sebuah
pengalaman yang mengejutkan. Bayangkan, dengan gaya anak Bali yang
sering
tersenyum, tidak boleh menonjol, kepala diinjak-injak orang hampir setiap hari.
Ada
calon atasan yang baru memberikan pekerjaan beberapa menit sebelum pulang,
untuk
kemudian membuat saya buru-buru, dan pada akhirnya membuat penilaian
terhadap
kinerja saya jadi buruk. Ada orang lama yang iri hati, kemudian di depan
umum
menjewer telinga. Ada pengusaha yang menggunakan saya sebagai bumper
agar
atasan cepat keluar. Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman sejenis.
Yang
jelas, lama saya sempat kesepian dalam keramaian di dunia bisnis. Sehingga
pernah
lari mencari habitat baru sebagai dosen di salah satu program MBA di
Jakarta.
Dan ternyata habitat baru sama saja dengan yang lama. Dari sinilah asal
muasal
untuk terbang sendiri di dunia penulis, pembicara publik dan konsultan.
Namun,
manusia bisa berusaha dan ternyata Tuhanlah yang menentukan. Aliran air
kehidupan
lagi-lagi membawa saya sebagai pegawai perusahaan – kendati di
tingkatan
kehidupan yang jauh lebih tinggi. Dan kesepian yang samapun datang lagi
menjumpai.
Mungkin
karena kesabaran untuk senantiasa berjalan dan mencari inilah, membuat
Tuhan
membukakan pintu lain. Di dunia bisnis, di mana kepintaran dan kelicikan
berperang
setiap hari, ternyata masih menyediakan tempat-tempat teduh dan sejuk.
Saya
merasa amat beruntung, karena pertama kali mengenal dunia kerja di tempat
yang
disemai dan dibesarkan Konosuke Matsushita.
Seorang pengusaha yang
meramu
dan menggabungkan bisnis dengan kecintaan mendalam akan kedamaian
dan
kemanusiaan.
Melalui
kegiatan interaksi sebagai pembicara publik, saya bertemu dengan Hari
Darmawan
(pendiri sekaligus ketua kelompok usaha Matahari), Sudamek AWS
(komandan
kelompok usaha Garuda Food), Chairul Tanjung (pendiri dan pemilik
kelompok
usaha Para yang memiliki Bank Mega dan Trans TV) dan sejumlah
pengusaha
kaya yang berhasil. Dan kehadiran mereka membuat saya tidak lagi
merasa
kesepian seorang diri. Sebab, masih ada cukup banyak orang yang berhasil
dengan
jalan-jalan lurus yang penuh cinta dan kasih sayang.
Di
sebuah kesempatan sama-sama menjadi pembicara seminar, Chairul Tanjung
pernah
menyebutkan beberapa tingkatan kualitas manusia. Manusia bodoh,
demikian
ia berbicara khas dengan suara lantangnya, dikalahkah manusia pintar.
Manusia
pintar sering kalah oleh manusia licik. Dan manusia licik tidak bisa
mengalahkan
manusia beruntung. Dengan kata lain, manusia beruntunglah termasuk
manusia
dengan kualitas yang tidak terkalahkan.
Sinyalemen
Chairul Tanjung ini sempat menghentak kesadaran saya. Sebab, di luar
kesadaran,
di banyak kesempatan saya teramat sering diselamatkan oleh
‘keberuntungan’. Ya sekali lagi keberuntungan. Sebagai orang
yang lahir biasa-biasa
saja,
sulit menyebut diri sebagai manusia pintar. Dan kehidupan tanpa cukup bekal
kepintaran
ini dipagari lagi oleh nilai dan norma tidak boleh licik. Teorinya, orang
seperti
saya ini sudah menjadi keset yang diinjak-injak orang di banyak kesempatan.
Nyatanya,
kenyataan bertutur lain.
Semua
ini mengingatkan saya pada penulis buku The Body Feng Shui. Di mana
keberuntungan
mudah sekali datang pada tubuh dan jiwa yang sering disirami
kemuliaan-kemuliaan.
Saya memang masih jauh dari status mulia, namun tetap saja
sang
keberuntungan sering datang. Dan belakangan, bertemu dengan
keberuntungan-keberuntungan
yang lebih menjernihkan dan membahagiakan.
Terutama
setelah berkenalan dengan karya-karya yang berbau Zen, Yoga, meditasi.
Dalam
karya-karya jenis terakhir, hidup digambarkan seperti aliran air di sungai.
Sebelah
pinggir kali bernama kesenangan, sebelahnya lagi bernama kesedihan.
Sebagaimana
kehidupan yang sebenarnya, ada saatnya kita terhenti di pinggir kali
kesenangan,
ada kalanya terhenti di pinggir kali kesedihan. Apapun nama dan jenis
pinggir
kalinya, tidak perduli kita sedang senang atau sedih, sang hidup akan
senantiasa
berjalan. Sehingga, siapa saja yang memusatkan perhatian pada
pemberhentian
sementara di pinggir kali, ia pasti tidak puas. Sebab, pinggiran kali
hanyalah
bentuk lain dari kesementaraan. Keabadiaan, demikian keberuntungan-keberuntungan
terakhir mengajarkan ke saya, ada dalam kenikmatan untuk mengalir
dengan
sang perubahan.
Dalam
keheningan kesadaran seperti ini, saya (dan juga Anda?) memang tidak
pernah
lahir dan tidak akan pernah mati. Yang mati dan lahir hanyalah tubuh. Dan
diri
ini yang terus mengalir tidak mengenal kamus kelahiran dan kematian. Sama
dengan
air yang mengalir di sungai, yang tidak hilang dibawa matahari, maupun
tidak
hilang ditelan bumi, ia menghadirkan gemercik-gemercik kegembiraan.
Ketika
tulisan ini dibuat, saya memang banyak dipuji dan dilayani. Dan saya paham,
jabatan
dan atribut-atribut sejenislah yang membuatnya demikian. Suatu saat ketika
atribut
itu tidak ada, bukan tidak mungkin makian dan kebencian yang datang. Dan
ini
juga ditujukan pada ketiadaan atribut. Dan diri saya yang mengalir memang tidak
pernah
disentuh pujian dan makian. Jadi kenapa mesti tertawa ketika dipuja, dan
kenapa
juga mesti berhenti bernyanyi ketika dimaki? Bukankah keduanya tidak
ditujukan
pada diri ini yang terus mengalir?.
Terimakasih
Tuhan karena sudah membawa saya pada keberuntungan setinggi ini.
Sebuah
tingkatan yang tidak lagi memerlukan kepintaran, apa lagi kelicikan.
Gede
Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar