Oleh : A.
Saebani
Statistisi
Ahli di BPS Cianjur –Jawa Barat
Masalah
anak mengalami stunting perlu menjadi perhatian serius pemerintah untuk segera
diatasi. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) menunjukkan angka
kejadian anak mengalami stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen, masih jauh
dari angka ambang batas yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen. Tingginya angka prevalensi
anak mengalami stunting menjadi tantangan pemerintah dalam membangun
sumber daya manusia (SDM) berdaya saing bahkan akan menjadi kerugian baik
sosial mapun ekonomi.
Berbagai
program pemerintah untuk menurunkan prevalensi terhadap masalah stunting
mengalami kemajuan, walaupun perlu usaha dan kerja keras, cerdas serta tuntas
dalam memperbaiki gizi penduduk Indonesia. Permasalahan stunting bermuara dari
tidak cukupnya asupan gizi yang baik pada anak sebelum berusia dua tahun.
Terkait profil stunting di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2013) sebanyak 37,2%, atau sekitar 4 dari 10 anak Indonesia
mengalami stunting. Pada 2018, prevalensi stunting turun menjadi 30,8% (Riskesdas
2018).
Patut
diapresiasi, komitmen Presiden Joko Widodo menginginkan pengembangan dan
pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi prioritas dalam RAPBN tahun
Anggaran 2019. “Kembali lagi saya ingin menegaskan bahwa prioritas pengembangan
sumber daya manusia menjadi tekanan dan perhatian dari setiap kementerian yang
ada” kata Presiden Jokowi dalam pembukaan sidang Kabinet Paripurna dengan topik
Nota Keuangan dan RAPBN tahun anggaran 2019 di Istana Negara (ANTARA News,
7/8/2018).
Anak
yang tumbuh sehat akan menjadi generasi unggul ditengah persaingan dengan
bangsa lain. Prioritas pembangunan di tahun 2019 perlu ditingkatkan dalam
perbaikkan gizi, khususnya penurunan prevalensi anak yang mengalami stunting. Fenomena
stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi
badan lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Stunting juga identik
dengan perawakan pendek karena kekurangan gizi jangka panjang atau malnutrisi
kronik. Hal ini juga bisa terjadi karena asupan nutrisi yang tidak optimal,
atau bahkan kejadian stunting akibat dari terjangkitnya penyakit.
Prevalensi
anak menderita stunting cukup tinggi akan menjadi beban negara, hal ini karena bukan
persoalan anak dengan perawakan pendek, tetapi ganguan kognitif sehingga
menurunkan IQ, dan terjadi penurunan kekebalan tubuh. Menurut studi Bappenas,
stunting dalam jangka panjang menimbulkan kerugian sebesar 2-3 persen dari
produk domestik bruto (PDB) per tahun. Dengan PDB pada 2017 sebesar Rp. 13.000
triliun, kerugian akibat stunting mencapai sekitar Rp. 260-390 triliun. Jumlah
kerugian tersebut mencakup biaya mengatasi dan perbaikkan gizi, serta potensi
kehilangan pendapatan akibat rendahnya produktivitas anak tumbuh dengan kondisi
stunting.
Akselerasi SDGS
Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan
berkelanjutan yang dimulai dari tahun 2016 dan akan berakhir pada 2030. SDGs
sendiri merupakan penyempurnaan dari program Millennium Development Goals (MDGs)
yang berakhir pada 2015. Konsep SDGs ini diperlukan sebagai agenda pembangunan
baru yang mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca-2015.
Masalah
stunting merupakan salah satu
target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan
pembangunan berkelanjutan ke-2, yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk
malnutrisi pada 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan
adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada 2025.
Untuk
mengakselerasi dari tujuan SDGs tersebut, upaya mencegah dan mengurangi
stunting di Indonesia perlu dilakukan lintas sektoral dan terintegrasi. Mengingat
masalah stunting tidak hanya faktor kesehatan juga non kesehatan. Stunting juga
dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor keturunan dan keadaan lingkungan. Faktor
yang mempunyai pengaruh besar terjadinya stunting adalah faktor lingkungan
sebesar 90%, sedangkan faktor genetik sekitar 10% (Prof. Haman Hadi, 2013).
PEMBANGUNAN SANITASI
Program
aksi nyata perbaikkan pola makan dengan asupan gizi cukup, pola asuh (pemberian
ASI eksklusif) juga perbaikan infrastruktur sanitasi. Untuk sanitasi, menurut
data BPS di 2018 baru 73,68% rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap
sumber air minum layak. Terdapat 19 provinsi masih di bawah persentase nasional,
seperti halnya Bengkulu (49,37%), Lampung (56,78%) yang perlu mendapatkan perhatian
serius untuk memperbaiki sanitasi air bersih dan layak minum.
BANTUAN KEUANGAN
Intervensi
bantuan keuangan tunai dan nontunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH)
perlu ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya. Khusus keluarga yang mempunyai
ibu hamil, terdapat balita, ibu menyusui pada keluarga miskin dan rentan
miskin. Menurut Kantor Staf Presiden (KSP), stunting terjadi pada balita di
keluarga kategori 20% masyarakat termiskin (48,4%). Kebijakan pemberian PKH
sangat bermanfaat dalam mendorong keluarga membeli makanan bergizi.
Komitmen
pemerintah mengatasi stunting untuk keluarga miskin, dengan menaikkan anggaran
PKH tahun 2019 sebesar 32,65 triliun atau naik hampir 100% dibandingkan 2018.
Namun, perlu menjadi perhatian pemerintah, jumlah penerima program PKH
dilakukan secara berkelanjutan (sustainable),
bukan menjelang Pemilu/Pilpres saja. Program
PKH dapat membantu keluarga untuk membeli makanan bergizi dalam upaya mencegah
stunting juga dapat mengurangi penduduk dari kemiskinan.
Dana
Desa (DD) juga selain untuk membangun infrastruktur, perlu adanya peningkatan
pemberdayaan ekonomi kalangan perempuan. Kaum perempuan yang umumnya mengurus
rumah tangga perlu dibekali keterampilan supaya produktif sesuai potensi daerah.
Akhirnya, pendapatan ibu-ibu akan bertambah, pengeluaran terhadap makanan
bergizi pun meningkat pula. Ataupun, intervensi dana desa untuk keluarga yang
benar-benar tidak berproduktif, bantuan khusus keuangan bagi keluarga yang
mempunyai balita dan ibu hamil dari kalangan keluarga miskin atau rentan
miskin.
INTERVENSI KESEHATAN
Perhatian
orang tua terhadap perkembangan anak, khususnya stunting perlu ditingkatkan.
Hal ini karena stunting manisfestasi dari kegagalan pertumbuhan yang dimulai
dari sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Salah satu upaya
adalah mempersiapkan seorang ibu, memberikan pelayanan kepada ibu hamil secara
maksimal dan optimal, dan persalinan dilakukan di pelayanan fasilitas kesehatan.
Perhatian yang perlu ditingkatkan pada 1.000 hari pertama kehidupan, kebutuhan
asupan gizi yang baik sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak maupun
pertumbuhan anak.
Hasil
penelitian menunjukkan pemberian ASI eksklusif sangat berkaitan dengan kejadian
stunting pada anak. Hal ini disebabkan karena pada saat ASI tidak diberikan,
maka anak tidak mendapatkan kekebalan yang terkandung dalam ASI. Sedangkan
pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) dini sebelum anak usia 6 bulan yang
diberikan tidak bersih atau anak belum siap mengkonsumsi makanan maka akan
kecenderungan cepat terinfeksi penyakit. Imunisasi juga dapat menstimulasi
sistem imun untuk membentuk antibodi yang dapat melawan agen infeksi, Status
anak sudah mendapatkan imunisasi mempunyai hubungan dengan kejadian stunting yang
rendah.
Upaya
mengurangi stunting perlu keterlibatan berbagai kalangan, baik pemerintah, LSM,
maupun masyarakat akan arti bahaya stunting bagi anak penerus bangsa. Akselerasi
target stunting RPJMN 2019 sebesar 28% dan tujuan SDGs, salah satunya untuk
mengurangi stunting sampai 40% di 2025 perlu dukungan kita semua.
Sumber: AyoBandung.Com (28/01/2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar