19 Feb 2019

Setelah Angka Kemiskinan Turun (Lagi)


Oleh : A. SAEBANI
KSK & Statistisi Ahli Pertama di BPS Kab. Cianjur – Jawa Barat

RILIS terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penduduk miskin di Indonesia pada September 2018 sebesar 9,66 persen (25,67 juta orang), berkurang sebesar 0,16 persen poin (0,28 juta orang) dibandingkan posisi Maret 2018 sebesar 9,82 persen (25,95 juta orang). Dalam satu tahun penduduk miskin turun mencapai 0,46 persen poin (0,91 juta orang) terhadap September 2017 yang masih 10,12 persen (26,58 juta orang).

Lantas, adanya konsistensi penurunan penduduk miskin juga diikuti dengan peningkatan kualitas hidup, seperti halnya perbaikkan gizi, kesehatan maupun pendidikan dilihat dari pengeluaran terhadap garis kemiskinan?
FAKTOR PENURUNAN KEMISKINAN
Terjaganya stabilitas ekonomi diduga sebagai faktor terjadinya penurunan tingkat kemiskinan pada September 2018. Disamping bahan bakar minyak bersubsidi (Premium) tidak dinaikkan pada periode tersebut, juga faktor lainnya seperti laju ekonomi yang cukup tinggi (tumbuh di atas 5 persen) dan selama periode Maret-September 2018 kondisi inflasi umum cukup rendah yakni sebesar 0,94 persen.
Juga adanya penurunan harga eceran secara nasional, seperti beras turun 3,28 persen, daging sapi turun 0,74 persen, minyak goreng turun 0,92 persen, dan gula pasir turun sebesar 1,48 persen. Disamping itu naiknya rata-rata upah buruh tani pada September 2018 sebesar 2,07 persen dibanding Maret 2018, nilai tukar petani (NTP) pada September juga mengalami kenaikkan sebesar 1,21 persen dibandingkan Maret 2018 dari 101,94 menjadi 103,17.
Beras dan Rokok Tarhadap Garis Kemiskinan
Harapan mengentaskan kemiskinan pada angka titik terendah mendekati harapan dengan melihat konsistensi angka dari tahun ke tahun. Namun demikian, penurunan jumlah maupun persentase tingkat kemiskinan perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas hidup penduduk miskin. Nyatanya, kualitas hidup penduduk miskin masih perlu diperbaiki dalam membangun SDM berdaya saing untuk sejajar dengan penduduk yang sudah keluar dari garis kemiskinan.
Kondisi tersebut tercermin dari besarnya sumbangan makanan terhadap garis kemiskinan mencapai 73,54 persen berbanding terbalik dari non makanan yang hanya 26,46 persen. Disamping beras penyumbang utama terhadap garis kemiskinan (19,54 persen di perkotaan dan 25,51 persen di perdesaan). Konsumsi rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua baik di perkotaan maupun di perdesaan. Ironi, tingginya penduduk miskin mengkonsumsi rokok kretek filter mengalahkan konsumsi telor ayam ras, daging ayam ras, pengeluaran pendidikan maupun perumahan.
Hasil Susenas September 2018, memperlihatkan konsumsi rokok kretek filter memberikan sumbangan terhadap garis kemiskinan sebesar 10,39 persen di perkotaan dan 10,06 persen di perdesaan. Kondisi jauh berbeda dengan konsumsi makanan berprotein, telur ayam ras berkontribusi sebesar 3,89 persen di perkotaan dan 3,36 persen di perdesaan, daging ayam ras (3,80 persen di perkotaan dan 2,21 persen di perdesaan). Sedangkan kontribusi terhadap garis kemiskinan dari non makanan seperti pengeluaran untuk perumahan sebesar (8,42 persen di perkotaan dan 7,26 persen di perdesaan), sedangkan pendidikan sebesar (1,93 persen di perkotaan dan 1,19 persen di perdesaan).
Menurut WHO, Indonesia merupakan negara ke-3 dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India. Hasil Riskesdas 2018, meyebutkan konsumsi rokok pada penduduk 15 tahun ke atas mengalami peningkatan dari 32,8 persen di tahun 2016 menjadi 33,8 persen di tahun 2018. Peningkatan konsumsi rokok pada keluarga miskin juga selain memperlambat program pengentasan kemiskinan juga menjadi beban negara untuk mengobati penyakit akibat dari kerugian merokok terhadap kesehatan.
Akibat perilaku tidak sehat, seperti perokok, tidak seimbangnya pola makan, rendahnya makanan berprotein dan vitamin dapat meningkatkan penyakit tidak menular. Penyakit akibat merokok seperti halnya kanker, TBC, jantung, komplikasi dan lain sebagain
ya. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan tahun 2016, pembiayaan kesehatan untuk penyakit jantung mencapai 7,4 triliun rupiah, lebih dari 10 persen dibandingkan total iuran BPJS di tahun yang sama sebesar 67,4 triliun rupiah.
Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup
Wujud penduduk yang sejahtera lahir batin lebih utama dari sekedar penurunan tingkat kemiskinan itu sendiri. Tingkat kemiskinan sebagai gambaran makro dalam menentukan jumlah maupun persentase penduduk miskin. Permasalahan yang perlu menjadi perhatian, selain mengurangi jumlah dan persentase penduduk miskin, yaitu meningkatkan kualitas hidup sehingga tidak menjadi kemiskinan yang kronis. Bahkan kemiskinan menjadi budaya dengan berharap bantuan pemerintah untuk menyambung hidup keluarganya.
Mewujudkan penduduk miskin keluar dari lingkaran kemiskinan perlu diimbangi dengan kebijakan perbaikkan perilaku sehat, mengkonsumsi makanan bergizi serta kemudahan terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa perilaku sehat, meningkatkan pendidikan, serta kemudahan akses kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup penduduk. Peningkatan kualitas hidup dapat meningkatkan produktivitas kerja sehingga taraf hidup akan lebih baik dan kemiskinan pun akan menurun dengan sendirinya.
Kebijakan pemerintah memberikan bantuan sosial berupa transfer tunai (cash transfer) dan program padat karya perlu diimbangi pemanfaatan dari program tersebut. Edukasi dan pedampingan perlu ditingkatkan supaya penduduk miskin penerima bantuan sosial dibelanjakan untuk pembelian makanan bernutrisi juga bergizi. Pengeluaran penduduk miskin yang tidak bermanfaat, seperti konsumsi rokok perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan dan dibelanjakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat demi meningkatkan kualitas hidup.
Sumber: Detik.Com (29/01/2019)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar