13 Feb 2019

PENGANGGURAN “PR” PAK GUBERNUR ?


A. Saebani

KSK & Statistisi Ahli Pertama BPS Kab. Cianjur.


Fenomena orang menjadi penganggur menjadi pelik bagi pemerintah. Sejumlah program penaggulangan pengangguran seolah kesulitan meninggalkan jejak. Penganggur selalu bertebaran di mana-mana dengan berbagai latar belakang pendidikan. Maka tak heran  penganggur sebagai problema yang kompleks dari sebuah ketenagakerjaan di Jawa Barat.

       Teori klasik yang menganggap permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja selalu seimbang (equilibrium) karena harga-harga fleksibel, maka menurut Keynes pasar tenaga kerja jauh dari seimbang, karena upah tidak pernah fleksibel, sehingga permintaan dan penawaran hampir tidak pernah seimbang sehingga pengangguran sering terjadi.
       Jawa Barat menurut data BPS,  Februari 2018 tingkat pengangguran terbuka sebesar 8,16 persen yang tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Bahkan angka tingkat pengangguran terbuka Jawa Barat jauh lebih tinggi dari pada TPT secara nasional hanya sebesar 5,13 persen. Menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin khususnya Gubernur Jawa Barat terpilih untuk menurunkan angka TPT secara berkelanjutan.
      Problema dari pengangguran menjadi lebih kompleks karena bukan hanya jumlah penduduk yang tidak bekerja tetapi berkaitan dengan karakteristik ketenagakerjaan lainnya seperti, struktur umur usia kerja, tingkat pendidikan, distribusi tenaga kerja dan sebagainya.  
       Pengangguran secara umum terjadi karena lebih banyaknya ketersediaan (supply) tenaga kerja dibandingkan dengan permintaan/kebutuhan (demand) akan tenaga kerja sehingga terjadi over employment.
DINAMIKA TPAK & TPT    
      Indikator ketenagakerjaan yang sering menjadi perhatian yaitu, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah perbandingan antara angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Dimana angkatan kerja sendiri merupakan penduduk usia kerja yang secara aktif bekerja ataupun mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka merupakan hasil perbandingan antara jumlah pencari kerja terhadap angkatan kerja.
     Berdasarkan data BPS, Februari 2018, tingkat partisipasi angkatan kerja Jawa Barat sebesar 63,82 persen, terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 64,60 persen. Penurunan TPAK Jawa Barat diduga karena banyak pencari kerja yang sekarang memilih tidak bekerja atau tidak mencari pekerjaan lagi. Dengan penurunan TPAK ini menunjukkan bahwa peran aktif penduduk Jawa Barat dalam pembangunan ekonomi relatif menurun dalam setahun terakhir.
      Sedangkan angka TPT Jawa Barat sebesar 8,16 persen menunjukkan bahwa dari 10.000 penduduk angkatan kerja, sekitar 816 orang tidak terserap pasar tenaga kerja. Jika melihat dari jenis kelamin di Jawa Barat pada Februari 2018, TPT perempuan lebih tinggi angkanya jika dibandingkan TPT laki-laki. Hal tersebut karena perempuan lebih sulit atau kalah bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Bisa juga laki-laki mendapatkan pekerjaan apa saja karena untuk menopang rumah tangga dibandingkan perempuan yang memilih jenis pekerjaan yang sesuai.
PENDUDUK BEKERJA & TPT BERDASARKAN PENDIDIKAN
      Ketenagakerjaan tidak terlepas dari tingkat pendidikan angkatan kerja, karena dengan semakin tingginya pendidikan yang ditamatkan dapat lebih terserap oleh pasar tenaga kerja. Tetapi penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah, ini karena struktur perekonomian Jawa Barat masih banyaknya pekerjaan informal, usaha mikro maupun buruh tani di pedesaan.
     BPS mencatat  Februari 2018, tenaga kerja di Jawa Barat masih didominasi oleh penduduk yang bekerja berpendidikan rendah yaitu Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Penduduk yang bekerja dengan pendidikan SD ke bawah sebanyak 8,37 juta orang dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 3,81 juta orang. Penduduk bekerja berpendidikan SMA sebanyak 3,29 juta orang dan berpendidikan SMK sebanyak 2,97 juta orang. Sedangkan penduduk  bekerja berpendidikan diploma dan lulusan universitas sebanyak 2,47 juta orang.
      Sama halnya dengan banyaknya penduduk yang bekerja, penduduk sebagai penganggur lulusan SD ke bawah lebih rendah dibandingkan dengan pendidikan SMP Ke atas. Fenomena yang unik ini harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah untuk meningkatkan keahlian yang memadai terhadap lulusan sekolah khususnya lulusan SMK.
     Data BPS, Februari 2018 dimana penduduk dengan lulusan SD ke bawah mempunyai TPT sebesar 4,59 persen, 10,28 persen TPT penduduk dengan lulusan SMP. Untuk tingkat menengah, lulusan SMA menyumbang TPT sebesar 8,95 persen dan SMK menyumbang terhadap TPT sebesar 13,23 persen. Sedangkan untuk lulusan Diploma menyumbangkan TPT terbesar ke dua, yakni sebesar 12,66 persen dan lulusan universitas sebesar 7,61 persen.
     Selama empat tahun terakhir, TPT dengan jenjang pendidikan SMK sebagai penyumbang angka TPT terbesar dibandingkan dengan tingkat pendidikan lain. Kondisi tersebut harus menjadi early warning bahwa SMK sebagai pendidikan vokasi yang diharapkan menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja justru penyumbang terbesar terhadap tingkat pengangguran.
      Menjadi pertanyaan apakah ada kesalahan kurikulum yang diterapkan selama ini di SMK atau perbedaan kebutuhan terhadap keahlian/ lulusan terampil di pasar tenaga kerja. Menjadi “PR” Pemda Provinsi Jawa Barat untuk mengurangi tingkat pengangguran.
     Lulusan sekolah baik yang menengah maupun lulusan universitas harus mempunyai karakter yang kuat untuk meningkatkan daya saing seperti etos kerja yang produktif. Juga dituntut mempunyai kompetensi, dimana setelah lulus sekolah  mempunyai kemampuan bekerja sesuai perkembangan jaman yang menuntut terampil terhadap teknologi. Selanjutnya lulusan sekolah harus mempunyai inovasi yang kuat terhadap barang/jasa yang dihasilkan, sehingga berdampak semakin kompetitif lulusan sekolah  di pasar tenaga kerja .
      Tak kalah penting lulusan sekolah harus mempunyai jiwa entrepreneurship bukan hanya sebagai pekerja tetapi dapat membangun usaha sendiri. Bukan sebagai bagian masalah tapi pemecah solusi, sehingga dapat mendukung program pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran dan mengurangi kemiskinan. ***

Sumber:

Radar Cianjur, 14 Agustus 2018



Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar