3 Mar 2019

KETIMPANGAN PENGELUARAN DI JAWA BARAT


Oleh : Dedi Abdulah
KSK Cikalongkulon dan Fungsional Statistisi Penyelia di BPS Kabupaten Cianjur

        
  BPS mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada tahun 2018, dimana pada tahun ini menorehkan prestasi dalam Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) sebesar 5,64 persen, ini lebih tinggi dari LPE nasional sebesar 5,17 persen. Namun demikian, tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Barat belum mampu mengatrol penduduk yang berpendapatan rendah dalam meningkatkan kesejahteraannya.
          Kondisi ini dapat dilihat masih tingginya ketimpangan pengeluaran penduduk Jawa Barat dibandingkan dengan ketimpangan di provinsi lain di Indonesia. Salah satu untuk mengukur ketimpangan pengeluaran pengeluaran yaitu dengan gini ratio. BPS mencatat pada tahun 2018, gini rastio (ukuran ketidakmerataan pendapatan atau ketimpangan agregat) pada Bulan September 2018 sebesar 0,405. Angka ini sebetulnya terjadi penurunan gini ratio dibandingkan pada periode Maret 2018 sebesar 0,407. Tetapi angka tersebut masih tinggi jika dibandingkan dengan angka gini ratio nasional pada September 2018 sebesar 0,384.
          Angka Gini ratio nol menunjukkan bahwa tidak ada ketimpangan pengeluaran (pengeluaran penduduk sama), sedangkan gini ratio 1 menunjukkan banwa adanya ketimpangan sempurna di daerah tersebut. Semakin tinggi angka gini ratio berarti ketimpangan pengeluaran penduduk suatu daerah semakin tinggi pula.
          Untuk menurunkan ketimpangan pengeluaran penduduk, pemerintah khususnya Pemda Jawa Barat perlu membuat terobosan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada penduduk berpenghasilan rendah. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang jika tidak dibarengi dengan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok desa sulit untuk mengatrol penduduk berpenghasilan rendah keluar dari kemiskinan.
          Salah satu penyebab masih tingginya angka gini ratio karena faktor pendidikan penduduk yang masih rendah. Banyaknya penduduk yang berkerja di lapangan kerja informal karena sulitnya mengakses pekerjaan yang layak sesuai tingkat pendidikan yang persyaratkan oleh pemberi pekerjaan. Penduduk yang bekerja dengan pendidikan yang rendah akan mempunyai produktivitas rendah, sehingga pendapatan yang diterima pula rendah. Ini akan mengakibatkan ketimpangan pengeluaran yang diukur dengan gini ratio sulit turun ke angka yang rendah.
          Berdasarkan data BPS hasil Sakenas, penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat hingga Agustus 2018 masih di dominasi oleh penduduk yang bekerja dengan berpendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) ke bawah sebanyak 8,08 juta orang (38,89 persen) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 3,84 juta orang (18,46 persen). Sedangkan untuk tingkat SMA sebanyak 3,54 juta orang (17,04 persen), SMK sebanyak 2,82 juta orang (13,57 persen), dan penduduk yang bekerja berpendidikan tinggi (Diploma ke atas) sebanyak 2,5 juta orang (12, 04 persen).
         Data di atas menunjukkan bahwa produktivitas serta daya saing tenaga kerja di Jawa Barat masih rendah karena masih banyak penduduk yang berpendidikan rendah. Tercermin dominasi lulusan SD dan SMP yang banyak terserap sebagai tenaga kerja. Sehingga terjadi ketimpangan pendapatan yang di peroleh, akibatnya gini ratio tinggi.
        Begitu pun untuk penyerapan tenaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor yang memberikan tingkat upah tinggi, misalkan industri manufaktur umumnya tingkat pendidikan SMA atau SMK ke atas. Yang berpendidikan SD atau SMP ke bawah terpaksa bekerja pada sektor informal dengan gaji di bawah upah minimum regional (UMR) yang ditetatapkan pemerintah.
          Untuk mempercepat dalam menurunkan ketimpangan pengeluaran, Pemda Jawa Barat perlu membuat suatu terobosan untuk penduduk yang berpendidan masih rendah. Dengan meningkatkan angka rata-rata lama sekolah (RLS) untuk penduduk yang berusia di atas 25 tahun dengan mengambil persamaan paket B maupun C.
         Pemda Jawa Barat perlu mempetakan kabupaten/kota yang masih mempunyai RLS masih rendah untuk di perioritaskan untuk meningkatkan tingkat pendidikan. Minimal satu desa satu lembaga bimbingan belajar yang bertugas untuk menampung penduduk yang pendidikan di bawah SMP untuk mendapatkan persamaan paket B atau paket C.
          Penduduk dengan mempunyai ijasah paket C diharapkan mempunyai kepercayaan diri untuk bersaing untuk memperoleh pekerjaan formal sehingga akan menambah pendapatan untuk keluarganya. Selain itu dengan pengetahuan yang didapatkan, ketika membuka usaha sendiri (berwirausaha) lebih maju dalam menijalankan usahanya sehingga keuntungan semakin tinggi.
        Selain meningkatkan tingkat pendidikan, pemerintah daerah perlu memberikan tempat yang starategis untuk penduduk yang berpendidikan rendah untuk membuka usaha agar dapat meningkatkan pendapatannya. Salah satunya, membuka kape atau kawasan pedagang kaki lima yang tertata sehingga penduduk dapat berjualan, dilain pihak tidak mengganggu tata kota. Dengan menata tempat PKL yang strategis selain akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi  juga untuk menurunkan angka ketimpangan pengeluaran.
          Pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berpihak kepada penduduk berpenghasilan rendah merupakan strategi dalam pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Perlu adanya pemerataan pembangunan antara kabupaten/kota di Jawa Barat. Ini sebagai antisipasi migrasi penduduk  yang mempunyai pendidikan dan keahlian untuk mencari pekerjaan ke daerah lain. Dimana daerah yang ditinggalkan kekurangan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dalam membangun untuk sejajar dengan daerah lain yang sudah maju.
Sumber:
Radar Cianjur, 2 Maret 2019

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar