19 Feb 2019

CERDAS BERASPIRASI DALAM PEMILU 2019


Oleh : Sapto Prayogo, S.P.
Statitisi Ahli Pertama di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cianjur

Tanggal 17 April 2019 mendatang negeri kita akan mengadakan pesta demokrasi. Pesta demokrasi atau Pemilu (Pemilihan Umum)  ini akan dilaksanakan secara serentak di seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke. Pada Pemilu 2019 nanti kita pertama kalinya dalam sejarah tidak hanya memilih presiden dan wakilnya tetapi juga sekaligus memilih Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota. 


Pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terdapat 2 pasangan calon, yaitu pasangan 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan pasangan 02 Prabowo Subianto – Sandiago Uno. Pada DPR RI terdapat 575 kursi. Pada DPD RI terdapat 136 kursi. Pada DPRD Provinsi terdapat 2207 kursi. Dan pada DPRD Kabupaten/Kota terdapat 17.610 kursi.

Adapun fungsi seorang presiden ada 2, yaitu sebagai kepala Negara dan sebagai kepala pemerintahan. Fungsi DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota  ada 3, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Tetapi sebenarnya ada sedikit perbedaan antara DPR dengan DPD. Letak perbedaannya adalah DPD merupakan representasi sebagai wakil daerah, sedangkan DPR merupakan representasi sebagai wakil dari salah satu partai politik.

Menurut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terdapat 38 Calon Legislatif (Caleg) yang merupakan mantan terpidana korupsi. Ke 38 Caleg tersebut tersebar di  12 Caleg DPRD Provinsi dan 26 Caleg DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu Caleg DPR RI dan DPD RI tidak ada yang merupakan mantan terpidana korupsi. Dengan keberadaan Caleg mantan terpidana korupsi ini maka masyarakat diharapkan di dalam Pemilu nanti harus lebih berhati-hati. Masyarakat harus melihat rekam jejak semua Caleg. Caleg yang memiliki rekam jejak jelek jangan dipilih.

Berkaitan dengan perilaku korupsi di negeri kita ini, sebenarnya Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2018, kecuali tahun 2016. Hal ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) menugaskan BPS untuk melaksanakan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK).

Pada tahun 2018, SPAK dilakukan di 34 provinsi yang ada di Indonesia. Adapun total sampelnya sebanyak 9.919 rumah tangga. Analisis mengenai perilaku anti korupsi dalam survei ini hanya untuk menggambarkan level nasional.

SPAK dilakukan untuk mengukur tingkat permisifitas (sikap membolehkan) masyarakat Indonesia terhadap perilaku korupsi dengan menggunakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). IPAK ini dihasilkan dari dua dimensi yaitu nilai indeks persepsi dan nilai indeks pengalaman.

Indeks Persepsi diperoleh dari pendapat atau penilaian terhadap kebiasaan perilaku koruptif yang sering terjadi di masyarakat. Sedangkan Indeks Pengalaman diperoleh dari pengalaman langsung pada 10 jenis pelayanan publik yang menyangkut penyuapan, pemerasan, dan nepotisme. Adapun 10 jenis pelayanan publik yang dimaksud, yakni pengurusan surat administrasi pada level RT/RW, kantor kelurahan/desa serta kecamatan, kantor kepolisian, kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN), rumah sakit, sekolah negeri, lembaga peradilan, Kantor Urusan Agama (KUA), dinas kependudukan dan catatan sipil, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

IPAK menggunakan skala 0 – 5. Nilai IPAK mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia berperilaku semakin anti korupsi. Sebaliknya nilai IPAK yang mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia berperilaku semakin permisif (membolehkan) terhadap tindakan korupsi.
Secara detail skala IPAK tersebut oleh BPS dibagi menjadi 4 golongan, yaitu pertama golongan sangat permisif terhadap korupsi/sangat tidak peduli terjadi korupsi (skala 0,00 – 1,25), kedua golongan permisif terhadap korupsi (skala 1,26 – 2,50), ketiga golongan anti korupsi (skala 2,51 – 3,75), dan keempat golongan sangat anti korupsi/ sangat menolak terjadi korupsi (skala 3,76 – 5,00).
Nilai IPAK dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 menunjukkan trend menurun, yaitu dari 3,63 turun hingga 3,39. Hal tersebut menggambarkan masyarakat Indonesia antara tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 cenderung menuju permisif (membolehkan) terhadap perilaku korupsi. Namun, pada tahun 2017 menghasilkan nilai IPAK sebesar 3,71. Data tersebut menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia antara tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 berperilaku semakin anti korupsi. Kemudian anehnya pada tahun 2018 nilai IPAK kembali turun sebesar 3,66. Alhasil data-data tersebut menggambarkan masyarakat Indonesia antara tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 cenderung menuju permisif (membolehkan) terhadap perilaku korupsi.  

Sementara itu, apabila dilihat dari Indeks Persepsi menunjukkan perkembangan yang terus menaik dari tahun 2012 ke tahun 2018. Hal tersebut menggambarkan bahwa dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2018 masyarakat Indonesia semakin memiliki pemahaman dan penilaian terhadap perilaku korupsi semakin baik dan bagus. Artinya masyarakat Indonesia semakin menolak korupsi terjadi di Indonesia.

Adapun Indeks Pengalaman memang menggambarkan pola perkembangan yang semakin menurun dari tahun 2012  menuju ke tahun 2015. Tetapi anehnya Indeks Pengalaman di tahun 2017 naik yaitu sebesar 3,60 dan di tahun 2018 turun lagi yaitu sebesar 3,57. 

Indeks Pengalaman tahun 2012 sampai tahun 2018 memberikan arti bahwa pertama, pengalaman perilaku koruptif masyarakat Indonesia menurun antara tahun 2012 sampai dengan tahun 2015. Kedua, antara tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 pengalaman perilaku koruptif masyarakat Indonesia naik. Ketiga, antara tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 pengalaman perilaku koruptif masyarakat Indonesia turun kembali. Dan keempat, secara umum dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2018 masyarakat Indonesia semakin tidak mau melakukan tindakan penyuapan, pemerasan dan nepotisme.

Ada yang menarik dari hasil SPAK tahun 2018 yaitu IPAK masyarakat kota sebesar 3,81 dan IPAK masyarakat desa sebesar 3,41. IPAK masyarakat berpendidikan SMP ke bawah sebesar 3,53, IPAK masyarakat berpendidikan SLTA sebesar 3,94, dan IPAK masyarakat berpendidikan SLTA ke atas sebesar 4,02. IPAK masyarakat berumur 40 tahun ke bawah sebesar 3,65, IPAK masyarakat berumur 40 – 59 tahun sebesar 3,70, dan IPAK masyarakat berumur 60 tahun ke atas sebesar 3,56.

Kesimpulan dari data-data tersebut adalah pertama, masyarakat kota sangat anti korupsi daripada masyarakat desa. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait jangan berhenti mensosialisasikan budaya anti korupsi sampai ujung pedesaan atau pinggiran pedesaan. Kedua, masyarakat yang berpendidikan tinggi (SLTA ke atas) sangat anti korupsi daripada masyarakat yang berpendidikan rendah. Maka dari itu, para guru dan beberapa pihak terkait harus lebih gencar memberikan penerangan tentang bentuk-bentuk korupsi kepada siswa-siswa SD dan SMP. Contoh bentuk-bentuk korupsi di sekolah adalah mencotek ketika ujian, memberikan hadiah kepada guru/ wali kelas/ kepala sekolah dengan tujuan agar nilai rapor bagus, dan lain sebagainya. Selain itu, pemerintah harus mewajibkan program 12 tahun wajib belajar atau minimal bersekolah SLTA. Ketiga, masyarakat yang berumur 60 tahun ke atas ternyata lebih permisif terhadap korupsi daripada masyarakat yang berumur 60 tahun ke bawah.
Di lain pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah resmi menerbitkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Peraturan tersebut mengatur syarat bagi warga Negara Indonesia yang ingin menjadi calon anggota DPR atau DPRD di Pemilu 2019. Salah satu peraturan yang menimbulkan pro dan kontra adalah dilarangnya mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi menjadi Caleg. Mestinya para Caleg yang berasal dari mantan terpidana korupsi jangan mendaftarkan diri ke KPU. Selain itu, semua pihak harus mendukung peraturan KPU tersebut. Bentuk dukungan para pemilih terhadap peraturan KPU adalah jangan mencoblos/memilih para mantan koruptor. Karena tindakan korupsi adalah menghancurkan bangsa dan negara serta memiskinkan rakyat. Buatlah mereka jera. Semoga Indonesia bebas dari korupsi.

Sumber: www.ayobandung.com Senin, 7 Januari 2019




Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar