13 Feb 2019

KEBIJAKAN FISKAL & MONETER TERHADAP DEFISIT NERACA PERDAGANGAN


Oleh : A. SAEBANI, SSi

KSK & Statistisi Ahli Pertama di BPS Kabupaten Cianjur

                          
      
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat selain akibat faktor eksternal seperti masih berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat dengan China. Kebijakan Bank Sentral (The Fed Reserve) Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan mengakibatkan para pemegang dolar AS banyak mengalihkan depositonya dalam negeri  ke luar negeri. Selain itu harus diperhatikan faktor fundamental makro ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/ CAD) harus pada level yang aman. Bagaimana strategi pemerintah dalam menekan difisit neraca berjalan dan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah?
       Berdasarkan data BPS, secara kumulatif nilai ekspor Indonesia antara bulan Januari hingga September 2018 sebesar US$ 134,99 miliar, sedangkan nilai impor sebesar US$ 138,78 miliar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia antara Januari hingga September terjadi defisit sebesar US$ 3,79 miliar. Sentimen negatif kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS masih berlanjut, melemahnya ekonomi tercermin sampai kuartal tiga neraca perdagangan Indonesia yang defisit. Maka peran pemerintah untuk melakukan langkah kebijakan fiskal yang efektif sehingga perekonomian bisa tumbuh seperti yang sudah ditargetkan di tahun 2018 pada level 5% lebih dapat direalisasikan.
       Berdasarkan undang-undang Bank Sentral yakni Bank Indonesia (BI) mempunyai tugas dalam memelihara kepercayaan rupiah sebagai alat tukar di Indonesia. Bank Sentral harus melakukan langkah strategis dan terukur dalam hal moneter untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan juga megembalikan kepercayaan rupiah khususnya terhadap dolar AS tetap di posisi yang stabil.
Kebijakan fiskal
       Kebijakan fiskal merupakan proses menjaga kinerja keuangan pemerintah supaya berjalan efektif dan  efisien dalam meangalokasikan anggaran. Kebijakan fiskal mengacu kepada pengelolaan uang oleh pemerintah, sehingga tujuan untuk memperbaiki cara beroperasi yang benar sesuai perencanaan. Dalam mengaplikasikan kebijakan fiskal yang tepat pada kondisi saat ini adalah dengan kebijakan fiskal ekspansif. Dimana pada kondisi ini pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan pajak, tertermin ketika suatu negeri berada pada kondisi gangguan keuangan.
       Salah satu kebijakan fiskal yaitu dengan menentukan besaran nilai pajak terhadap komoditas perdagangan internasional. Kebijakan ini lebih mengenai besaran tarif bea masuk dan keluar barang-barang yang menjadi objek baik ekspor maupun impor. Fungsi pajak pada perdagangan internasional selain berfungsi sebagai sumber pendapatan juga sebagai alat pengatur (regulasi). Fungsi ini mempunyai pengertian bahwa pajak merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu dalam memulihkan perekonomian.
       Kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah saat ini adalah dengan melakukan kenaikkan PPh impor terhadap 900 komoditas sebesar 2,5% sampai 7,5% sehingga diharapkan akan menekan laju barang impor masuk ke pasar nasional. Terbukti pada bulan September 2018 terjadi surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$ 230 juta. Realisasi neraca perdagangan bulai ini mulai membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat defisit mencapai US$ 1,02 miliar. Walaupun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada kisaran Rp. 15.192 tetapi kekuatan dolar semakin menjinak.
Kebijakan Moneter
       Kewenangan dalam melakukan kebijakan moneter berada pada Bank Sentral yakni Bank Indonesia. Kebijakan moneter meliputi langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI) untuk dapat mengubah dalam hal penawaran (supply) uang dan mentukan suku bunga yang ada. Bank Indonesia (BI) melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan mengimplementasikan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu disebut dengan BI 7 Day (Reverse) Repo Rate.
      Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kenaikkan suku bunga acuan pertama kali terjadi pada 18 Mei 2018, dimana suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,5 persen. Dengan harapan kebijakan bauran BI ini bisa meredam kekuatan dolar AS akan tetapi kurs rupiah makin lebih jeblok menjadi Rp. 14.107 pada tanggal 18 Mei 2018. Tahap selanjutnya pada 27 September 2018 Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate menjadi 5,75 persen. Keputusan tersebut secara konsisten untuk menurunkan defisit neraca berjalan ke arah level yang aman. Kebijakan tersebut juga untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga dapat memperkuat ketahanan eksternal Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi.
      Terakhir pada bulan ini 23 Oktober 2018, Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat suku Bunga acuannya (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) di level 5,75 persen. Dimana untuk suku bunga deposit facility pada level  5,0 persen dan suku bunga lending facility pada kisaran 6,5 persen.
      Keseriusan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menekan  impor dan meningkatkan ekspor sehingga akan mempunyai dampak positif terhadap penurunan defisit transaksi berjalan sebesar 2,5 % di tahun 2019 dapat tercapai. Pertumbuhan ekonomi tercermin masih tingginya konsumsi masyarakat akan tetapi tingkat impor masih akan dirasakan tinggi mengingat konsumsi domestik masih terjaga.
     Yang perlu diperhatikan adalah kinerja ekspor Indonesia harus perlu ditingkatkan lagi. Pemilihan segmen pasar Indonesia harus bisa menembus pasar alternatif di tengah gejolak global akibat perang dagang Amerika dengan China. Peningkatan Ekspor akan meningkatkan cadangan divisa yang saat ini terkuras demi stabilisasi rupiah di pasar keuangan.

Sumber:

RADAR CIANJUR,
 25 Okober 2018

 

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar