13 Feb 2019

MEMBANGUN EKONOMI YANG INKLUSIF


Di tengah gejolak ekonomi global yang belum stabil, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang membawa dampak kepada penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini menjadi 3,7 persen dari prediksi awal sebesar 3,9 persen. Walaupun terjadi pelemahan ekonomi global, Indonesia patut bersyukur karena pertumbuhan ekonomi masih tumbuh di atas rata-rata laju ekonomi dunia.

Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di rilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,17 persen di triwulan III 2018. Hanya pertumbuhan ekonomi tersebut belum mampu secara signifikan mengurangi pengangguran pada Agustus 2018 sebesar 5,34 persen yang mengalami kenaikkan dibandingkan Februari 2018 sebesar 5,13 persen. Disparitas tingkat kemiskinan juga masih tinggi, terlihat dengan kemiskinan di Papua di atas 20 persen dibandingkan kemiskinan secara nasional sebesar 9,82 persen.
Kondisi tersebut karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh terpusat dan terkonsentrasi di dua wilayah. Tumbuhnya ekonomi masih di dominasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Terdapat perbedaan yang begitu lebar antara pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatera dengan Pulau Indonesia bagian timur. Tingkat kontribusi laju ekonomi Indonesia sebesar 58,57 persen terhadap PDB di triwulan III 2018 berasal dari provinsi yang berada di Pulau Jawa. Kemudian kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap PDB terbesar ke dua yaitu provinsi yang berada di Pulau Sumatera sebesar 21,53 persen. Sedangkan provinsi yang berada di Pulau Kalimantan sebesar 8,07 persen, Pulau Sulawesi 6,28 persen, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 3,04 persen serta Maluku dan Papua sebesar 2,51 persen.
Dalam memperkecil ketimpangan ekonomi antar daerah di Indonesia, pemerintah perlu menciptakan pusat perekonomian daerah baru di luar Jawa dan Sumatera. Langkah lainnya, meningkatkan infrastruktur di daerah tertinggal, serta memperluas konektivitas antar daerah. Bergulirnya dana desa yang digelontorkan tiap tahun untuk membangun desa sangat dirasakan manfaatnya oleh penduduk setempat. Akan tetapi belum berpengaruh banyak kepada peningkatan ekonomi secara umum. Perlu adanya faktor produksi baru, seperti pendirian kawasan industri yang mengolah hasil sumber daya alam setempat. Wacana pemindahan Ibu Kota Negara pun dipertimbangkan ke luar pulau Jawa untuk mempercepat pertumbuhan kawasan ekonomi. Dampak pemindahan Ibu Kota diharapkan bisa tumbuh kawasan ekonomi baru di luar pulau Jawa. Tumbuhnya ekonomi akan memperluas kesempatan kerja baru sehingga bisa menyerap tenaga kerja di sekitar wilayah tersebut.
Peran pemerintah untuk memperluas pertumbuhan ekonomi supaya menyebar ke daerah, seperti ke bagian timur Indonesia salah satunya dengan menarik investasi. Minat investor menanamkan modal baik PMDN maupun PMA masih terpusat di pulau Jawa. Berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) total realisasi investasi periode Januari-September 2018 mencapai 535,4 triliun. Angka tersebut terdiri dari realisasi PMA sebesar Rp 293,7 triliun dan PMDN sebesar Rp 241,7 triliun.
Realisasi investasi pun masih di dominasi oleh provinsi-provinsi yang ada di pulau Jawa. Provinsi yang paling banyak mendapatkan realisasi investasi yaitu Jawa Barat sebesar Rp 88,4 triliun, ke dua DKI Jakarta sebesar 85 triliun, diikuti oleh Banten sebesar Rp 46,1 triliun, Jawa Tengah Rp 41,9 triliun dan Jawa Timur Rp 36,1 triliun.
Di lihat dari data investasi tersebut, wajar sekali pertumbuhan ekonomi tidak menyebar ke provinsi-provinsi yang ada di luar pulau Jawa. Bagaimana bisa membangun kawasan industri baru jika modal tidak mengalir ke daerah. Maka pemerintah perlu membuat peta jalan investasi supaya para investor baik PMA maupun PMDN tertarik menanamkan modal ke provinsi-provinsi bagian timur Indonesia.
Akibat dari masih adanya disparitas pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan Sumatera dengan daerah lain di wilayah timur Indonesia. Tercermin dengan angka kemiskinan di provinsi yang berada di Pulau Timur Indonesia tersebut mempunyai disparitas yang tinggi pula. Berdasarkan data BPS tingkat kemiskinan pada Maret 2018 secara nasional sebesar 9,82 persen, sedangkan di Papua sebesar 21,20 persen dan di Pulau Bali-Nusa Tenggara sebesar 14,02 persen.
Dengan melihat fenomena tersebut di atas, hakikat dari pertumbuhan ekonomi sendiri harus dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat baik yang berada di perkotaan maupun di perdesaan. Maka pembangunan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan semata tetapi harus beralih kepada pertumbuhan yang berkualitas. Ekonomi berkualitas harus menuju kepada ekonomi berkelanjutan dan inklusif. Asian Development Bank (ADB) misalnya, menjelaskan pertumbuhan ekonomi inklusif di topang oleh tiga pilar yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan untuk menciptakan dan memperluas peluang ekonomi; perluasan akses untuk menjamin masyarakat dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan; dan jaring pengaman sosial untuk mencegah kerugian ekstrim.
Pembangunan yang mengejar hanya pada pertumbuhan semata adalah pembangunan ekonomi eksklusif, terkadang pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi tanpa pemerataan kesejahteraan. Kondisi ini seperti masih tingginya angka pengangguran, tingkat kemiskinan juga masih tinggi, angka gini ratio yang semakin melebar serta daya dukung lingkungan terus menerus memburuk karena adanya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam.
Strategi utama untuk merealisasikan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan inklusif adalah penciptaan dan perluasan lapangan pekerjaan produktif serta menguntungkan. Kemudian untuk penduduk yang tidak mampu bekerja atau masyarakat yang mendapatkan sedikit manfaat dari hasil pembangunan harus dilindingi dengan jejaring pengamanan sosial yang efektif dan efisien. Selanjutnya adanya peningkatan pelayanan publik dasar dan mudah di jangkau oleh lapisan masyarakat.
Selanjutnya dalam implementasi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan inklusif yaitu dengan menitikberatkan kepada pembangunan ekonomi lokal setempat. Dengan adanya dukungan pemerintah, kemitraan dengan para pengusaha/perusahaan, serta masyarakat sipil setempat. Serta dukungan penuh terhadap usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk mengembangkan usahanya sesuai sumber daya lokal setempat dengan dukungan baik modal, advokasi kebijakan serta pemasaran. Juga tak kalah penting membuka peluang sebesar-besarnya kepada para tenaga kerja milenial seperti lulusan SMA dan SMK untuk mengembangkan potensi lokal untuk dikemas  menjadi produk unggulan sehingga akan terjadi perputaran ekonomi di daerah.
Pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai pertumbuhan yang berkualitas. Program kebijakan ekonomi berkelanjutan dan inklusif harus diimlementasikan dengan baik sehingga mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap tenaga kerja lebih banyak. 
Sumber:

20/11/2018




Oleh : A. SAEBANI, SSi

Penulis sebagai KSK & Statistisi di BPS Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar