3 Mar 2019

STARTUP BISNIS GENERASI MILENIAL


Oleh : A. Saebani, SSi
Fungsional Statistisi Ahli Pertama di BPS Cianjur Provinsi Jawa Barat

  
                Kemajuan teknologi digital  tidak hanya sebagai alat komunikasi sosial di dunia maya, akan tetapi dengan berbagai inovasi dan kreatifitas dari generasi milenial berkembang ke arah bisnis wirausaha atau entrepreneurship. Dari berbagai bisnis tersebut, seperti halnya bisnis daring (online), e-commerce atau dengan membangun perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi digital yang diprediksi akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di masa yang akan datang.
          Di tengah bisnis konvensional yang mulai ditinggal dan beralih ke bisnis elektronik. Perkembangan penjualan terhadap berbagai produk kebutuhan yang biasa di jual secara ritel, lambat laun mulai terdisrupsi oleh kehadiran bisnis daring berbasis teknologi digital. Perkembangan iklim bisnis retail dalam bentuk gerai (toko) yang menawarkan barang dan jasa sudah banyak yang tutup. Ini merupakan suatu peringatan kepada para pengusaha untuk melakukan perubahan strategi dagang konvensional menuju perdagangan berbasis teknologi digital.
          Begitu pun industri manufaktur, perbankan, jasa transfortasi sudah banyak menerapkan teknologi digital atau revolusi industri 4.0 sehingga kebutuhan tenaga kerja manusia pun akan semakin terbatas. Kondisi ini akan banyak perusahaan manufaktur menggunakan mesin atau robot dalam operasional. Akibatnya, tenaga kerja manusia tidak dapat dimanfaatkan, sehingga pengangguran akan semakin meningkat dan menjadi masalah sosial di masyarakat.
        Oleh karena itu, baik pemerintah, berbagai pemangku kepentingan, pelaku usaha maupun masyarakat perlu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dalam meningkatkan keahlian serta kompetensi terhadap teknologi digital. Membangun SDM yang handal dan dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, maka ancaman disrupsi teknologi terhadap tenaga kerja akan teratasi. Dengan adanya kemajuan teknologi sejumlah jenis pekerjaan akan hilang serta persaingan bekerja pun akan semakin ketat, sehingga satu-satunya adalah perlu peningkatan kemampuan menyerap teknologi baru tersebut.
          Selain mempersiapkan SDM yang melek teknologi, komitmen pemerintah dalam pembangunan infrastruktur untuk perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi perlu menjadi perioritas kebijakan. Hal ini karena, dukungan seperti keberadaan satelit supaya dapat menjangkau ke seluruh pelosok penjuru Indonesia. Maupun memperkuat jaringan signal LTE (4G) serta meningkatkan ke jaringan 5G, sehingga akan meningkatkan kecepatan akses internet di Indonesia.
         Menengok pada pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada Januari 2016 di Davos, Swiss. Revolusi industri 4.0 menjadi fokus utama pembahasan dan perdebatan pada pertemuan tersebut. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang membedakan revolusi industri 4.0 dengan revolusi industri sebelumnya. Tiga hal tersebut menjadi dasar mengapa transformasi yang terjadi saat ini bukan merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari revolusi digital, melainkan menjadi revolusi transformasi baru (tersendiri), dengan alasan: Pertama, inovasi dapat dikembangkan dan menyebar jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Dengan kecepatan ini terjadi terobosan baru pada era sekarang, berkembang secara eksponensial, bukan pada skala linear lagi.
        Kedua, akan terjadi penurunan biaya produksi yang marginal dan munculnya rencana kerja (platform) yang dapat menyatukan dan mengkonsentrasikan beberapa bidang keilmuan yang terbukti meningkatkan hasil (output) pekerjaan. Transformasi dapat menyebabkan perubahan pada seluruh sistem produksi, manajemen, dan tata kelola sebuah lembaga. Ketiga, revolusi secara global ini akan berpengaruh besar dan terbentuk di hampir semua negara di dunia, di mana cakupan transformasi terjadi di setiap bidang industri dan dapat berdampak secara menyeluruh di banyak tempat.
          Di sisi lain, penetrasi alat-alat elektronik, seperti telepon genggam (handphone) yang harganya semakin murah dan sudah sampai ke berbagai pelosok dunia, baik yang penduduknya mempunyai pendapatan tinggi maupun rendah. Pada masa ini teknologi begitu menyentuh ranah pribadi, pengatur kesehatan, pola diet, olahraga, mengelola investasi, mengatur keuangan melalui mobile banking, memesan taksi, memanggil Go-Jek, pesan makanan di restoran (go-food), beli tiket pesawat, mengatur perjalanan, main game, menonton film terbaru, dan sebagainya. Semua itu kini bisa dilakukan hanya melalui satu perangkat e-commerce atau dengan perusahaan rintisan (startup).
           Peluang untuk mengembangkan bisnis startup di Indonesia sangat terbuka lebar, hal ini karena didukung adanya bonus demografi di Indonesia yang sebagai puncaknya pada tahun 2030. Terjadinya perubahan struktur kependudukan, dimana usia produktif lebih banyak dari pada penduduk usia tidak produktif. Bisnis perusahaan rintisan (startup) merupakan bisnis yang sesuai dengan keinginan serta kemampuan untuk kaum muda yang melek dengan kemajuan teknologi digital.
          Pengembangan startup akan menjadi daya ungkit dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan regulasi serta infrastruktur dalam mendukung kemajuan perusahaan startup akan berbanding lurus naiknya sumber pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan rilis data BPS, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Indonesia pada 2018  sebesar 5,17 persen, dimana sumbangan lapangan usaha informasi dan komunikasi tumbuh sebesar 0,38 persen. Dengan meningkatkan jumlah perusahaan rintisan (startup), LPE Indonesia juga akan semakin meningkat untuk tahun berikutnya.
          Perusahaan rintisan (startup) juga sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan pengangguran kaum muda terdidik. Di tengah masih tingginya angka pengangguran di Indonesia, pada agustus 2018 tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,34 persen (BPS, 2018). Yang menjadi perhatian utama, untuk mengurangi tingkat pengangguran untuk tingkat pendidikan kejuruan terdidik seperti untuk pendidikan tingkat SMK (11,24 persen), SMA (7,95 persen), Diploma (6,02 persen), Universitas (5,89 persen).
          Dan yang menjadi permasalahan dalam ketenagakerjaan adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) untuk perempuan yang masih rendah. Hal ini tercermin untuk TPAK perempuan (51,88 persen) jauh berbeda dengan TPAK laki-lakai (82,69 persen). Peningkatan kaum perempuan berpartisipasi untuk bekerja dalam mendapatkan pendapatan akan semakin bertambahnya produk domestik bruto (PDB).
          Salah satu untuk meningkatkan TPAK perempuan dengan bekerja atau bisnis daring ataupun membuat perusahaan rintisan (startup). Karena bentuk usaha ini sangat cocok dengan kaum ibu-ibu milenial, melihat waktu yang fleksibel, tidak perlu ada kantor di rumah juga tidak menjadi masalah. Meningkatnya kaum ibu-ibu milenial untuk menjadi pengusaha daring maupun membangun perusahaan startup, selain dapat mengurangi tingkat pengangguran juga akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. 
         Ekosistem ekonomi digital di Indonesia perlu dikembangkan sebagai solusi mengurangi tingkat pengangguran. Pelatihan tehadap generasi milenial yang suka inovasi dan penuh kreatifitas untuk dididik dalam membangun startup. Peluang menjadi “unicorn” yaitu perusahaan startup yang mempunyai nilai (value) di atas US$ 1 miliar akan menjadi kenyataan, yang sebelumnya sudah terdapat 4 unicorn yaitu : GoJek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak. Harapan Indonesia sebagai pusat ekosistem ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara akan menjadi kenyataan dengan bekerja keras, cerdas dan berkelanjutan.
Sumber: Ayobandung.com, 25 Februari 2019

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar