Oleh : A. SAEBANI
KSK & Statistisi Ahli
Pertama di BPS Kab. Cianjur – Jawa Barat
RILIS terbaru Badan Pusat
Statistik (BPS) mengenai penduduk miskin di Indonesia pada September 2018
sebesar 9,66 persen (25,67 juta orang), berkurang sebesar 0,16 persen poin (0,28
juta orang) dibandingkan posisi Maret 2018 sebesar 9,82 persen (25,95 juta
orang). Dalam satu tahun penduduk miskin turun mencapai 0,46 persen poin (0,91
juta orang) terhadap September 2017 yang masih 10,12 persen (26,58 juta orang).
Lantas, adanya konsistensi penurunan penduduk miskin juga diikuti
dengan peningkatan kualitas hidup, seperti halnya perbaikkan gizi, kesehatan
maupun pendidikan dilihat dari pengeluaran terhadap garis kemiskinan?
FAKTOR PENURUNAN
KEMISKINAN
Terjaganya stabilitas ekonomi diduga sebagai faktor
terjadinya penurunan tingkat kemiskinan pada September 2018. Disamping bahan
bakar minyak bersubsidi (Premium) tidak dinaikkan pada periode tersebut, juga
faktor lainnya seperti laju ekonomi yang cukup tinggi (tumbuh di atas 5 persen)
dan selama periode Maret-September 2018 kondisi inflasi umum cukup rendah yakni
sebesar 0,94 persen.
Juga adanya penurunan harga eceran secara nasional, seperti
beras turun 3,28 persen, daging sapi turun 0,74 persen, minyak goreng turun
0,92 persen, dan gula pasir turun sebesar 1,48 persen. Disamping itu naiknya
rata-rata upah buruh tani pada September 2018 sebesar 2,07 persen dibanding
Maret 2018, nilai tukar petani (NTP) pada September juga mengalami kenaikkan
sebesar 1,21 persen dibandingkan Maret 2018 dari 101,94 menjadi 103,17.
Beras dan Rokok Tarhadap
Garis Kemiskinan
Harapan mengentaskan kemiskinan pada angka titik terendah
mendekati harapan dengan melihat konsistensi angka dari tahun ke tahun. Namun demikian,
penurunan jumlah maupun persentase tingkat kemiskinan perlu diimbangi dengan
peningkatan kualitas hidup penduduk miskin. Nyatanya, kualitas hidup penduduk
miskin masih perlu diperbaiki dalam membangun SDM berdaya saing untuk sejajar
dengan penduduk yang sudah keluar dari garis kemiskinan.
Kondisi tersebut tercermin dari besarnya sumbangan makanan
terhadap garis kemiskinan mencapai 73,54 persen berbanding terbalik dari non makanan
yang hanya 26,46 persen. Disamping beras penyumbang utama terhadap garis
kemiskinan (19,54 persen di perkotaan dan 25,51 persen di perdesaan). Konsumsi rokok
kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua baik di perkotaan maupun di
perdesaan. Ironi, tingginya penduduk miskin mengkonsumsi rokok kretek filter
mengalahkan konsumsi telor ayam ras, daging ayam ras, pengeluaran pendidikan
maupun perumahan.
Hasil Susenas September 2018, memperlihatkan konsumsi
rokok kretek filter memberikan sumbangan terhadap garis kemiskinan sebesar
10,39 persen di perkotaan dan 10,06 persen di perdesaan. Kondisi jauh berbeda
dengan konsumsi makanan berprotein, telur ayam ras berkontribusi sebesar 3,89
persen di perkotaan dan 3,36 persen di perdesaan, daging ayam ras (3,80 persen
di perkotaan dan 2,21 persen di perdesaan). Sedangkan kontribusi terhadap garis
kemiskinan dari non makanan seperti pengeluaran untuk perumahan sebesar (8,42
persen di perkotaan dan 7,26 persen di perdesaan), sedangkan pendidikan sebesar
(1,93 persen di perkotaan dan 1,19 persen di perdesaan).
Menurut WHO, Indonesia merupakan negara ke-3 dengan jumlah
perokok terbesar di dunia setelah China dan India. Hasil Riskesdas 2018,
meyebutkan konsumsi rokok pada penduduk 15 tahun ke atas mengalami peningkatan
dari 32,8 persen di tahun 2016 menjadi 33,8 persen di tahun 2018. Peningkatan
konsumsi rokok pada keluarga miskin juga selain memperlambat program
pengentasan kemiskinan juga menjadi beban negara untuk mengobati penyakit
akibat dari kerugian merokok terhadap kesehatan.
Akibat perilaku tidak sehat, seperti perokok, tidak
seimbangnya pola makan, rendahnya makanan berprotein dan vitamin dapat
meningkatkan penyakit tidak menular. Penyakit akibat merokok seperti halnya
kanker, TBC, jantung, komplikasi dan lain sebagain
ya. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan tahun 2016, pembiayaan kesehatan untuk penyakit jantung mencapai 7,4 triliun rupiah, lebih dari 10 persen dibandingkan total iuran BPJS di tahun yang sama sebesar 67,4 triliun rupiah.
ya. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan tahun 2016, pembiayaan kesehatan untuk penyakit jantung mencapai 7,4 triliun rupiah, lebih dari 10 persen dibandingkan total iuran BPJS di tahun yang sama sebesar 67,4 triliun rupiah.
Upaya Meningkatkan Kualitas
Hidup
Wujud penduduk yang sejahtera lahir batin lebih utama dari
sekedar penurunan tingkat kemiskinan itu sendiri. Tingkat kemiskinan sebagai
gambaran makro dalam menentukan jumlah maupun persentase penduduk miskin. Permasalahan
yang perlu menjadi perhatian, selain mengurangi jumlah dan persentase penduduk
miskin, yaitu meningkatkan kualitas hidup sehingga tidak menjadi kemiskinan
yang kronis. Bahkan kemiskinan menjadi budaya dengan berharap bantuan
pemerintah untuk menyambung hidup keluarganya.
Mewujudkan penduduk miskin keluar dari lingkaran
kemiskinan perlu diimbangi dengan kebijakan perbaikkan perilaku sehat,
mengkonsumsi makanan bergizi serta kemudahan terhadap pelayanan dasar seperti
pendidikan dan kesehatan. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa perilaku
sehat, meningkatkan pendidikan, serta kemudahan akses kesehatan dapat
meningkatkan kualitas hidup penduduk. Peningkatan kualitas hidup dapat
meningkatkan produktivitas kerja sehingga taraf hidup akan lebih baik dan
kemiskinan pun akan menurun dengan sendirinya.
Kebijakan pemerintah memberikan bantuan sosial berupa
transfer tunai (cash transfer) dan
program padat karya perlu diimbangi pemanfaatan dari program tersebut. Edukasi
dan pedampingan perlu ditingkatkan supaya penduduk miskin penerima bantuan
sosial dibelanjakan untuk pembelian makanan bernutrisi juga bergizi.
Pengeluaran penduduk miskin yang tidak bermanfaat, seperti konsumsi rokok perlu
dikurangi atau bahkan dihilangkan dan dibelanjakan untuk keperluan yang lebih
bermanfaat demi meningkatkan kualitas hidup.
Sumber: Detik.Com (29/01/2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar