13 Feb 2019

ANTARA DEMOKRASI DAN INDEKS KORUPSI


Oleh: A. Saebani, S.Si
Sejatinya proses demokrasi di Indonesia harus menghasilkan para politisi yang bersih, amanah dan berintegritas. Harapan besar para politisi terpilih, baik yang menjadi Bupati, Gubernur, Presiden maupun anggota legislatif untuk mencurahkan segala daya dan upaya dalam membangun negeri ini terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi, masih banyak kasus korupsi terjadi di Indonesia baik yang ditangani oleh KPK maupun Kejaksaan serta Kepolisian. Data KPK memperlihatkan (Detiknews.19/11/2018) sudah total 104 kepala daerah menjadi tersangka, dari 37 kepala daerah tersebut tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT). Di duga penyebab korupsi karena masih kurangnya integritas dari para pejabat baik di pusat maupun daerah.

Perkembangan demokrasi Indonesia, baik pada Pemilu maupun Pilkada menjadi parameter pembangunan politik dalam negeri. Dana yang tidak sedikit dikucurkan negara untuk membiayai kegiatan politik tersebut harus menghasilkan output demokrasi yang berkualitas. Salah satu keberhasilan dari proses demokrasi bisa diukur dengan indeks demokrasi. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2017 sebesar 72,11 mengalami peningkatan dibandingkan 2016 yang sebesar 70,09 (BPS). Dari capaian indeks demokrasi Indonesia berada pada level “sedang” masih jauh dari tingkat baik yang harus mempunyai skor di atas angka 80.
Bagaimana output dari demokrasi sudah menghasilkan pemimpin yang diharapkan masyarakat?. Tak dipungkiri hasil demokrasi di beberapa daerah mendekati arti dari demokrasi yang diharapkan. Contoh, Ridwan Kamil merupakan hasil proses demokrasi yang baik sehingga pada Pilkada pertama terpilih menjadi Wali Kota Bandung. Di Pilkada serentak 2018 juga terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat. Begitu pun Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) diawali dari Wali Kota Solo, di Pilkada DKI Jakarta menjadi Gubernur dan akhirnya menjadi Presiden RI pilihan rakyat pada Pilpres 2014. Tetapi banyak juga hasil demokrasi menghasilkan para pemimpin korupsi tercermin dari banyaknya hasil dari proses demokrasi berperkara dengan lembaga anti korupsi KPK.
Seiring masih tingginya para oknum politisi berurusan dengan hukum, tercermin data Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang dirilis mengalami penurunan indeks. Nilai IPAK Indonesia 2018 sebesar 3,66 terjadi penurunan dibandingkan dengan 2017 sebesar 3,71 (BPS, 2018). Ini terbalik dari perkembangan hasil indeks demokrasi 2018 secara nasional mengalami perbaikan. Seharusnya tingkat korupsi, baik itu di tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat mengalami penurunan tren terhadap tingkat korupsi. Tetapi kenyataan tidak menjamin hasil demokrasi terbebas dari korupsi. Tingginya biaya politik diduga sebagai penyebab tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi.
Walaupun persepsi atau pendapat masyarakat dalam menilai perilaku anti korupsi tahun 2018 semakin baik, tercermin dengan indeks persepsi sebesar 3,86. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat secara umum mengetahui baik, seperti memberi uang lebih untuk memperlancar pelayanan publik itu bentuk korupsi. Tetapi dalam hal pengalaman atau kegiatan sehari-hari justru dilakukan. Tercermin dengan indeks pengalaman anti korupsi 2018 sebesar 3,57 lebih kecil dari pada IPAK sendiri sebesar 3,66. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat semakin mengetahui mana bentuk korupsi atau bukan. Yang menjadi masalah perbuatan yang terus diulangi dan diulangi lagi  walaupun itu bentuk perilaku korupsi.
Maka perlu adanya kesadaran dari para pemimpin, birokrat, maupun masyarakat untuk tidak melakukan tindakan korupsi dari hal paling kecil. Contoh jika diberi kendaraan dinas, maka tidak boleh digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarga. Tidak boleh adanya uang lebih, misal dalam hal mengurus KTP, SIM, Pasport maupun dokumen lainnya ke para ASN yang membidangi pengurusan.
Dalam hal mendidik dari anak masuk sekolah, banyak orang tua yang ingin anaknya di terima pada sekolah pavorit. Sehingga sogok menyogok pun kerap dilakukan demi diterima di sekolah tersebut. Ataupun keluarga yang mampu, justu membuat keterangan miskin karena ingin anaknya diterima di sekolah pavorit. Melakukan pembiaran, misal di keluarga, anak mengambil uang ataupun barang bukan miliknya. Itu bentuk perilaku anti korupsi dari hal kecil. Jika dilakukan pembiaran dan permisif maka di saat menjadi pemimpin rentan akan sekali melakukan korupsi.
Di bidang pelayanan publik, penggunaan teknologi digital untuk mengurus dokumen kependudukan maupun perizinan sangat diperlukan. Sehingga dalam melakukan pelayanan publik semakin mudah dan waktu yang lebih cepat. Karena suburnya bentuk korupsi diakibatkan oleh kesulitan dalam hal pelayanan publik.
Dalam proses demokrasi, baik itu Pilpres, Pemilu maupun Pilkada serentak, perhatian negara dalam modal politik mestinya harus ditingkatkan. Pemberian insentif untuk biaya saksi maupun biaya operasional untuk para caleg, dan calon kepala daerah harus ditingkatkan. Karena tidak sedikit para caleg maupun calon di Pilkada harus mempunyai modal besar dalam berkampanye. Sehingga berpotensi ketika terpilih melakukan penyalahgunaan wewenang serta melakukan korupsi.
Tak kalah penting, yang harus diperhatikan dalam menimalisir pengeluaran operasional para caleg maupun para calon Pilkada maupun Pilpres nanti. Bentuk sosialisasi ke pemilih harus segera dirubah dari strategi kampanye tradisional menjadi kampenye digital. Jika biasanya terjadi pengerahan massa secara besar-besaran diganti dengan kampanye tatap muka secara online. Penyampaian visi dan misi disosialisasikan melalui jejaring sosial media (Sosmed) ataupun bentuk Website dan youtube. Sehingga pengeluaran bertatap muka fisik  dapat diperkecil karena memerlukan modal yang cukup tinggi.
Dengan beralihnya strategi kampanye dari bentuk fisik (offline) ke kampanye online diharapkan sisi pengeluaran baik itu untuk transportasi, akomodasi maupun lainya bisa dikurangi. Pesta demokrasi, selain sebagai ajang mengukur seberapa tingginya tingkat partisipasi masyarakat sebagai pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Paling penting proses demokrasi tersebut menghasilkan calon para wakil rakyat dan pemimpin yang berintegritas. Bekerja membangun bangsa dan negara dengan amanah.
A. Saebani, SSi bekerja sebagai  KSK dan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cianjur,  Provinsi Jawa Barat

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar