Setiap
mengakhiri sebuah tahun, semua orang dihadang oleh sebuah kenyataan
betapa
cepatnya sang waktu berputar dan berlalu. Dan secara tiba-tiba, baru sadar
ketika
ada sahabat atau kerabat yang dipanggil kematian. Di situ kita baru merenung,
kita
masih diberi sisa waktu.
Mungkin
Anda punya kenangan tersendiri dengan tahun 2001, demikian juga saya.
Ada
sejumlah catatan dan jejak waktu yang tertulis dalam sejarah saya di tahun
2001.
Ada
kejadian diangkat menjadi presiden direktur sebuah perusahaan swasta dengan
dua
ribuan karyawan di awal tahun, dan di akhir tahun diangkat lagi oleh sang
kehidupan
untuk menjadi presiden direktur sebuah perusahaan dengan empat puluh
ribuan
karyawan. Ada juga catatan-catatan yang menyedihkan seperti pernah diteror
orang,
didatangi karyawan yang marah sambil mengancam manajernya dibunuh di
depan
saya. Dan masih ada lagi catatan lain yang terlalu panjang untuk diceritakan.
Boleh
saja ada orang yang berdecak kagum, atau menyimpan kebencian setelah
melihat
catatan ini. Namun, bagi saya pribadi ada yang jauh lebih membanggakan
dari
diangkatnya saya oleh sang kehidupan dua kali di tahu 2001 di posisi tertinggi.
Setelah
mencoba beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya, baru di tahun 2001 saya
berhasil
menemani sahabat-sahabat muslim berpuasa sebulan penuh. Inilah prestasi
yang
paling saya banggakan di tahun 2001.
Mirip
dengan kejadian sebelumnya, di mana sejumlah sahabat mengira saya
seorang
kristiani ketika banyak menulis soal cinta dan kasih sayang, ada juga yang
mengira
saya seorang buddis ketika mereka tahu kalau saya seorang vegetarian,
demikian
juga dengan kegiatan berpuasa sebulan tadi. Bawahan di kantor yang
biasa
melayani saya membelikan makan siang, ada yang berbisik kalau saya sudah
menjadi
seorang muslim. Tentu saja semuanya hanya saya jawab dengan senyuman.
Dan
ada yang lebih penting dari sekadar memasukkan kegiatan-kegiatan
membanggakan
ini ke dalam kotak dan judul tertentu. Yakni, bagaimana sang waktu
diisi.
Kadang
ada anggota keluarga – terutama isteri – yang kasihan melihat saya
menempuh
jalan-jalan kehidupan seperti ini. Dulu, ketika berada pada kehidupan
yang
amat di bawah dan amat jarang bisa membeli daging, bermimpi bisa makan
daging
setiap hari. Sekarang, ketika membeli daging bukan lagi menjadi sebuah
kegiatan
yang teramat sulit untuk dilakukan, tiba-tiba saya memutuskan hubungan
dengan
kegiatan makan daging. Dulu, ketika makan adalah sebuah kemewahan dan
hiburan
yang amat menyenangkan. Sekarang ketika membeli makanan adalah
sebuah
perkara kecil, malah berpuasa dalam waktu sebulan. Demikianlah kira-kira
isteri
saya kadang mengeluh di rumah. Dan semua keluhan ini hanya saya jawab
dengan
senyuman sederhana plus kalimat sederhana: mumpung masih diberi waktu.
Serupa
dengan lagu indah Ebiet G. Ade yang berjudul ‘Masih ada waktu’, hidup
memang
sebuah perjalanan abadi. Hanya karena kehendakNya, kita masih bisa
melihat
matahari. Ebiet memberikan kita sebuah alternatif yang layak untuk
direnungkan:
bersujud. Satu spirit dengan saran bersujud ala Ebiet, Kahlil Gibran
dalam
The Prophet pernah menulis: ‘your daily life is your
temple and your religion’.
Kehidupan
sehari-hari Anda adalah tempat sembahyang sekaligus ‘agama’ Anda.
Sulit
membayangkan, bagaimana seseorang yang menyebut dirinya beragama tetapi
setiap
hari pekerjaannya hanya menyakiti hati orang lain. Susah dimengerti, kalau
ada
orang yang datang ke tempat ibadah demikian rajinnya, atau menyumbangkan
dana
besar untuk pembuatan tempat ibadah, tetapi hampir setiap hari mencuri uang
orang
lain.
Dalam
bingkai-bingkai Ebiet dan Gibran, mungkin lebih menyentuh hati orang-orang
biasa
yang tidak pernah menyumbang, tidak pernah menyebutkan agamanya, tetapi
mengisi
waktu-waktunya dengan cinta dan kasih sayang. Atau orang-orang yang
namanya
tidak pernah menghiasi media, tidak dikenal siapapun, namun mengisi
hari-harinya
dengan senyuman buat kehidupan. Atau orang yang tidak pernah
menduduki
satu kursi jabatanpun, tidak menyandang gelar apapun, namun
menunjukkan
keteladanan-keteladanan kehidupan yang mengagumkan.
Terinspirasi
dari pemikiran-pemikiran orang seperti Ebiet dan Gibran inilah, saya
merelakan
diri hidup dalam jalur-jalur yang oleh kebanyakan orang disebut
menyengsarakan.
Tidak untuk gagah-gagahan, tidak juga karena haus akan pujian,
akan
tetapi melalui solidaritas, disiplin diri, kesederhanaan saya sedang mengukir
sang
hidup dengan catatan-catatan waktu. Dan ketika suatu waktu putera puteri saya,
atau
orang lain membuka serta membacanya, mereka akan tahu, pernah ada
seorang
ayah atau seorang penulis yang hidup dengan tingkat solidaritas dan disiplin
diri
tenrtentu. Kemudian, membuahkan kehidupan yang hanya mengenal bersujud di
depan
Tuhan.
Sebagai
orang yang bergaul ke mana-mana, kerap saya diberikan banyak kartu
nama
oleh banyak orang, lengkap dengan jabatan mentereng di bawah nama yang
bersangkutan.
Ini membuat saya berimajinasi, kalau suatu saat saya bisa memiliki
sebuah
kartu nama, di mana di bawah nama saya ada jabatan yang bisa mewakili
kesukaan
saya untuk bersujud di depan Tuhan. Mimpi ini muncul di kepala karena
teringat
oleh salah satu tulisan Gibran dalam The Prophet: "beauty
is life when life unveils
her holy face" (kecantikan adalah
kehidupan yang wajah sucinya terungkap). Dan saya
berterimakasih
bisa mengetahuinya ketika Tuhan masih memberi cukup waktu.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar