Oleh : A. Saebani, SSi
Fungsional
Statistisi Ahli Pertama di BPS Cianjur Provinsi Jawa Barat
Istilah
revolusi industri dipopulerkan oleh Friedrick Engels dan Louis-Auguste Blanqui
di pertengahan abad ke-19. Revolusi industri 1.0 terjadi di Inggris pada tahun
1784 ditandai dengan penemuan mesin uap yang menitikberatkan dimulainya
mekanisasi yang menggantikan tenaga manusia. Revolusi industri 2.0 terjadi pada
akhir abad ke-19 yang ditandai dengan adanya mesin-mesin produksi dengan
bertenaga listrik yang digunakan untuk produksi massal dan menerapkan proses quality control.
Selanjutnya revolusi
3.0 dimuali dari tahun 1970 yang ditandai dengan penggunaan teknologi komputer
untuk otomasi manufaktur. Perkembangan ke arah “Revolusi Industri 4.0” ditandai
dengan teknologi sensor, interkoneksi, analisis data yang memunculkan gagasan
untuk mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam bidang industri.
Revolusi Industri
4.0 merupakan tahapan revolusi teknologi dengan mengubah cara beraktivitas
manusia dalam skala, ruang lingkup, kerumitan pelayanan, maupun proses produksi
supaya lebih sederhana, lebih cepat dan produktivitas lebih tinggi dari
biasanya. Revolusi digital dan era disrupsi teknologi adalah istilah lain dari
revolusi industri 4.0, yang memperlihatkan semua aktivitas terotomatisasi dan terkonektivitas
di semua bidang kehidupan. Penggunaan teknologi, pendekatan serta inovasi
terbaru yang menggabungkan dunia fisik, digital, dan manusia secara fundamental
akan mengubah pola hidup dan interaksi manusia.
Revolusi industri
4.0 tidak hanya mengubah pola perilaku manusia dalam berinteraksi, tetapi
secara signifikan merubah proses serta fundamental bisnis di zaman now. Melihat
dari tiga fase revolusi industri sebelumnya, kemajuan teknologi telah terbukti
membawa efisiensi, meningkatkan produktivitas, lebih mudah terhadap proses
produksi maupun distribusi barang dan jasa. Tetapi, ketika sumber daya manusia
(SDM) tidak siap untuk menghadapi serta menyesuaikan diri dengan teknologi akan
terjadi sebaliknya. Berbagai pekerjaan yang dikerjakan tenaga manusia perlahan
akan digantikan oleh robot yang dianggap lebih efisien dan mudah untuk diatur
dibandingkan manusia.
Tak terkecuali,
Jawa Barat sebagai Provinsi yang mempunyai penduduk terbanyak di Indonesia harus
siap dengan perkembangan teknologi 4.0. Menurut data BPS, pada tahun 2018
jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 48,68 juta jiwa dengan sex ratio 102,59. Untuk
angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 22,63 juta orang, mengalami kenaikkan
sebesar 237,12 ribu orang dibandingkan Agustus 2017. Yang menjadi permasalahan
adalah peningkatan jumlah angkatan kerja, tidak diikuti dengan peningkatan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Perkembangan TPAK pada Agustus 2018 sebesar
62,92 persen, atau mengalami penurunan sebesar 0,42 persen poin dibandingkan
dengan tahun yang lalu.
Penurunan TPAK
tersebut sebagai indikasi adanya perlambatan potensi ekonomi dari sisi pasokan
(supply) tenaga kerja. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah
daerah Jawa Barat untuk memprioritaskan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang unggul dan berdaya saing. Salah satu tantangan di era zaman now adalah
kompetisi di segala bidang kehidupan, maka literasi digital perlu ditingkatkan
khususnya untuk generasi milennial.
Peningkatan
kemampuan literasi digital bagi generasi milenial harus menjadi perhatian
pemerintah. Kemajuan teknologi digital akan menjadi tantangan bahkan ancaman
jika penduduk tidak mampu mempersiapkan diri dari teknologi tersebut. Kemajuan
teknologi seperti halnya revolusi teknologi 4.0 akan memberikan tingkat pengangguran
jika pemangku kebijakan tidak respon terhadap peluang serta dampak yang akan
diperoleh.
Kondisi ini
dapat dilihat dari rilis BPS, dimana tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat
yang terbilang cukup tinggi. Data memperlihatkan, pada bulan Agustus 2018 TPT
sebesar 8,17 persen lebih tinggi dari TPT nasional sebesar 5,34 persen. Perlu
menjadi perhatian serius Pemda Jawa Barat adalah TPT untuk Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) yang mendominasi diantara tingkat pendidikan lainnya yaitu
sebesar 16,97 persen, dan SMA (9,78 persen).
Keberadaan
pemerintah untuk lebih berperan dalam mendorong sumber daya manusia (SDM)
khususnya para lulusan vokasi seperti SMK untuk lebih meningkatkan keahlian
dalam literasi digital. Juga perlu adanya pemantapan sesuai kompetensi untuk retraining sehingga kemampuan dan
keahlian para lulusan SMK sesuai dengan harapan pemberi kerja atau keperluan
industri.
Menurut Prof.
Dr. H. Muhammad Yahya dalam menyongsong revolusi industri 4.0 di dunia
pendidikan vokasi adalah perlu adanya gerakan literasi baru. Penguatan literasi
baru tersebut sebagai penguat bahkan menggeser gerakan literasi lama. Gerakan
literasi baru dimaksudkan terfokus pada tiga litersi utama yaitu, 1) literasi
digital, 2) literasi teknologi, dan 3) literasi manusia. Tiga keterampilan ini
diprediksi menjadi keterampilan yang sangat dibutuhkan di masa depan atau di
era industri 4.0.
Selain mempersiapkan
SDM unggul yang mempunyai kemampuan literasi digital, literasi industri dan
literasi manusia. Pemerintah daerah juga perlu mengembangkan pelatihan program
lifeskill untuk mempersiapkan para generasi melenial khususnya para lulusan SMK
dan SMA untuk mengembangkan diri dengan kemampuan inovasi dan kreatif sehingga
mampu mempunyai kemampuan dalam beriwirausaha.
Sumber:
Radar Cianjur, 20-02-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar