13 Feb 2019

DEPRESIASI RUPIAH MENGURAS DEVISA


Oleh: A. Saebani
KSK & Statistisi Ahli Pertama di BPS Kabupaten Cianjur
Gejolak ekonomi dunia rupanya memberikan andil terhadap kecemasan pelaku ekonomi juga stabilitas perekonomian Indonesia. Perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok, rontoknya perekonomian Turki dan Argentina merupakan salah satu pemicu eksternal melemahnya nilai tukar Rupiah (terdepresiasi) terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat (USD). Semakin merosat nilai tukar rupiah banyak mempengaruhi cadangan devisa yang semakin menipis, sehingga negara butuh dolar banyak demi stabilisasi Rupiah di pasar keuangan. 


       Bank Indonesia mencatat nilai cadangan devisa per Desember 2017 sebesar US$ 130,2 miliar atau naik US$ 4,23 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Cadangan devisa sebanyak itu mampu untuk membiayai kebutuhan impor dan membayar utang luar negeri pemerintah selama 8,3 bulan. Meningkatnya cadangan devisa diikuti dengan stabilnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang Tahun 2017. Nilai tukar Rupiah sepanjang 2017 berkisar antara 13.500 per USD dan hanya terdepresiasi sekitar 0,8 persen. 

        Delapan bulan setelah pencapaian gemilang atas kenaikkan cadangan devisa dan stabilnya nilai tukar Rupiah  terhadap Dolar US sepanjang Tahun 2017. Stabilitas perekonomian Indonesia mulai goyang dengan semakin tertekannya nilai Rupiah terhadap USD. Berdasarkan data Bank Indonesia, per 4 September 2018 nilai tukar Rupiah mendekati nilai Rp. 15.000,- per Dolar Amerika Serikat (USD). Posisi cadangan devisa per 31 Juli 2018 sebesar US$ 118,3 miliar, yang pada awal Tahun 2018 berada pada posisi lebih dari US$ 130 miliar. Dengan semakin menurunnya cadangan devisa negara akan berdampak pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

     Melemah nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat selain faktor eksternal juga harus diperhatikan faktor fundamental makro ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) harus pada level yang aman. Salah satu strategi untuk menguranginya adalah dengan meningkatkan nilai ekspor dan mengurangi impor sehingga tidak membebani cadangan devisa. Selain itu harus mempunyai strategi yang mumpuni untuk meningkatkan investor asing membawa dolar ke Indonesia. Juga sebaliknya pemerintah harus menjamin bahwa Indonesia negara aman dengan segudang pengalaman pada krisis ekonomi 1997 sehingga Dolar US tidak lari dari ke luar negeri.

      Berdasarkan rilis data BPS, ekspor Indonesia Juli 2018 mencapai US$ 16,24 miliar atau meningkat 25,19 persen dibanding ekspor Juni 2018. Akan tetapi kenaikkan tersebut tidak diimbangi dengan nilai impor yang juga naik, dan nilainya lebih besar dari pada ekspor. Nilai impor bulan Juli 2018 sebesar US$ 18,27 miliar atau naik 62,17 persen dibanding Juni 2018. Besarnya nilai impor dibandingkan dengan ekspor secara otomatis akan menguras cadangan devisa. Jika terus menerus terjadi defisit transaksi berjalan, secara psikologis akan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar US.

      BPS mencatat kenaikkan impor pada Juli 2018 karena meningkatnya impor nonmigas mencapai US$ 15,66 miliar atau naik 71,54 persen dibanding Juni 2018. Sebagian besar impor tersebut merupakan golongan mesin dan pesawat mekanik. Banyak kebutuhan untuk mendukung proyek infrastruktur diduga penyebab tingginya mengimpor barang-barang golongan mesin. Distribusi tiga negara asal pengimpor terbesar pada Januari-Juli 2018, pertama Tiongkok sebagai negara yang pemasok barang impor dengan nilai US$ 24,83 miliar (27,39%), disusul Jepang dengan nilai impor sebesar US$ 10,45 miliar (11,53 %) dan Thailand nilai impor sebesar US$ 6,34 miliar (6,99%). 

      Untuk meningkatkan kepercayaan pasar terhadap nilai tukar Rupiah, pemerintah dan BI sebagai otoritas keuangan nasional harus bekerja sama membangun sinergi dalam meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia. Salah satunya harus menurunkan nilai defisit transaksi berjalan kurang dari 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan pada kuartal II defisit berjalan mencapai 3 persen dari PDB atau sebesar 8 miliar Dolar Amerika Serikat. Dengan semakin berkurangnya defisit transaksi berjalan, ekspektasi tekanan Rupiah terhadap USD tidak terlalu meningkat.

     Strategi lain dalam mengendalian impor dan mengurangi defisit transaksi berjalan adalah dengan menunda proyek-proyek yang menggunakan barang-barang impor sangat tinggi. Walaupun infrastruktur sebagai kebutuhan mendesak dalam pemerataan pembangunan tetapi dalam situasi terjadinya gejolak ekonomi perlu di tata ulang khususnya proyek infrastruktur dengan komponen yang dipasok berasal dari impor. Dengan begitu akan menurunkan kebutuhan barang-barang impor sehingga cadangan devisa tidak terbawa arus ditengah badai ekonomi yang belum reda.

      Peningkatan sektor parawisata menjadi modal penting untuk meningkatkan cadangan devisa juga mengurangi tekanan rupiah terhadap Dolar US. Suksesnya Asian games menjadi modal tawar posisi Indonesia di mata dunia. Peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia akan membawa miliaran dolar ke tanah air sehingga akan meningkatkan posisi cadangan devisa. Berdasarkan rilis data BPS, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia Juli 2018 naik 12,10 persen dibanding jumlah kunjungan pada Juli 2017, yaitu dari 1,37 juta kunjungan menjadi 1,54 juta kunjungan. Demikian pula, dibandingkan dengan Juni 2018, jumlah kunjungan wisman mancanegara mengalami kenaikkan sebesar 16,57 persen. Dengan data makro ekonomi khususnya peningkatan kunjungan wisman ke Indonesia diharapkan menjadi daya kekuatan dan ketahanan ekonomi nasional.

      Kekuatan ekonomi Indonesia, tercermin dengan tumbuhnya ekonomi pada triwulan II yang tumbuh di atas prakiraan banyak kalangan. Berdasarkan rilis data BPS, perekonomian Indonesia meningkat cukup tinggi terutama di dorong oleh permintaan domestik dari konsumsi sektor suasta dan pemerintah. BPS mencatat PDB tumbuh 5,27 persen (yoy) pada triwulan II 2018, di mana 5,14% berasal dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Ini menggambarkan adanya perbaikan pendapatan masyarakat dan keyakinan konsumen juga terjaganya tingkat inflasi pada tingkat yang rendah. 

      Dengan dukungan makro ekonomi Indonesia yang baik, seperti naiknya PDB pada triwulan II, inflasi yang terjaga. Juga berbagai kebijakan baik moneter maupun fiskal, tren penurunan mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) tidak menggoyahkan perekonomian secara keseluruhan. Berbekal pengalaman pada krisis keuangan 1997 menjadikan benteng ketahanan ekonomi Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi triwulan III terjaga ditengah gejolak ekonomi dunia yang tidak menentu. 

Sumber:

Radar Cianjur,  6 September 2018


Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar