Di tengah
gejolak ekonomi global yang belum stabil, perang dagang antara Amerika Serikat
dengan China yang membawa dampak kepada penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. International Monetary Fund (IMF)
memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini menjadi 3,7 persen dari
prediksi awal sebesar 3,9 persen. Walaupun terjadi pelemahan ekonomi global,
Indonesia patut bersyukur karena pertumbuhan ekonomi masih tumbuh di atas
rata-rata laju ekonomi dunia.
Walaupun
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di rilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar
5,17 persen di triwulan III 2018. Hanya pertumbuhan ekonomi tersebut belum
mampu secara signifikan mengurangi pengangguran pada Agustus 2018 sebesar 5,34
persen yang mengalami kenaikkan dibandingkan Februari 2018 sebesar 5,13 persen.
Disparitas tingkat kemiskinan juga masih tinggi, terlihat dengan kemiskinan di
Papua di atas 20 persen dibandingkan kemiskinan secara nasional sebesar 9,82
persen.
Kondisi
tersebut karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh terpusat dan
terkonsentrasi di dua wilayah. Tumbuhnya ekonomi masih di dominasi di Pulau Jawa
dan Sumatera. Terdapat perbedaan yang begitu lebar antara pertumbuhan ekonomi
di Pulau Jawa dan Sumatera dengan Pulau Indonesia bagian timur. Tingkat kontribusi
laju ekonomi Indonesia sebesar 58,57 persen terhadap PDB di triwulan III 2018
berasal dari provinsi yang berada di Pulau Jawa. Kemudian kontribusi
pertumbuhan ekonomi terhadap PDB terbesar ke dua yaitu provinsi yang berada di
Pulau Sumatera sebesar 21,53 persen. Sedangkan provinsi yang berada di Pulau
Kalimantan sebesar 8,07 persen, Pulau Sulawesi 6,28 persen, Bali dan Nusa
Tenggara sebesar 3,04 persen serta Maluku dan Papua sebesar 2,51 persen.
Dalam
memperkecil ketimpangan ekonomi antar daerah di Indonesia, pemerintah perlu
menciptakan pusat perekonomian daerah baru di luar Jawa dan Sumatera. Langkah
lainnya, meningkatkan infrastruktur di daerah tertinggal, serta memperluas
konektivitas antar daerah. Bergulirnya dana desa yang digelontorkan tiap tahun
untuk membangun desa sangat dirasakan manfaatnya oleh penduduk setempat. Akan
tetapi belum berpengaruh banyak kepada peningkatan ekonomi secara umum. Perlu
adanya faktor produksi baru, seperti pendirian kawasan industri yang mengolah
hasil sumber daya alam setempat. Wacana pemindahan Ibu Kota Negara pun
dipertimbangkan ke luar pulau Jawa untuk mempercepat pertumbuhan kawasan ekonomi.
Dampak pemindahan Ibu Kota diharapkan bisa tumbuh kawasan ekonomi baru di luar
pulau Jawa. Tumbuhnya ekonomi akan memperluas kesempatan kerja baru sehingga
bisa menyerap tenaga kerja di sekitar wilayah tersebut.
Peran
pemerintah untuk memperluas pertumbuhan ekonomi supaya menyebar ke daerah,
seperti ke bagian timur Indonesia salah satunya dengan menarik investasi. Minat
investor menanamkan modal baik PMDN maupun PMA masih terpusat di pulau Jawa.
Berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) total realisasi
investasi periode Januari-September 2018 mencapai 535,4 triliun. Angka tersebut
terdiri dari realisasi PMA sebesar Rp 293,7 triliun dan PMDN sebesar Rp 241,7
triliun.
Realisasi
investasi pun masih di dominasi oleh provinsi-provinsi yang ada di pulau Jawa.
Provinsi yang paling banyak mendapatkan realisasi investasi yaitu Jawa Barat
sebesar Rp 88,4 triliun, ke dua DKI Jakarta sebesar 85 triliun, diikuti oleh
Banten sebesar Rp 46,1 triliun, Jawa Tengah Rp 41,9 triliun dan Jawa Timur Rp
36,1 triliun.
Di lihat
dari data investasi tersebut, wajar sekali pertumbuhan ekonomi tidak menyebar
ke provinsi-provinsi yang ada di luar pulau Jawa. Bagaimana bisa membangun
kawasan industri baru jika modal tidak mengalir ke daerah. Maka pemerintah
perlu membuat peta jalan investasi supaya para investor baik PMA maupun PMDN
tertarik menanamkan modal ke provinsi-provinsi bagian timur Indonesia.
Akibat dari
masih adanya disparitas pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan Sumatera dengan
daerah lain di wilayah timur Indonesia. Tercermin dengan angka kemiskinan di
provinsi yang berada di Pulau Timur Indonesia tersebut mempunyai disparitas
yang tinggi pula. Berdasarkan data BPS tingkat kemiskinan pada Maret 2018 secara
nasional sebesar 9,82 persen, sedangkan di Papua sebesar 21,20 persen dan di
Pulau Bali-Nusa Tenggara sebesar 14,02 persen.
Dengan
melihat fenomena tersebut di atas, hakikat dari pertumbuhan ekonomi sendiri
harus dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat baik yang berada di
perkotaan maupun di perdesaan. Maka pembangunan ekonomi bukan hanya mengejar
pertumbuhan semata tetapi harus beralih kepada pertumbuhan yang berkualitas.
Ekonomi berkualitas harus menuju kepada ekonomi berkelanjutan dan inklusif. Asian
Development Bank (ADB) misalnya, menjelaskan pertumbuhan ekonomi inklusif di topang
oleh tiga pilar yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan untuk
menciptakan dan memperluas peluang ekonomi; perluasan akses untuk menjamin masyarakat
dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan; dan jaring
pengaman sosial untuk mencegah kerugian ekstrim.
Pembangunan
yang mengejar hanya pada pertumbuhan semata adalah pembangunan ekonomi
eksklusif, terkadang pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi tanpa pemerataan
kesejahteraan. Kondisi ini seperti masih tingginya angka pengangguran, tingkat
kemiskinan juga masih tinggi, angka gini ratio yang semakin melebar serta daya
dukung lingkungan terus menerus memburuk karena adanya eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam.
Strategi
utama untuk merealisasikan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan inklusif
adalah penciptaan dan perluasan lapangan pekerjaan produktif serta
menguntungkan. Kemudian untuk penduduk yang tidak mampu bekerja atau masyarakat
yang mendapatkan sedikit manfaat dari hasil pembangunan harus dilindingi dengan
jejaring pengamanan sosial yang efektif dan efisien. Selanjutnya adanya
peningkatan pelayanan publik dasar dan mudah di jangkau oleh lapisan
masyarakat.
Selanjutnya
dalam implementasi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan inklusif yaitu dengan
menitikberatkan kepada pembangunan ekonomi lokal setempat. Dengan adanya
dukungan pemerintah, kemitraan dengan para pengusaha/perusahaan, serta
masyarakat sipil setempat. Serta dukungan penuh terhadap usaha mikro kecil
menengah (UMKM) untuk mengembangkan usahanya sesuai sumber daya lokal setempat
dengan dukungan baik modal, advokasi kebijakan serta pemasaran. Juga tak kalah
penting membuka peluang sebesar-besarnya kepada para tenaga kerja milenial
seperti lulusan SMA dan SMK untuk mengembangkan potensi lokal untuk dikemas menjadi produk unggulan sehingga akan terjadi
perputaran ekonomi di daerah.
Pertumbuhan
berkelanjutan dan inklusif merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara
sebagai pertumbuhan yang berkualitas. Program kebijakan ekonomi berkelanjutan
dan inklusif harus diimlementasikan dengan baik sehingga mampu menurunkan
kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap tenaga
kerja lebih banyak.
Sumber:
20/11/2018
Oleh : A. SAEBANI, SSi
Penulis
sebagai KSK & Statistisi di BPS Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar