter demokrasi baik di tingkat regional maupun dunia internasional. Para calon wakil rakyat
akan “melamar pekerjaan” untuk lima
tahun mendatang. Sudah sepatutnya rakyat melek terhadap para calon wakilnya
yang akan duduk di kursi DPR/DPRD maupun DPD.
Salah satu
keberhasilan dari proses demokrasi bisa diukur dengan indeks demokrasi di
Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) pada 2016 hanya sebesar 70,09. Dibandingkan tahun sebelumnya justru
mengalami penurunan sebesar 2,73 poin, pada 2015 IDI sebesar 72,82. Indeks ini
menggambarkan perkembangan dan kemajuan demokrasi di Indonesia. Semakin
mendekati angka 100 nilai IDI semakin bagus perkembangan suatu negara dalam
berdemokrasi.
Merujuk IDI
2016, pengukuran indeks demokrasi terdiri dari tiga aspek yakni kebebasan sipil
mempunyai indeks paling tinggi sebesar 76,45. Yang kedua, aspek hak-hak sipil
mempunyai indeks sebesar 70,11, serta yang ketiga, aspek lembaga demokrasi
dengan indeks 62,05. Untuk lembaga domokrasi seperti KPU, Panwaslu dan lembaga
sejenisnya perlu diperkuat baik dari indepedensi maupun profesionalitas dalam
menjalankan proses demokrasi. Sehingga Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tiap
tahunnya bisa naik yang menggambarkan perkembangan demokrasi semakin membaik.
Adapun pada
tingkatan internasional, bagaimana dengan posisi Indonesia dalam indeks
demokrasi tersebuat. Media ternama Amerika Serikat, The Economist telah merilis Indeks Demokrasi Dunia (IDD) Tahun 2017
pada tanggal 30 Januari 2018. IDD memaparkan tentang penilaian keberlangsungan
demokrasi di berbagai dunia yang diukur dengan lima variabel. Kelima variabel
tersebut meliputi: pertama, proses elektoral dan pluralisme; kedua,
keberfungsian pemerintahan; ketiga, partisipasi politik; keempat, kultur
politik dan kelima yakni kebebasan sipil.
Berdasarkan rilis
dari The Economist, Indonesia dalam
indeks demokrasi sebesar 6,39 dan menduduki posisi ke 68 dari negara-negara di
dunia. Tahun 2017, posisi Indonesia berdasarkan indeks demokrasi dunia mengalami
penurunan 20 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Melihat pesta demokrasi
Indonesia, seperti Pilkada serentak yang menyita perhatian dunia internasional.
Dimana di sebagian daerah berjalan sesuai kaidah kebebasan sipil dan kultur
politik yang baik. Tetapi ada pula seperti Pilkada DKI Jakarta yang dibubuhi
isu-isu agama dan primordialisme. Dimana mengakibatkan menurunnya indeks
demokrasi Indonesia di tingkat dunia.
Dilihat dari
pembentukan indeks demokrasi dunia, dari aspek proses elektoral dan pluralisme
mempunyai indeks sebesar 6,92, aspek keberfungsian pemerintahan sebesar 7,14
yang merupakan skor tertinggi. Sedangkan
dari aspek partisipasi politik sebesar 6,67; kultur politik mempunyai indeks
sebesar 5,63 dan indeks kebebasan sipil sebesar 5,59 dan merupakan skor paling
rendah.
Dibalik
perkembangan demokrasi di Indonesia yang mulai membaik, tetapi output dari
demokrasi belum memuskan sepenuhnya oleh masyarakat sebagai pemilih. Hal ini
tercermin dari banyaknya hasil dari proses demokrasi berperkara dengan lembaga
anti korupsi. Masih banyaknya para wakil rakyat (anggota DPR, DPRD), dan juga
eksekutif seperti Bupati, Wali Kota, dan Gubernur menjadi terdakwa karena kasus
korupsi.
Berdasarkan data KPK, per 31 Mei 2018 lembaga
ini sudah melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian:
penyelidikan 76 perkara, penyidikan 85 perkara, penuntutan 50 perkara, dan
eksekusi 48 perkara. Dimana berdasarkan tindak pidana korupsi berdasarkan
profesi/jabatan anggota DPR/DPRD dengan jumlah 61 kasus. Disusul kasus pidana
korupsi yang dilakukan oleh Walikota/Bupati dan wakil dengan jumlah 13 kasus.
Banyak kasus
anggota legislatif dan eksekutif yang tersandung kasus korupsi akan menyebabkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi di Indonesia. Dari aspek
pembangunan akan terhambat karena sebagian anggaran yang harusnya dimanfaatkan
untuk kepentingan rakyat banyak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan
golongan. Akibat proyek pembangunan di
korupsi akan menyebabkan sarana dan prasarana yang dibangun tidak memperhatikan
kualitas sesuai semestinya.
Selain kasus korupsi yang ditangani oleh KPK
sebagai tolak ukur perkembangan anti korupsi di Indonesia. Untuk melihat sejauhmana perilaku anti
korupsi sudah dijiwai baik untuk rakyat biasa maupun pejabat publik. Ukuran
dalam menggambarkan perilaku masyarakat tersebut baik di keluarga, dilingkungan
masyarakat maupun pada pelayanan publik yakni dengan Indeks Perilaku Anti Korupsi
(IPAK). Merujuk pada data BPS terhadap Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
2017, menunjukan angka sebesar 3,71. Semakin mendekati angka 5 (lima)
menunjukan bahwa perilaku semakin anti korupsi. Berdasarkan indikator
pengukuran IPAK, aspek indeks persepsi anti korupsi mempunyai skor tertinggi
yakni sebesar 3,81. Sedangkan indeks pengalaman perilaku anti korupsi hanya
sebesar 3,60.
Merujuk pada
indeks tersebut, yang harus diperhatikan adalah indeks pengalaman yang hanya
sebesar 3,60. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat sudah mengetahui sesuatu itu bentuk perilaku korupsi tetapi
masih dilakukan kembali. Sehingga gejala permisif masih tinggi, seperti
memberikan barang atau uang untuk memperlancarkan urusannya, membiarkan ketika
mengetahui seseorang mengambil yang bukan haknya. Semua gejala tersebut
menunjukan bahwa perilaku anti korupsi masih rendah.
Pesta demokrasi
serentak yang akan diselenggarakan pada April 2019, selain sebagai ajang
mengukur seberapa tingginya tingkat partisipasi masyarakat sebagai pemilih
dalam menggunakan hak pilihnya. Paling penting proses demokrasi tersebut
menghasilkan calon para wakil rakyat dan pemimpin yang berintegritas. Bekerja
membangun bangsa dan negara dengan amanah. ***
Sumber:
Radar
Cianjur
11
Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar