Agak
berbeda dengan sejumlah orang yang marah kalau profesinya dijadikan
sumber
tawa, saya kerap belajar banyak dari tawa dan canda. Karena ia kaya
inspirasi
dan imajinasi. Di sebuah bar yang lagi sepi pengunjung, tiba-tiba saja ada
seorang
laki-laki parlente memasuki bar sambil memesan minum. Heran dengan
penampilan
pria yang amat parlente ini, penjaga bar bertanya tentang profesi dan
pekerjaan
orang terakhir. Dengan mantap laki-laki dandy ini menyebut profesi
konsultan.
Tentu saja penjaga bar mengerutkan alisnya sebagai tanda tidak tahu.
Maka
bertanyalah ia : ‘Konsultan, mahluk apa itu ?’.
Sebagaimana
konsultan umumnya yang senantiasa bicara meyakinkan, dengan
tenang
ia menjawab: ‘A logical thinker’. Mendengar jawaban terakhir, penjaga bar
semakin
bingung. Menangkap mimik muka bingung, pria parlente tadipun mencoba
untuk
menerangkannya dalam bahasa konsultan. ‘Anda punya aquarium?’, demikian
konsultan
tadi memulai pembicaraan. Dan dijawab dengan anggukan kepala oleh
lawan
bicaranya. ‘Nah, kalau punya aquarium berarti Anda pencinta ikan’. Kali ini
juga
dijawab dengan mengangguk. ‘Bila Anda pencinta ikan, berarti Anda juga
menyayangi
istri’. Tidak ada alternatif lain bagi penjaga bar terkecuali mengiyakan.
‘Kalau
Anda punya istri, itu artinya Anda punya anak’. Dan ajaibnya, kali inipun bar
tender
ini angguk-angguk tanda mengiayakan. Terakhir, setelah menghabiskan
minuman,
sambil berjalan ke luar bar, laki-laki parlente tadi menyimpulkan
pembicaraannya
begini: ‘Kesimpulannya, kalau Anda punya anak artinya Anda tidak
impoten’.
Di
luar pengetahuan penjaga bar dan konsultan tadi, rupanya keseriusan
pembicaraan
tadi diperhatikan tukang sapu dari jauh. Begitu sang konsultan keluar
bar,
maka tukang sapu juga bertanya keherananan: ‘siapa tadi yang pakaiannya
amat
parlente?’. Menirukan gaya bicara konsultan, penjaga bar menjawab yakin: ‘Oh
tadi
itu konsultan’. Tukang sapu ini lebih bingung lagi: ‘apa itu konsultan?’.
Meniru
jawaban
konsultan, bar tender menjawab: a logical thinker. Tentu saja lawan bicara
terakhir
bingung. Berhasil dicuci otak oleh konsultan, penjaga bar menjelaskannya
dengan
cara yang sama. ‘Punya aquarium?’. Dan tukang sapu menggelengkan
kepalanya.
Melihat gelengan kepala terakhir maka bar tender menyimpulkannya
secara
yakin: ‘Kalau Anda tidak punya aquarium, artinya Anda impoten’.
Sebelum
tertawa disebut sebagai salah satu bentuk terorisme – karena setelah
kejadian
penghancuran WTC New York sedikit-sedikit penguasa menyebut teroris -
sebaiknya
Anda tertawalah sebanyak-banyaknya. Yang jelas, dengan seluruh
kelebihan
dan kekurangannya demikianlah cara pikiran bekerja: mengkotak-kotakkan.
Dengan
tidak ada maksud membuka perang dengan pengagum pikiran, sejak dulu
pikiran
memang bermata ganda: membantu sekaligus membatasi. Sulit
membayangkan
bagaimana wajah kehidupan manusia tanpa dibantu pikiran. Sama
sulitnya
membayangkan kehidupan tanpa pikiran, kita juga sulit membantah
kenyataan
pikiran sebagai pembatas manusia dalam melakukan perjalanan. Dalam
kurun
waktu ribuan tahun, manusia sudah dipenjara pikiran.
Dibawanya
manusia pada hidup yang penuh dengan kotak. Ada kotak bangsa,
agama,
bahasa. Belum lagi kotak-kotak mengerikan yang bernama kebencian dan
kemarahan.
Sebagai hasilnya, masalah-masalah fundamental seperti ketakutan,
konflik,
kehidupan yang kehilangan arti, tetap saja ada sepanjang zaman.
Sadar
dengan aspek kedua pikiran sebagai pembatas perjalanan inilah, maka orang-orang
seperti
J. Krishnamurti, Dalai Lama dan praktisi meditasi intens lainnya,
mengajak
kita untuk belajar melampaui pikiran. Kendaraan yang bisa membawa kita
ke
sana ada banyak sekali, salah satu yang dikenal luas bernama meditasi.
Bedanya
dengan pikiran, meditasi tidak bisa diwakili oleh kata-kata manapun. Ia
adalah
sebuah kegiatan mengalami di dalam diri. Semakin ia dipaksa untuk
didefinisikan,
mudah sekali orang tergelincir dalam kedangkalan-kedangkalan.
Apapun
kendaraan yang dipakai dan jalan yang ditempuh, ada satu hal yang layak
dipertimbangkan
dalam upaya melampaui pikiran: keikhlasan. Sebuah kualitas yang
sudah
lama dibuat tenggelam oleh kegemaran pikiran untuk ‘berdagang’ (baca:
berkalkulasi)
dengan kehidupan dan Tuhan. Ada yang hanya sembahyang lima
waktu
setelah jadi manajer. Ada yang berdemonstrasi mau menghancurkan pabrik
hanya
karena isu ketidakadilan. Dalam skala yang lebih besar, sahabat-sahabat
yang
pro dan anti Amerika setelah kejadian hancurnya WTC New York oleh
serangan
teroris, bahkan membuka jalan bagi terealisasinya ramalan clash
civilization.
Ibarat langit- angit kamar yang membatasi ketinggian pandangan,
demikianlah
pikiran membatasi perjalanan menuju keikhlasan.
Perjalanan
terakhir menjadi super sulit, terutama pada kehidupan yang sudah
demikian
mesranya ‘berselingkuh’ dengan pikiran. Dari perselingkuhan terakhir,
mudah
sekali keluar stempel seperti bodoh, tidak mengerti, tidak tahu dan sejenisnya
terhadap
keikhlasan.
Sehingga
mudah dimaklumi kalau Rabin Dranath Tagore dalam The Heart of God,
pernah
menulis: “Let this be my last word, that I
trust in Your love”. Terinspirasi dari sinilah,
maka
saya senantiasa mengawali doa, agar semua permohonan saya diganti
dengan
keikhlasan. Sebab, hanya keikhlasanlah yang bisa mengganti setiap kota
dan
desa yang saya kunjungi menjadi kota dan desa keheningan dan kedamaian.
Setidaknya
itulah yang bisa saya tuturkan ke Anda dalam inner journey sejauh ini.
Dan
ini tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan antara kepemilikan aquarium
dan
impotensi. Ha ha ha!
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar