3 Mar 2019

KETAHANAN PANGAN DALAM PUSARAN POLITIK


Oleh : A. Saebani
Fungsional di BPS Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan bahwa jawaban responden terhadap isu pangan (51,8 persen) mengalahkan isu lain seperti infrastruktur (15,3 persen), sumber daya alam (12,1 persen), lingkungan (10,5 persen) dan terakhir energi (5,5 persen) menjadi perioritas untuk diselesaikan oleh capres dan cawapres jika terpilih (Kompas, 16/02/2019). Survei yang dilaksanakan dari tanggal 13-14 Februari 2019 melibatkan 620 responden di 17 kota besar di Indonesia. Perhatian utama masyarakat terhadap isu pangan sangat wajar, karena pangan merupakan kebutuhan dasar bagi semua warga negara.

Ketersedian dan kemudahan akses terhadap pangan menjadi titik sentral dalam membangun kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Bagaimana strategi para capres maupun cawapres mengenai kebijakan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau. Disisi lain pemerintah perlu memperhatikan nasib petani sebagai penghasil pangan untuk meningkatkan kesejahteraannya?.
Menjaga ketersediaan pangan serta harga yang terjangkau untuk semua lapisan masyarakat menjadi harapan sebagian besar penduduk sebagai konsumen. Namun demikian, para petani, peternak, maupun nelayan mempunyai harapan sebaliknya. Harga komoditas pangan yang dihasilkan supaya dapat memperoleh harga tinggi untuk meningkatkan keuntungan. Menyeimbangkan antara harapan konsumen dengan meningkatkan kesejahteraan petani menjadi ujian berat bagi para kontestan capres maupun cawapres.

TANTANGAN INDONESIA KE DEPAN
Jumlah penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menjadikan pangan sebagai persoalan paling utama untuk diselesaikan dengan cepat dan tepat. Di sisi lain, berkurangnya lahan pertanian akibat berbagai program pembangunan, baik infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, maupun perumahan. Kondisi tersebut menjadikan para petani semakin sempit dalam menguasai serta mengolah lahan pertanian.
Akibatnya produksi pangan seperti padi, jagung, kedelai, telur ayam ras maupun daging sapi sering kekurangan persediaan sehingga harga rentan naik. Sebagai konsekuensinya, pemerintah melakukan kebijakan yang tidak populis seperti impor untuk menjaga ketersedian dan ketahanan pangan nasional. Polemik impor pun sering menjadi perbincangan di masyarakat.
Persoalan pangan menjadi isu penting karena kekurangan pangan akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.  Masih kurang akses penduduk terhadap pangan, khususnya pangan yang bergizi mengakibatkan tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013) sebanyak 37,2%, atau sekitar 4 dari 10 anak Indonesia mengalami stunting, dan pada 2018 prevalensi stunting turun menjadi 30,8% (Riskesdas 2018).
Semakin sempitnya lahan pertanian, sesuai dengan data BPS hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) yang diselenggarakan pada tahun 2018. Di lihat dari kepemilikan dan penguasaan tanah, petani Indonesia mayoritas sebagai petani gurem, dimana rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai luas lahan kurang dari 0,5 hektar pada 2013 (14,25 juta) sedangkan pada 2018 sebanyak 15,81 juta petani gurem.
Bertambahnya petani gurem mengolah lahan pertanian mengakibatkan pendapatan yang diperoleh ketika panen juga semakin terbatas. Disisi lain, naiknya biaya produksi seperti upah tenaga kerja serta masih terbatasnya pupuk murah menjadikan keuntungan petani semakin kecil. Fenomena ini menyebabkan tingkat kemiskinan rumah tangga petani tak kunjung keluar dari garis kemiskinan. Berdasarkan rilis data BPS, kategori rumah tangga miskin sebesar 49,00 persen menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (BPS, 2018).

Menarik Minat Kaum milenial
Zaman globalisasi, kemajuan tenologi tak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Perkembangan teknologi digital, robot maupun bidang genetika maju dengan pesatnya. Maka perlu mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam bidang industri tak terkecuali dalam bidang pertanian yang menghasilkan pangan. Revolusi Industri 4.0 merupakan tahapan revolusi teknologi dengan mengubah cara beraktivitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kerumitan pelayanan, maupun proses produksi supaya lebih sederhana, lebih cepat dan produktivitas lebih tinggi dari biasanya.
Permasalahnya, petani, peternak maupun nelayan sudah berpuluh tahun menggunakan teknologi konvensional sehingga lambat dalam meningkatkan produksi. Dengan berbagai keterbatasan seperti sebagian besar petani berusia tua dan tingkat pendidikan yang rendah. Pengembangan revolusi teknologi 4.0 sulit untuk diterapkan dalam jangka waktu dekat. Salah satu solusinya adalah dengan menarik minat para milenial yang umumnya mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dan penguasaan teknologi digital yang cukup.   
Kebijakan pemerintah menarik minat para milenial menjadi petani merupakan terobosan paling efektif untuk menerapkan era teknologi 4.0 ke dalam proses pengolahan, produksi maupun sampai paska panen. Intensifikasi dengan menggunakan teknologi 4.0 dipercaya meningkatkan produktivitas pangan Indonesia. Produksi yang melimpah dan biaya yang murah akan menciptakan harga komoditas pangan akan murah pula. Sehingga antara konsumen serta produsen memperoleh keutungan dari penerapan revolusi teknologi 4.0.
Regenerasi petani tua ke petani milenial perlu menjadi kebijakan strategis para kandidat capres maupun cawapres jika terpilih menjadi pemimpin RI. Memberikan insentif maupun subsidi terhadap kaum milenial supaya tertarik  menjadi petani professional merupakan langkah nyata untuk pembangunan ketahanan pangan berkelanjutan.
Sumber:
ayobandung.Com (hhtp://www.ayobandung.com/read/2019/02/22/45537/ketahanan-pangan-dalam-pusaran-politik, 22 Februari 2019

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar