Salah
seorang mantan direktur BI yang pernah sama-sama menjadi pembicara di
seminar
yang diadakan Infobank, pernah mengejutkan saya. Pasalnya, beliau
mencantumkan
jumlah isterinya ada dua dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan
moderator,
dan dibenarkan oleh yang bersangkutan di depan umum. Kontan saja
saya
yang ada di sebelahnya, sejumlah wartawan yang hadir serta hadirin lainnya
bertanya
penuh keheranan. 'Bagaimana mungkin seorang mantan pejabat teras BI
berani
memiliki dua istri?', demikianlah kira-kira pertanyaan yang
mengganjal di
kepala.
Akan
tetapi, pertanyaan mengganjal ini tidak bertahan lama. Sebab, selang
beberapa
menit setelah moderator membacakan daftar riwayat hidup, rekan tadi
memerinci
siapa-siapa saja istrinya. Istri pertama tentu saja yang legal, konstitusional
serta
dipamerkan sejak dulu. Istri kedua, ikut kemanapun sang suami pergi. Ia
bernama
Siti Nurani. Alias, sang hati nurani. Sayangnya, masih menurut penuturan
sang
mantan (mondar mandir tanpa jabatan), isteri terakhir ini baru
ketemu setelah
pensiun.
Setiap
kali ada pembicaraan tentang independensi BI, cerita setengah humor ini
terngiang
lagi dalam ingatan saya. Beberapa pertanyaan sebenarnya masih
mengganjal,
kenapa ketemu 'istri' kedua baru setelah pensiun? Apakah semua
direktur
dan mantan direktur BI baru mendengar bisikan sang nurani setelah pensiun?
Apakah
itu berarti, sangat sedikit kebijakan BI selama ini yang bertumpu pada nurani
yang
bersih dan bening? Dan masih ada lagi pertanyaan lain yang mengganjal. Rasa
ingin
tahu yang usil ini - sebagaimana disiratkan oleh pertanyaan-pertanyaan di atas
-
tentu saja tidak akan saya dalami dan lanjutkan bila menyangkut direksi di luar
BI.
Sebagaimana
sering dikemukakan oleh banyak rekan ekonom, lembaga perbankan -
lebih-lebih
BI dengan seluruh otoritasnya, bukanlah sembarang lembaga. Ia adalah
salah
satu 'mesin' perekonomian yang amat menentukan. Terutama karena melalui
perbankan
saving ditransformasikan menjadi investment. Wajah dan nasib
perekonomian
kini dan juga nanti sangat ditentukan oleh apa yang terjadi dan apa
yang
dilakukan lembaga perbankan.
Bisa
dibayangkan, kalau lembaga dengan peran yang demikian menentukan,
kemudian
keropos, atau dibangun di atas fondasi kebijakan yang miskin hati nurani?
Masih
belum hilang dari ingatan publik, kalau proses recruitment di BI dari dulu
hingga
sekarang, sangat menggarisbawahi faktor kepintaran. Demikian pentingnya
faktor
terakhir ini, sampai-sampai hanya mereka yang berindeks prestasi
mengagumkan
saja yang boleh punya pengalaman ditesting sebagai calon pegawai
BI.
Akan
tetapi, mendengar cerita rekan mantan direktur BI di atas, sekaligus
menyaksikan
'nasib malang' BI di tengah krisis ekonomi dan politik terakhir, saya dan
juga
beberapa rekan yang tahu 'kepintaran' orang-orang BI, hanya bisa bengong
kebingungan.
Memang, kepintaran dan kearifan adalah dua hal yang tidak sama.
Kepintaran
lebih berhubungan dengan kecanggihan otak. Kearifan lebih terkait
dengan
sensitivitas terhadap sang nurani. Namun, dengan pengalaman BI yang
demikian
lama dan panjang. Telah mengarungi demikian banyak badai, adakah
semacam
sinyal-sinyal kelembagaan yang membuat organisasi BI peka dan rentan
akan
kebersihan dan kejernihan nurani?
Terus
terang, ingin sekali saya menjawab 'ada' terhadap pertanyaan terakhir. Namun,
menyaksikan
babak belurnya kredibilitas dunia perbankan kita, yang juga
mencerminkan
kredibilitas BI, sulit sekali untuk tidak menyimpulkan bahwa BI
sebagai
organisasi sudah 'tuli' akan bisikan-bisikan jernih sang nurani, serta
ditinggalkan
oleh kemajuan masyarakat. Masyarakat yang sudah melek informasi,
tinggi
pendidikannya, tahu hak-hak demokrasi, serta sejumlah atribut kemajuan
lainnya,
hanya direspon dengan manajemen museum yang hanya terdiri dari
tumpukan
kebijakan lama dan usang. Disebut lama, karena keadaan baru direspons
dengan
kebijakan masa lampau. Lihat saja, adakah hal baru dari cara BI menangani
krisis
kepercayaan terhadap dunia perbankan? Disebut usang, karena tidak ada
satupun
terlihat langkah yang menunjukkan bahwa mereka berada di depan dalam
membuka
jalan kemajuan. Bahkan, dalam banyak kasus, keterlambatan-keterlambatan
dalam
mengantisipasi keadaan membuat organisasi BI terpaksa
diamputasi.
Berdirinya BPPN adalah bentuk amputasi yang sangat memalukan dan
menyedihkan.
Di
tengah keraguan-keraguan ini, sangat sulit bagi saya untuk memberikan
kontribusi
intelektual
terhadap topik independensi Bank Indonesia. Sebagaimana banyak
dibahas
dalam dunia keilmuan, independensi dan obyektivitas memang bukan
barang
mudah. Lebih dari itu, saya meyakini tidak ada satupun manusia yang
seratus
persen independen dan obyektif. Demikian juga dengan lembaga. Akan
tetapi,
ada manusia dan lembaga yang lari ke hati nurani di tengah semesta
relativitas
ini, ada juga yang memanfaatkan relativitas terakhir untuk berjalan semau
gue
mementingkan diri sendiri. Untuk mengklasifikasikan di mana seseorang atau
sebuah
lembaga berdiri dalam kerangka terakhir, sekali lagi, ini juga relatif. Sesuatu
yang
hanya bisa dijawab secara penuh oleh yang bersangkutan. Dalam kejernihan
dan
kebeningan nurani tentunya.
Menyangkut
nurani terakhir, seorang sahabat lama yang sudah lama tak jumpa, tiba-tiba
muncul
di salah satu lapangan golf. Merasa sama- sama 'gila' karena sama-sama
bermain
golf (golongan orang-orang lupa fikiran), saya bertanya tidak sabar
tentang
profesinya. Dengan tuntas ia menyebut profesi Dirut BI. Tentu saja saya
tidak
percaya karena BI dipimpin Gubernur bukan Dirut. Rupanya, mirip dengan
cerita
mantan direksi BI di awal artikel ini, ia juga setengah bercanda.
Menurut
rekan ini, Dirut BI kepanjangannya di rumah terus bantu istri. Alias
pengangguran
akibat PHK. Lagi-lagi saya bertanya: istri yang mana? Sebuah
pertanyaan
yang juga berlaku pada pemimpin BI yang sedang in power.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar