13 Feb 2019

SULITNYA BERBISNIS DI INDONESIA

Oleh: A. Saebani
KSK/Pegawai BPS Kabupaten Cianjur.


Baru-baru ini Bank Dunia (Word Bank) merilis indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia. Kemudahan berusaha Indonesia rangking ke-73, yang tahun sebelumnya sempat ranking ke-72. Reformasi aturan berinvestasi harus dilakukan secara radikal baik pusat maupun daerah jika ingin mencapai target rangking ke-40 dalam kemudahan berbisnis. Bagaimana bisa mendatangkan investor datang ke Indonesia jika aturan main masih di pandang berbelit-belit. Kurang bersahabatnya aturan main berinvestasi mengakibatkan Indonesia tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia juga Vietnam.

Tak dipungkiri salah satu untuk menggerakkan roda perekonomian supaya tumbuh positif harus di topang dengan investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis di mana total investasi baik PMDN maupun PMA pada Triwulan III-2018 turun sebesar 1,6% jika dibandingkan dengan Triwulan III-2017. Dengan total investasi adalah sebesar Rp 173,8 triliun. Dari jumlah tersebut porsi penanaman modal asing (PMA) tercatat sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20,2% dibandingkan pada periode yang sama 2017 yang tercatat sebesar Rp 111,7 triliun. Sementara, penanaman modal dalam negeri (PMDN) naik menjadi Rp 84,7 triliun atau 30,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar Rp 64,9 triliun.
Walaupun realisasi investasi selama Januari-September 2018 untuk PMDN dan PMA sebesar Rp 535,4 triliun mengalami kenaikkan 4,3% dibandingkan periode yang sama tahun 2017 sebesar Rp 513,2 triliun. Akan tetapi pertumbuhan investasi periode Januari-September 2018 mengalami perlambatan dibandingkan dengan laju investasi sepanjang 2017 sebesar 13,1% dengan realisasi investasi PMA dan PMDN sebesar Rp 692,8 triliun. Pertumbuhan yang positif juga terlihat sepanjang tahun 2016 dimana realisasi investasi PMA dan PMDN sebesar Rp 612,8 triliun atau tumbuh sebesar 12,4%.
Perlambatan investasi akan menjadi catatan buruk Pemerintahan Jokowi-JK yang akan berakhir pada tahun 2019 nanti. Sebenarnya kebijakan yang mendorong untuk meningkatkan investasi banyak dilakukan Kabinet Jokowi dengan serangkaian stimulus ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen akan sulit tercapai karena faktor internal juga lesunya ekonomi dunia dan belum redanya perang dagang Amerika-Tiongkok. Walaupun demikian, di topang dengan tingkat konsumsi yang masih tinggi di triwulan III-2018 ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,17 persen (BPS).
Penurunan kinerja investasi sepanjang Januari-September 2018 tercermin pada kinerja ekspor Indonesia. Kondisi ini terlihat dengan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/ CAD) akibat pertumbuhan impor yang tinggi dibandingkan dengan peningkatan ekspor.  Berdasarkan data BPS, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia antara bulan Januari hingga September 2018 sebesar US$ 134,99 miliar, sedangkan nilai impor sebesar US$ 138,78 miliar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia antara Januari hingga September terjadi defisit sebesar US$ 3,79 miliar.
Kinerja investasi yang kurang memuaskan juga terlihat dengan masihnya tingginya tenaga kerja yang belum terserap pasar tenaga kerja. BPS mencatat per Agustus 2018 masih ada 7 juta orang yang masih menganggur. Dengan rincian lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja masih di dominasi oleh pertanian sebesar 28,79%, perdagangan sebesar 18,61% dan industri pengolahan sebesar 14,72%.
Mengingat peranan investor sangat penting untuk kegiatan investasi dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Ketua Umum Apindo yang di kutip dari berita Sindonew.com “Tanpa dukungan dan komitmen Kepala Daerah, maka hampir mustahil untuk merealisasikan investasi di Indonesia. Mengingat perizinan usaha merupakan kewenangan Kepala Daerah seperti IMB, SIUP, dan TDP. Oleh karena itu perlu spirit utama terletak pada komitmen percepatan penyederhanaan regulasi perijinan usaha dan investasi”.
Masih sulitnya berbisnis di Indonesia dapat di lihat dari para birokrasi di daerah yang meraup keuntungan dari perizinan sehingga banyak Kepala Daerah atau ASN yang berurusan dengan KPK. Menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio (Kompas.com, 16/10/2018), “Perijinan sering kali di buat secara rumit agar bisa dijadikan alat tawar-menawar yang menguntungkan. Untuk membuat kebijakan harus ada peraturan perundang-undangan, filosofinya sampai hari ini harus ada syarat izin. Karena izin itu komoditas paling laris di Indonesia, dengan izin uang bisa di dapat. Proses perizinan di buat serumit mungkin sehingga orang nyuruh minta tolong bayar atau nyogok”.
Untuk mengatasi permasalahan perizinan, sebenarnya pemerintah mulai menerapkan Online Single Submission (OSS) yang dapat memudahkan perizinan investasi dengan memangkas rantai birokrasi. Keuntungan yang di dapat selain mempersingkat waktu pengurusan, OSS juga dapat memangkas anggaran untuk membuat perizinan. Data dari Bank Dunia menunjukkan adanya perbaikan indeks kualitas administrasi lahan 11,3  di tahun 2016/2017 menjadi 14,5 pada 2017/2018. Selain itu indikator  memperoleh kredit perbankan juga meningkat dengan ketersediaan informasi kredit. Indikator lain yang meningkat adalah kinerja bidang penyelesaian kepailitan. Tingkat pemulihannya sebesar 65 sen per dollar AS, hampir dua kali lipat rata-rata regional sebesar 35,5 sen.
Untuk lebih meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia, Kementerian Keuangan memperbaiki proses bisnis. Kemudian meningkatkan konsistensi dalam implementasi kebijakan. Langkah kebijakan yang akan dilakukan dengan menggunakan IT system paying taxes dan e-filling, sehingga dalam pengurusan pajak tidak perlu datang ke kantor pajak dan waktunya akan lebih efisien.
Dalam proses memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia, Bank Dunia memberikan sejumlah masukan sehingga ke depan bisa meningkatkan peringkat ease of doing business (EoDB).  Salah satunya adalah mengambil manfaat dari reformasi pada bidang-bidang di luar cakupan metodologi yang digunakan Bank Dunia dalam membuat indikator-indikator penilaian EoDB. Sehingga akan mempengaruhi pada daya saing global. Misalnya dengan cara menghilangkan batas kepemilikan saham asing, mengurangi tarif bea impor, serta menurunkan hambatan untuk mempergunakan tenaga asing berketerampilan tinggi.
Dalam memperbaiki iklim investasi, Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), pada 26 Maret 2018. Keluarnya aturan tersebut ditujukan untuk mendukung ekonomi nasional dan memperluas kesempatan kerja melalui peningkatan investasi.
Dalam Perpres ini menyebutkan, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dilakukan oleh Pemberi Kerja tenaga kerja asing dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri. Akan tetapi perlu diperhatikan pemerintah, implementasi peraturan ini harus benar-benar di tata dengan baik. Penggunaan tenaga asing harus yang mempunyai keahlian tinggi dan adanya alih teknologi sehingga anak bangsa dapat manfaatnya dengan mengusai teknologi dari program tersebut.

Investasi menjadi bagian penting sebagai salah satu komponen untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain menentukan realisasi pertumbuhan ekonomi, investasi juga berperan melalui penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja membantu perekonomian dari sisi konsumsi. Investasi juga menjadi sumber penting dalam memasok valuta asing ke ekonomi domestik sehingga akan menambah cadangan devisa negara. 

Sumber:
https://www.ayobandung.com/read/2018/11/16/40619/sulitnya-berbisnis-di-indonesia
16/11/2018 

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar