Oleh : Dedi Abdulah
KSK Cikalongkulon dan Fungsional Statistisi Penyelia di BPS Kabupaten
Cianjur
Kondisi ini dapat dilihat masih
tingginya ketimpangan pengeluaran penduduk Jawa Barat dibandingkan dengan
ketimpangan di provinsi lain di Indonesia. Salah satu untuk mengukur
ketimpangan pengeluaran pengeluaran yaitu dengan gini ratio. BPS mencatat pada
tahun 2018, gini rastio (ukuran ketidakmerataan pendapatan atau ketimpangan
agregat) pada Bulan September 2018 sebesar 0,405. Angka ini sebetulnya terjadi
penurunan gini ratio dibandingkan pada periode Maret 2018 sebesar 0,407. Tetapi
angka tersebut masih tinggi jika dibandingkan dengan angka gini ratio nasional
pada September 2018 sebesar 0,384.
Angka Gini ratio nol menunjukkan
bahwa tidak ada ketimpangan pengeluaran (pengeluaran penduduk sama), sedangkan
gini ratio 1 menunjukkan banwa adanya ketimpangan sempurna di daerah tersebut.
Semakin tinggi angka gini ratio berarti ketimpangan pengeluaran penduduk suatu
daerah semakin tinggi pula.
Untuk menurunkan ketimpangan
pengeluaran penduduk, pemerintah khususnya Pemda Jawa Barat perlu membuat
terobosan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada penduduk
berpenghasilan rendah. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang jika tidak dibarengi
dengan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok desa sulit untuk mengatrol penduduk
berpenghasilan rendah keluar dari kemiskinan.
Salah satu penyebab masih tingginya angka gini ratio karena faktor
pendidikan penduduk yang masih rendah. Banyaknya penduduk yang berkerja di lapangan
kerja informal karena sulitnya mengakses pekerjaan yang layak sesuai tingkat
pendidikan yang persyaratkan oleh pemberi pekerjaan. Penduduk yang bekerja
dengan pendidikan yang rendah akan mempunyai produktivitas rendah, sehingga
pendapatan yang diterima pula rendah. Ini akan mengakibatkan ketimpangan
pengeluaran yang diukur dengan gini ratio sulit turun ke angka yang rendah.
Berdasarkan data BPS hasil Sakenas, penyerapan
tenaga kerja di Jawa Barat hingga Agustus 2018 masih di dominasi oleh penduduk
yang bekerja dengan berpendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) ke bawah sebanyak
8,08 juta orang (38,89 persen) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
sebanyak 3,84 juta orang (18,46 persen). Sedangkan untuk tingkat SMA sebanyak
3,54 juta orang (17,04 persen), SMK sebanyak 2,82 juta orang (13,57 persen),
dan penduduk yang bekerja berpendidikan tinggi (Diploma ke atas) sebanyak 2,5
juta orang (12, 04 persen).
Data di atas menunjukkan bahwa
produktivitas serta daya saing tenaga kerja di Jawa Barat masih rendah karena masih
banyak penduduk yang berpendidikan rendah. Tercermin dominasi lulusan SD dan
SMP yang banyak terserap sebagai tenaga kerja. Sehingga terjadi ketimpangan
pendapatan yang di peroleh, akibatnya gini ratio tinggi.
Begitu pun untuk penyerapan tenaga
kerja yang bekerja pada sektor-sektor yang memberikan tingkat upah tinggi,
misalkan industri manufaktur umumnya tingkat pendidikan SMA atau SMK ke atas.
Yang berpendidikan SD atau SMP ke bawah terpaksa bekerja pada sektor informal
dengan gaji di bawah upah minimum regional (UMR) yang ditetatapkan pemerintah.
Untuk mempercepat dalam menurunkan ketimpangan
pengeluaran, Pemda Jawa Barat perlu membuat suatu terobosan untuk penduduk yang
berpendidan masih rendah. Dengan meningkatkan angka rata-rata lama sekolah
(RLS) untuk penduduk yang berusia di atas 25 tahun dengan mengambil persamaan paket
B maupun C.
Pemda Jawa Barat perlu mempetakan
kabupaten/kota yang masih mempunyai RLS masih rendah untuk di perioritaskan
untuk meningkatkan tingkat pendidikan. Minimal satu desa satu lembaga bimbingan
belajar yang bertugas untuk menampung penduduk yang pendidikan di bawah SMP untuk
mendapatkan persamaan paket B atau paket C.
Penduduk dengan mempunyai ijasah
paket C diharapkan mempunyai kepercayaan diri untuk bersaing untuk memperoleh
pekerjaan formal sehingga akan menambah pendapatan untuk keluarganya. Selain
itu dengan pengetahuan yang didapatkan, ketika membuka usaha sendiri
(berwirausaha) lebih maju dalam menijalankan usahanya sehingga keuntungan
semakin tinggi.
Selain meningkatkan tingkat
pendidikan, pemerintah daerah perlu memberikan tempat yang starategis untuk
penduduk yang berpendidikan rendah untuk membuka usaha agar dapat meningkatkan
pendapatannya. Salah satunya, membuka kape atau kawasan pedagang kaki lima yang
tertata sehingga penduduk dapat berjualan, dilain pihak tidak mengganggu tata
kota. Dengan menata tempat PKL yang strategis selain akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi juga untuk
menurunkan angka ketimpangan pengeluaran.
Pembangunan ekonomi berkelanjutan
yang berpihak kepada penduduk berpenghasilan rendah merupakan strategi dalam
pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Perlu adanya pemerataan pembangunan antara
kabupaten/kota di Jawa Barat. Ini sebagai antisipasi migrasi penduduk yang mempunyai pendidikan dan keahlian untuk
mencari pekerjaan ke daerah lain. Dimana daerah yang ditinggalkan kekurangan
sumber daya manusia (SDM) berkualitas dalam membangun untuk sejajar dengan
daerah lain yang sudah maju.
Sumber:
Radar Cianjur, 2 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar