13 Feb 2019

BACKLOG & RUMAH MENUJU SDGs


       Oleh: A. Saebani, S.Si
KSK & Statistisi Pertama di BPS Kabupaten Cianjur

Perumahan merupakan kebutuhan dasar di samping kebutuhan pangan dan sandang. Program satu juta rumah yang di launcing pada tahun 2015 oleh Presiden Jokowi dan menjadi salah satu proyek strategis nasional. Di saat program sedang digencarkan pemerintah, tetapi tidak sedikit masyarakat berpenghasilan rendah masih banyak yang tinggal di rumah dengan status bukan milik sendiri alias sewa ataupun kontrak. Disamping itu problema perumahan harus menjadi isu penting khususnya pemerintah Jawa Barat dalam mendukung rumah yang sehat dan layak huni.    

               
      Dalam dunia properti sering terdengar kata backlog, yang mempunyai arti kesenjangan antara jumlah rumah yang terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat. Istilah backlog juga sebagai salah satu indikator dalam menghitung kebutuhan terkait perumahan. Menurut Kementerian PUPR backlog perumahan di Indonesia sekitar 11,6 juta rumah bagi rakyat. 

      Berdasarkan data BPS, pada tahun 2017 di Jawa Barat dimana persentase rumah tangga dengan penguasaan bangunan milik sendiri baru mencapai 76,83 persen. Sisanya 11,06 persen, rumah tangga menempati rumah dengan status sewa ataupun kontrak dan 12,11 persen dengan status lainnya seperti rumah bebas sewa, rumah dinas dan status lainnya. Ini menggambarkan bahwa backlog perumahan di Jawa Barat masih tinggi sekitar 23,17 persen rumah tangga masih belum mempunyai rumah milik sendiri. 

     Dengan melihat secara kewilayahan, di perkotaan kepemilikan rumah dengan status milik sendiri lebih rendah, hal ini karena sulitnya ketersedian tanah maupun harga lebih mahal. BPS mencatat status rumah milik sendiri di perkotaan sebesar 71,77 persen. Sedangkan di pedesaan status kepemilikan rumah sendiri sebesar 88,96 persen. Untuk itu pemerintah Jawa Barat semestinya memihak rakyat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah subsidi karena justru masyarakat yang berpenghasilan cukup yang bisa membeli rumah subsidi pemerintah.

     Disamping itu, menurut standar World Health Organization (WHO) tentang rumah layak huni adalah dimana ukuran rumah mempunyai luas 10 m2 per orang. Berarti jika rumah layak huni dan sehat menurut WHO dihuni oleh 4 (empat) orang maka luas minimal harus 40 m2. Sedangkan menurut Kementerian PUPR luasnya adalah 9 m2 dan menurut kementerian kesehatan luasnya  8 m2.

      BPS mencatat hasil Susenas 2017, rumah tangga yang mempunyai luas rata-rata ideal menurut kriteria Kementerian Kesehatan sebesar 88,58 persen. Sedangkan menurut standar WHO dengan luas ideal ukuran rumah mempunyai luas 10 m2 per orang sebesar 81,07 persen. Dengan melihat angka tersebut berarti menurut Kementerian Kesehatan terdapat 11,42 persen dan menurut WHO sebesar 18,93 persen dimana rumah tangga di Jawa Barat menempati rumah tidak layak huni.

      Perilaku sehat merupakan indikator untuk menentukan kemajuan pembangunan manusia. Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau Suistanable Development Goals (SDGs). Salah satu tujuan SDGs ke enam adalah menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi berkelanjutan untuk semua. Salah satu indikator yang digunakan adalah dengan menghitung persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak. 

      Salah satu poin dalam SDGs adalah ketersediaan air bersih, khusus untuk kebutuhan air minum harus bersih dan berkualitas (layak). Air dikatakan layak menajdi air minum apabila sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga berasal dari ledeng, air terlindung (pompa/sumur bor, sumur terlindung, mata air terlindung) dengan jarak ≥ 10 meter dari penampungan kotoran/limbah. BPS mencatat dari hasil Susenas 2017, di Jawa Barat persentase rumah tangga yang mengkonsumsi air minum layak sebesar 70,50 persen atau meningkat sebesar 2,88 persen dibandingkan keadaan tahun 2016. 

      Berdasarkan sumber air minum yang digunakan rumah tangga di Jawa Barat, di perkotaan menggunakan air isi ulang sebesar 33,87 persen; sumur bor/pompa sebesar 18,87 persen dan air kemasan 17,03 persen sebagai sumber air minum. Sedangkan untuk daerah pedesaan sebagian besar menggunakan air minum dari sumur terlindung sebesar 24,34 persen, air isi ulang sebesar 22,75 persen dan mata air terlindung sebesar 15,79 persen sebagai sumber air minum. Ini memperlihatkan bahwa rumah tangga baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan belum sepenuhnya menggunakan sumber air minum berasal dari ledeng. Jika melihat biaya air dari ledeng lebih murah harganya. Akan tetapi melihat kualitas air yang dihasilkan oleh ledeng belum sepenuhnya layak minum sehingga masih kurang minat rumah tangga menggunakan dari perusahaan ledeng maupun PDAM.

      Berdasarkan Susenas 2017, rumah tangga yang tidak memiliki fasitas pembuangan air besar mencapai 7,44 persen. Di duga dari 7,44 persen penduduk membuang air besar (BAB) di sembarang tempat. Masih tingginya penduduk yang BAB tidak pada tempatnya harus menjadi perhatian serius khususnya pemerintah Jawa Barat. Dengan meningkatkan edukasi dan sosialisasi perilaku sanitasi yang sehat serta bantuan infrastruktur sanitasi kepada penduduk miskin diharapkan dapat mengurangi BAB di sembarang tempat.

     Dengan melihat masih tingginya backlog terhadap perumahan serta tingginya tingkat rumah tidak layak huni. Pemerintah melalui Kementerian PUPR maupun Pemda harus lebih memfokuskan diri dalam hal penataan perumahan swadaya yang tidak layak huni dengan program Rutilahu. Maupun memberikan ketegasan supaya pengembang benar-benar memberikan rumah subsidi untuk penduduk yang berpenghasilan rendah bukan sebaliknya penduduk yang mempunyai penghasilan tinggi yang diberikan kredit kepemilikan rumah.(*)
    
Sumber: RADAR CIANJUR.  19 September 2018       


Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar