13 Feb 2019

AYO SEJAHTERAKAN PETANI !


                                  Oleh : A. Saebani, SSi
 Apakah Indonesia sebagai negara agraris?. Menjadi pertanyaan di tengah masalah besar mengenai masih adanya impor pangan. Kebijakan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional. Ironis, petani sebagai tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia, hampir setengah dari jumlah rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.


Sumber penghasilan rumah tangga dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi. Sumber penghasilan menjadi indikator untuk melihat kesejahteraan, apakah digolongkan ke rumah tangga miskin atau tidak miskin. Berdasarkan data hasil Susenas 2017, secara umum rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian sebesar 49,90 persen, sedangkan rumah tangga pertanian yang hidup tidak miskin hanya sebesar 29,16 persen (Publikasi BPS 2017, hal : 29).
Indonesia pernah berhasil dalam swasembada pangan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1986. Namun kemudian kondisi tersebut belum pernah lagi tercapai walaupun strategi pembangunan pertanian tiap pemerintahan berganti mempunyai visi dan misi kedaulatan pangan. Tiap tahun Indonesia selalu melakukan impor komoditas pangan seperti halnya beras dan jagung. Dengan catatan bahwa di era Presiden Soeharto pun baru pertama kali, selebihnya Indonesia masih impor pangan untuk memenuhi kebutuhan makan selama ini.
Ketika dibuka kebijakan impor pangan pun kerap terjadi polemik di antara instansi pemerintah sendiri. Tidak sedikit kritikan datang dari luar pemerintah, kenapa negara agraris dengan sumber daya alam yang subur tidak bisa swasembada pangan. Itu semua menjadi “PR” pemerintah untuk mencari solusi agar kebijakan impor lambat laun di kurangi, sambil memperbaiki kekurangan dalam tata kelola pertanian. Sehingga suatu saat nanti negara benar-benar melindungi petani dari komoditas impor.
Kenapa swasembada pangan sulit tercapai, bercermin dari perkembangan jumlah petani selalu turun dari waktu ke waktu. BPS mencatat, hasil Sensus Pertanian (ST 2013) jumlah petani pangan sekitar 17,73 juta, berkurang sebesar 979 ribu atau 5,24 persen dibandingkan tahun 2003. Kondisi ini memperlihatkan bahwa profesi menjadi petani sudah mulai ditinggalkan karena tidak menjamin kesejahteraan keluarganya. Di lihat dari usia pun rata-rata yang bekerja di sektor pertanian usianya 50 tahun ke atas (Kementerian Pertanian, 2015). Kondisi tersebut mencerminkan bahwa penduduk generasi milenial lebih mencari pekerjaan di luar sektor pertanian yang memberikan upah lebih menjanjikan.
Semangat anak muda menjadi petani tergerus dengan berkaca dari sosial ekonomi kebanyakan orang tua mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pendapatan per rumah tangga pertanian yang berasal dari usaha di sektor pertanian di Indonesia sebesar 12,41 juta rupiah setahun. Dari besarnya pendapatan tersebut, jika di lihat dari jenis usaha tanaman padi sebesar 3,14 juta rupiah atau sekitar 25,31 persen (BPS, 2013). Sebulan rata-rata pendapatan dari sektor pertanian hanya sebesar 1,03 juta untuk menghidupi keluarganya. Apakah layak untuk menghidupi istri serta anak-anak mereka?
Di lihat dari kepemilikan dan penguasaan tanah, petani Indonesia mayoritas sebagai petani gurem, dimana rumah tangga yang menguasai luas lahan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau 55,33 persen dari total yang menguasai lahan pertanian. Dari data tersebut terjadi penurunan petani gurem sebesar 4,77 juta atau 25,07 persen dibandingkan pada kondisi 2003 (BPS, ST 2013).
Dari berbagai kondisi di mana lahan pertanian semakin berkurang akibat digunakan berbagai proyek seperti jalan tol, perumahan, bandara, pelabuhan, pabrik, dan infrastruktur. Hasil metode Kerangka Sampel Area (KSA) 2018, menunjukkan  luas baku sawah tahun ini hanya 7,1 juta hektar atau turun 650 ribu hektar dari tahun 2013 yang luasnya masih 7,75 juta hektar. Potensi produksi beras nasional tahun 2018 sebesar 56,54 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton beras. Dengan melihat tingkat konsumsi beras nasional sebesar 111,58 kg/kapita/tahun atau 29,57 juta ton/tahun. Jika diasumsikan konsumsi beras yang telah disesuaikan untuk tahun 2018 sama dengan  2017, maka selama  2018 terjadi surplus beras sebesar 2,85 juta ton. Walaupun ada surplus beras nasional, tetapi hanya mampu bertahan untuk konsumsi 1 bulan ke depan yang akan mengganggu ketahanan pangan nasional.
Angin segar pun datang untuk petani, melalui Peraturan Presiden yang ditandatangani Presiden Jokowi dengan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dalam Perpres ini disebutkan bahwa penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Dalam Perpres tersebut akan ada redistribusi tanah untuk pertanian kepada Subjek Reforma Agraria dengan luasan 5 hektar sesuai ketentuan TORA, serta pemberian sertifikat hak milik atau hak kepemilikan bersama.
Pelaksanaan dari Perpres tersebut di atas harus tepat sasaran kepada hak-nya yakni petani gurem yang memiliki luas tanah 0,25 hektar atau lebih kecil, petani penggarap, buruh tanah, pekerja honorer dan lainnya, sesuai ketentuan subjek Reforma Agraria. Jika tidak ada pengawasan di lapangan yang ketat tidak mustahil bukan petani yang mendapatkan tanah TORA tetapi para oknum yang memanfaatkan kesempatan tersebut.
Cita-cita Indonesia untuk mencapai swasembada pangan kembali menjadi impian bersama. Mensejahterakan petani kunci untuk mendorong semangat dalam bercocok tanam. Indonesia akan sulit menjadi negara swasembada pangan jika sebagian besar  petani masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Penulis sebagai KSK & Statistisi di BPS Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat
Sumber:

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar