12 Okt 2014

BI : Bantu Istri



Salah seorang mantan direktur BI yang pernah sama-sama menjadi pembicara di
seminar yang diadakan Infobank, pernah mengejutkan saya. Pasalnya, beliau
mencantumkan jumlah isterinya ada dua dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan
moderator, dan dibenarkan oleh yang bersangkutan di depan umum. Kontan saja
saya yang ada di sebelahnya, sejumlah wartawan yang hadir serta hadirin lainnya
bertanya penuh keheranan. 'Bagaimana mungkin seorang mantan pejabat teras BI
berani memiliki dua istri?', demikianlah kira-kira pertanyaan yang mengganjal di
kepala.


Akan tetapi, pertanyaan mengganjal ini tidak bertahan lama. Sebab, selang
beberapa menit setelah moderator membacakan daftar riwayat hidup, rekan tadi
memerinci siapa-siapa saja istrinya. Istri pertama tentu saja yang legal, konstitusional
serta dipamerkan sejak dulu. Istri kedua, ikut kemanapun sang suami pergi. Ia
bernama Siti Nurani. Alias, sang hati nurani. Sayangnya, masih menurut penuturan
sang mantan (mondar mandir tanpa jabatan), isteri terakhir ini baru ketemu setelah
pensiun.

Setiap kali ada pembicaraan tentang independensi BI, cerita setengah humor ini
terngiang lagi dalam ingatan saya. Beberapa pertanyaan sebenarnya masih
mengganjal, kenapa ketemu 'istri' kedua baru setelah pensiun? Apakah semua
direktur dan mantan direktur BI baru mendengar bisikan sang nurani setelah pensiun?
Apakah itu berarti, sangat sedikit kebijakan BI selama ini yang bertumpu pada nurani
yang bersih dan bening? Dan masih ada lagi pertanyaan lain yang mengganjal. Rasa
ingin tahu yang usil ini - sebagaimana disiratkan oleh pertanyaan-pertanyaan di atas
- tentu saja tidak akan saya dalami dan lanjutkan bila menyangkut direksi di luar BI.

Sebagaimana sering dikemukakan oleh banyak rekan ekonom, lembaga perbankan -
lebih-lebih BI dengan seluruh otoritasnya, bukanlah sembarang lembaga. Ia adalah
salah satu 'mesin' perekonomian yang amat menentukan. Terutama karena melalui
perbankan saving ditransformasikan menjadi investment. Wajah dan nasib
perekonomian kini dan juga nanti sangat ditentukan oleh apa yang terjadi dan apa
yang dilakukan lembaga perbankan.

Bisa dibayangkan, kalau lembaga dengan peran yang demikian menentukan,
kemudian keropos, atau dibangun di atas fondasi kebijakan yang miskin hati nurani?
Masih belum hilang dari ingatan publik, kalau proses recruitment di BI dari dulu
hingga sekarang, sangat menggarisbawahi faktor kepintaran. Demikian pentingnya
faktor terakhir ini, sampai-sampai hanya mereka yang berindeks prestasi
mengagumkan saja yang boleh punya pengalaman ditesting sebagai calon pegawai
BI.

Akan tetapi, mendengar cerita rekan mantan direktur BI di atas, sekaligus
menyaksikan 'nasib malang' BI di tengah krisis ekonomi dan politik terakhir, saya dan
juga beberapa rekan yang tahu 'kepintaran' orang-orang BI, hanya bisa bengong
kebingungan. Memang, kepintaran dan kearifan adalah dua hal yang tidak sama.
Kepintaran lebih berhubungan dengan kecanggihan otak. Kearifan lebih terkait
dengan sensitivitas terhadap sang nurani. Namun, dengan pengalaman BI yang
demikian lama dan panjang. Telah mengarungi demikian banyak badai, adakah
semacam sinyal-sinyal kelembagaan yang membuat organisasi BI peka dan rentan
akan kebersihan dan kejernihan nurani?

Terus terang, ingin sekali saya menjawab 'ada' terhadap pertanyaan terakhir. Namun,
menyaksikan babak belurnya kredibilitas dunia perbankan kita, yang juga
mencerminkan kredibilitas BI, sulit sekali untuk tidak menyimpulkan bahwa BI
sebagai organisasi sudah 'tuli' akan bisikan-bisikan jernih sang nurani, serta
ditinggalkan oleh kemajuan masyarakat. Masyarakat yang sudah melek informasi,
tinggi pendidikannya, tahu hak-hak demokrasi, serta sejumlah atribut kemajuan
lainnya, hanya direspon dengan manajemen museum yang hanya terdiri dari
tumpukan kebijakan lama dan usang. Disebut lama, karena keadaan baru direspons
dengan kebijakan masa lampau. Lihat saja, adakah hal baru dari cara BI menangani
krisis kepercayaan terhadap dunia perbankan? Disebut usang, karena tidak ada
satupun terlihat langkah yang menunjukkan bahwa mereka berada di depan dalam
membuka jalan kemajuan. Bahkan, dalam banyak kasus, keterlambatan-keterlambatan
dalam mengantisipasi keadaan membuat organisasi BI terpaksa
diamputasi. Berdirinya BPPN adalah bentuk amputasi yang sangat memalukan dan
menyedihkan.

Di tengah keraguan-keraguan ini, sangat sulit bagi saya untuk memberikan kontribusi
intelektual terhadap topik independensi Bank Indonesia. Sebagaimana banyak
dibahas dalam dunia keilmuan, independensi dan obyektivitas memang bukan
barang mudah. Lebih dari itu, saya meyakini tidak ada satupun manusia yang
seratus persen independen dan obyektif. Demikian juga dengan lembaga. Akan
tetapi, ada manusia dan lembaga yang lari ke hati nurani di tengah semesta
relativitas ini, ada juga yang memanfaatkan relativitas terakhir untuk berjalan semau
gue mementingkan diri sendiri. Untuk mengklasifikasikan di mana seseorang atau
sebuah lembaga berdiri dalam kerangka terakhir, sekali lagi, ini juga relatif. Sesuatu
yang hanya bisa dijawab secara penuh oleh yang bersangkutan. Dalam kejernihan
dan kebeningan nurani tentunya.

Menyangkut nurani terakhir, seorang sahabat lama yang sudah lama tak jumpa, tiba-tiba
muncul di salah satu lapangan golf. Merasa sama- sama 'gila' karena sama-sama
bermain golf (golongan orang-orang lupa fikiran), saya bertanya tidak sabar
tentang profesinya. Dengan tuntas ia menyebut profesi Dirut BI. Tentu saja saya
tidak percaya karena BI dipimpin Gubernur bukan Dirut. Rupanya, mirip dengan
cerita mantan direksi BI di awal artikel ini, ia juga setengah bercanda.

Menurut rekan ini, Dirut BI kepanjangannya di rumah terus bantu istri. Alias
pengangguran akibat PHK. Lagi-lagi saya bertanya: istri yang mana? Sebuah
pertanyaan yang juga berlaku pada pemimpin BI yang sedang in power.
Gede Prama

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar