Oleh : A. Saebani
Fungsional di BPS Kabupaten
Cianjur Provinsi Jawa Barat
Hasil
jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan bahwa jawaban responden terhadap isu
pangan (51,8 persen) mengalahkan isu lain seperti infrastruktur (15,3 persen),
sumber daya alam (12,1 persen), lingkungan (10,5 persen) dan terakhir energi
(5,5 persen) menjadi perioritas untuk diselesaikan oleh capres dan cawapres jika
terpilih (Kompas, 16/02/2019). Survei yang dilaksanakan dari tanggal 13-14
Februari 2019 melibatkan 620 responden di 17 kota besar di Indonesia. Perhatian
utama masyarakat terhadap isu pangan sangat wajar, karena pangan merupakan
kebutuhan dasar bagi semua warga negara.
Ketersedian
dan kemudahan akses terhadap pangan menjadi titik sentral dalam membangun
kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Bagaimana strategi para capres
maupun cawapres mengenai kebijakan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau.
Disisi lain pemerintah perlu memperhatikan nasib petani sebagai penghasil
pangan untuk meningkatkan kesejahteraannya?.
Menjaga
ketersediaan pangan serta harga yang terjangkau untuk semua lapisan masyarakat
menjadi harapan sebagian besar penduduk sebagai konsumen. Namun demikian, para
petani, peternak, maupun nelayan mempunyai harapan sebaliknya. Harga komoditas
pangan yang dihasilkan supaya dapat memperoleh harga tinggi untuk meningkatkan keuntungan.
Menyeimbangkan antara harapan konsumen dengan meningkatkan kesejahteraan petani
menjadi ujian berat bagi para kontestan capres maupun cawapres.
TANTANGAN INDONESIA KE DEPAN
Jumlah
penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menjadikan pangan sebagai
persoalan paling utama untuk diselesaikan dengan cepat dan tepat. Di sisi lain,
berkurangnya lahan pertanian akibat berbagai program pembangunan, baik
infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, maupun perumahan. Kondisi tersebut
menjadikan para petani semakin sempit dalam menguasai serta mengolah lahan
pertanian.
Akibatnya
produksi pangan seperti padi, jagung, kedelai, telur ayam ras maupun daging
sapi sering kekurangan persediaan sehingga harga rentan naik. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah melakukan kebijakan yang tidak populis seperti impor
untuk menjaga ketersedian dan ketahanan pangan nasional. Polemik impor pun
sering menjadi perbincangan di masyarakat.
Persoalan
pangan menjadi isu penting karena kekurangan pangan akan mengakibatkan
rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Masih kurang akses penduduk terhadap pangan,
khususnya pangan yang bergizi mengakibatkan tingginya angka prevalensi stunting
di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2013) sebanyak 37,2%, atau sekitar 4 dari 10 anak Indonesia
mengalami stunting, dan pada 2018 prevalensi stunting turun menjadi 30,8%
(Riskesdas 2018).
Semakin
sempitnya lahan pertanian, sesuai dengan data BPS hasil Survei Pertanian Antar
Sensus (SUTAS) yang diselenggarakan pada tahun 2018. Di lihat dari kepemilikan dan
penguasaan tanah, petani Indonesia mayoritas sebagai petani gurem, dimana rumah
tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai luas lahan kurang dari 0,5
hektar pada 2013 (14,25 juta) sedangkan pada 2018 sebanyak 15,81 juta petani
gurem.
Bertambahnya
petani gurem mengolah lahan pertanian mengakibatkan pendapatan yang diperoleh
ketika panen juga semakin terbatas. Disisi lain, naiknya biaya produksi seperti
upah tenaga kerja serta masih terbatasnya pupuk murah menjadikan keuntungan
petani semakin kecil. Fenomena ini menyebabkan tingkat kemiskinan rumah tangga
petani tak kunjung keluar dari garis kemiskinan. Berdasarkan rilis data BPS,
kategori rumah tangga miskin sebesar 49,00 persen menggantungkan hidupnya dari
sektor pertanian (BPS, 2018).
Menarik Minat Kaum milenial
Zaman globalisasi, kemajuan tenologi tak dapat
dipisahkan dengan kehidupan manusia. Perkembangan teknologi digital, robot maupun bidang genetika maju dengan
pesatnya. Maka perlu mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam
bidang industri tak terkecuali dalam bidang pertanian yang menghasilkan pangan.
Revolusi Industri 4.0 merupakan tahapan revolusi teknologi
dengan mengubah cara beraktivitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kerumitan
pelayanan, maupun proses produksi supaya lebih sederhana, lebih cepat dan
produktivitas lebih tinggi dari biasanya.
Permasalahnya,
petani, peternak maupun nelayan sudah berpuluh tahun menggunakan teknologi
konvensional sehingga lambat dalam meningkatkan produksi. Dengan berbagai
keterbatasan seperti sebagian besar petani berusia tua dan tingkat pendidikan
yang rendah. Pengembangan revolusi teknologi 4.0 sulit untuk diterapkan dalam
jangka waktu dekat. Salah satu solusinya adalah dengan menarik minat para
milenial yang umumnya mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dan penguasaan
teknologi digital yang cukup.
Kebijakan
pemerintah menarik minat para milenial menjadi petani merupakan terobosan paling
efektif untuk menerapkan era teknologi 4.0 ke dalam proses pengolahan, produksi
maupun sampai paska panen. Intensifikasi dengan menggunakan teknologi 4.0
dipercaya meningkatkan produktivitas pangan Indonesia. Produksi yang melimpah
dan biaya yang murah akan menciptakan harga komoditas pangan akan murah pula.
Sehingga antara konsumen serta produsen memperoleh keutungan dari penerapan
revolusi teknologi 4.0.
Regenerasi petani tua ke petani milenial perlu
menjadi kebijakan strategis para kandidat capres maupun cawapres jika terpilih
menjadi pemimpin RI. Memberikan insentif maupun subsidi terhadap kaum milenial
supaya tertarik menjadi petani professional
merupakan langkah nyata untuk pembangunan ketahanan pangan berkelanjutan.
Sumber:
ayobandung.Com
(hhtp://www.ayobandung.com/read/2019/02/22/45537/ketahanan-pangan-dalam-pusaran-politik,
22 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar