19 Feb 2019

EDUKASI DAN PENYELAMATAN ANAK DARI STUNTING


Oleh : A. Saebani
Statistisi Ahli di BPS Cianjur –Jawa Barat
 Masalah anak mengalami stunting perlu menjadi perhatian serius pemerintah untuk segera diatasi. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) menunjukkan angka kejadian anak mengalami stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen, masih jauh dari angka ambang batas yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen.  Tingginya angka prevalensi anak mengalami stunting menjadi tantangan pemerintah dalam membangun sumber daya manusia (SDM) berdaya saing bahkan akan menjadi kerugian baik sosial mapun ekonomi.

Berbagai program pemerintah untuk menurunkan prevalensi terhadap masalah stunting mengalami kemajuan, walaupun perlu usaha dan kerja keras, cerdas serta tuntas dalam memperbaiki gizi penduduk Indonesia. Permasalahan stunting bermuara dari tidak cukupnya asupan gizi yang baik pada anak sebelum berusia dua tahun. Terkait profil stunting di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013) sebanyak 37,2%, atau sekitar 4 dari 10 anak Indonesia mengalami stunting. Pada 2018, prevalensi stunting turun menjadi 30,8% (Riskesdas 2018).
Patut diapresiasi, komitmen Presiden Joko Widodo menginginkan pengembangan dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi prioritas dalam RAPBN tahun Anggaran 2019. “Kembali lagi saya ingin menegaskan bahwa prioritas pengembangan sumber daya manusia menjadi tekanan dan perhatian dari setiap kementerian yang ada” kata Presiden Jokowi dalam pembukaan sidang Kabinet Paripurna dengan topik Nota Keuangan dan RAPBN tahun anggaran 2019 di Istana Negara (ANTARA News, 7/8/2018).
Anak yang tumbuh sehat akan menjadi generasi unggul ditengah persaingan dengan bangsa lain. Prioritas pembangunan di tahun 2019 perlu ditingkatkan dalam perbaikkan gizi, khususnya penurunan prevalensi anak yang mengalami stunting. Fenomena stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Stunting juga identik dengan perawakan pendek karena kekurangan gizi jangka panjang atau malnutrisi kronik. Hal ini juga bisa terjadi karena asupan nutrisi yang tidak optimal, atau bahkan kejadian stunting akibat dari terjangkitnya penyakit.
Prevalensi anak menderita stunting cukup tinggi akan menjadi beban negara, hal ini karena bukan persoalan anak dengan perawakan pendek, tetapi ganguan kognitif sehingga menurunkan IQ, dan terjadi penurunan kekebalan tubuh. Menurut studi Bappenas, stunting dalam jangka panjang menimbulkan kerugian sebesar 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Dengan PDB pada 2017 sebesar Rp. 13.000 triliun, kerugian akibat stunting mencapai sekitar Rp. 260-390 triliun. Jumlah kerugian tersebut mencakup biaya mengatasi dan perbaikkan gizi, serta potensi kehilangan pendapatan akibat rendahnya produktivitas anak tumbuh dengan kondisi stunting.
Akselerasi SDGS
Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan yang dimulai dari tahun 2016 dan akan berakhir pada 2030. SDGs sendiri merupakan penyempurnaan dari program Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada 2015. Konsep SDGs ini diperlukan sebagai agenda pembangunan baru yang mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca-2015.
Masalah stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2, yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada 2025.
Untuk mengakselerasi dari tujuan SDGs tersebut, upaya mencegah dan mengurangi stunting di Indonesia perlu dilakukan lintas sektoral dan terintegrasi. Mengingat masalah stunting tidak hanya faktor kesehatan juga non kesehatan. Stunting juga dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor keturunan dan keadaan lingkungan. Faktor yang mempunyai pengaruh besar terjadinya stunting adalah faktor lingkungan sebesar 90%, sedangkan faktor genetik sekitar 10% (Prof. Haman Hadi, 2013).
PEMBANGUNAN SANITASI
Program aksi nyata perbaikkan pola makan dengan asupan gizi cukup, pola asuh (pemberian ASI eksklusif) juga perbaikan infrastruktur sanitasi. Untuk sanitasi, menurut data BPS di 2018 baru 73,68% rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap sumber air minum layak. Terdapat 19 provinsi masih di bawah persentase nasional, seperti halnya Bengkulu (49,37%), Lampung (56,78%) yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk memperbaiki sanitasi air bersih dan layak minum.
BANTUAN KEUANGAN
Intervensi bantuan keuangan tunai dan nontunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) perlu ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Khusus keluarga yang mempunyai ibu hamil, terdapat balita, ibu menyusui pada keluarga miskin dan rentan miskin. Menurut Kantor Staf Presiden (KSP), stunting terjadi pada balita di keluarga kategori 20% masyarakat termiskin (48,4%). Kebijakan pemberian PKH sangat bermanfaat dalam mendorong keluarga membeli makanan bergizi.
Komitmen pemerintah mengatasi stunting untuk keluarga miskin, dengan menaikkan anggaran PKH tahun 2019 sebesar 32,65 triliun atau naik hampir 100% dibandingkan 2018. Namun, perlu menjadi perhatian pemerintah, jumlah penerima program PKH dilakukan secara berkelanjutan (sustainable), bukan menjelang Pemilu/Pilpres saja.  Program PKH dapat membantu keluarga untuk membeli makanan bergizi dalam upaya mencegah stunting juga dapat mengurangi penduduk dari kemiskinan.
Dana Desa (DD) juga selain untuk membangun infrastruktur, perlu adanya peningkatan pemberdayaan ekonomi kalangan perempuan. Kaum perempuan yang umumnya mengurus rumah tangga perlu dibekali keterampilan supaya produktif sesuai potensi daerah. Akhirnya, pendapatan ibu-ibu akan bertambah, pengeluaran terhadap makanan bergizi pun meningkat pula. Ataupun, intervensi dana desa untuk keluarga yang benar-benar tidak berproduktif, bantuan khusus keuangan bagi keluarga yang mempunyai balita dan ibu hamil dari kalangan keluarga miskin atau rentan miskin.
INTERVENSI KESEHATAN
Perhatian orang tua terhadap perkembangan anak, khususnya stunting perlu ditingkatkan. Hal ini karena stunting manisfestasi dari kegagalan pertumbuhan yang dimulai dari sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Salah satu upaya adalah mempersiapkan seorang ibu, memberikan pelayanan kepada ibu hamil secara maksimal dan optimal, dan persalinan dilakukan di pelayanan fasilitas kesehatan. Perhatian yang perlu ditingkatkan pada 1.000 hari pertama kehidupan, kebutuhan asupan gizi yang baik sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak maupun pertumbuhan anak.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian ASI eksklusif sangat berkaitan dengan kejadian stunting pada anak. Hal ini disebabkan karena pada saat ASI tidak diberikan, maka anak tidak mendapatkan kekebalan yang terkandung dalam ASI. Sedangkan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) dini sebelum anak usia 6 bulan yang diberikan tidak bersih atau anak belum siap mengkonsumsi makanan maka akan kecenderungan cepat terinfeksi penyakit. Imunisasi juga dapat menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi yang dapat melawan agen infeksi, Status anak sudah mendapatkan imunisasi mempunyai hubungan dengan kejadian stunting yang rendah.
Upaya mengurangi stunting perlu keterlibatan berbagai kalangan, baik pemerintah, LSM, maupun masyarakat akan arti bahaya stunting bagi anak penerus bangsa. Akselerasi target stunting RPJMN 2019 sebesar 28% dan tujuan SDGs, salah satunya untuk mengurangi stunting sampai 40% di 2025 perlu dukungan kita semua.
Sumber: AyoBandung.Com (28/01/2019)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar