Sri Hartati Sambudi
Indonesia yang selama
ini lebih mengedepankan
pada pertumbuhan ekonomi
ketimbang
kualitas pembangunan itu
sendiri. Tren ketimpangan
kian memburuk, terutama
sejak krisis
ekonomi 1998, dengan
indeks Gini yang
menggambarkan tingkat ketimpangan
meningkat
dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada
2011. Ketimpangan
terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor, antar kelompok pendapatan.
Fenomena ketimpangan spasial yang muncul akibat pemusatan kegiatan
pembangunan yang
kita temui 20-30
tahun lalu tak
berubah wajah, tercermin dalam meningkatnya
kesenjangan
Jawa-luar Jawa, pedesaan-perkotaan, kawasan
Indonesia barat-kawasan Indonesia
timur,
wilayah hinterland-wilayah perbatasan, bahkan di dalam satu wilayah
yang sama.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tak dibarengi penurunan secara
signifikan angka
kemiskinan dan pengangguran, karena kue nasional terkonsentrasi pada kelompok 20 persen
terkaya. Peningkatan pangsa
kue kelompok 20
persen terkaya dalam
distribusi pendapatan
nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk termiskin.
Pangsa kelompok 20
persen ter kaya
terus naik dari
41,24 persen (1999)
menjadi 46,45
persen (2011) dan 48,94 persen (2012). Sementara perolehan 40 persen
penduduk termiskin
turun dari 21,22
persen (1999) menjadi
17,6 persen (2011)
dan 16,88 persen
(2012). Efek
tetesan ke bawah (trickle down effect) tak terjadi, yang terjadi
efek muncrat ke atas (trickle
up effect).
Ketimpangan di era otda
Program desentralisasi fiskal
dan otonomi daerah
(otda) secara tak
langsung antara lain
dimaksudkan untuk menyebarkan
pembangunan. Namun, setelah
12 tahun otda,
sasaran
untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat dan memperbaiki akses
penduduk miskin pada
kebutuhan dasar secara
umum belum tercapai.
Ini tecermin dari
tren angka kemiskinan
di
daerah.
Berbagai kajian yang pernah dilakukan pasca-diberlakukannya
desentralisasi fiskal dan otda
menunjukkan, ketimpangan antarwilayah
tak banyak berubah
dibandingkan sebelum
desentralisasi, bahkan ada tendensi meningkat. Lebih dari 80 persen
produk domestik bruto
(PDB) nasional saat
ini masih disumbangkan
oleh Jawa dan
Sumatera. Meski hanya
menyumbang 7 persen
dari total luas wilayah daratan
Indonesia, Jawa menyumbang
57
persen dari PDB nasional.
Empat provinsi penyumbang
PDB nasional terbesar
pada kuartal 1-2013
juga terdapat di
Jawa, yakni DKI
Jakarta, Jawa Timur,
Jawa Barat, dan
Jawa Tengah, dengan
sumbangan
kumulatif ke PDB nasional lebih dari 50 persen.
Kondisi ini diperkirakan Badan Pusat Statistik tak akan berubah dalam
setidaknya 30 tahun
ke depan tanpa
adanya terobosan dalam
kebijakan. Disparitas antarwilayah
ini terus
berlangsung karena insentif
ekonomi lebih banyak
diberikan ke Pulau
Jawa. Pembiayaan
fiskal, seperti pembangunan infrastruktur, sebagian besar juga bias
Jawa. Demikian pula Jawa
juga menjadi pusat konsentrasi investasi swasta dan asing.
Pada 2012, dari total investasi 22,75 miliar dollar AS, Jabar dan DKI
4,2 miliar dollar dan 4,1
miliar dollar AS.
Ini didukung ketersediaan
infrastruktur dan juga
sumber daya manusia.
Konsentrasi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) terus terjadi
di Jawa, sementara luar
Jawa belum banyak bergeming dari sektor primer.
Disparitas kemiskinan lebih
mencolok lagi di
tingkat kabupaten atau
kota meskipun bobot
desentralisasi fiskal dan otonomi beberapa tahun terakhir semakin
bergeser ke daerah tingkat
dua ini. Sebaliknya, disparitas PDRB kian mengecil antarprovinsi.
Selama kurun 2001-2010
nyaris tak ada perubahan dalam gambaran tingkat kemiskinan di antara
provinsi-provinsi di
Indonesia dan hanya
ada satu provinsi
yang naik kelas,
dari angka kemiskinan
sedang
menjadi angka kemiskinan rendah.
Jumlah dan persentase penduduk miskin beberapa tahun terakhir menjadi
gambaran akutnya
persoalan ketimpangan di Indonesia. Selama 12 tahun terakhir,
persentase penduduk miskin
menurut garis kemiskinan
nasional hanya turun
dari 19,1 persen
pada 2000 menjadi
12,0
persen pada 2012
dan 11,37 persen
2013. Tren angka
kemiskinan ini, menurut OECD
(Trends in Poverty and Inequality in Decentralising Indonesia, 2013),
cenderung meningkat
dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, manfaat pertumbuhan belum
dinikmati secara merata
oleh masyarakat.
Penurunan angka kemiskinan juga semakin lambat, kalah cepat
dibandingkan dengan negara-negara
Asia lain. Persentase penduduk miskin Indonesia—diukur dari angka pengeluaran
per
kapita 2 dollar AS per hari—berada di atas rata-rata negara emerging
countries lain, kecuali
Kamboja dan India. Sebesar 46,1 persen penduduk Indonesia hidup dalam
kemiskinan pada
2010. Dari 121,2
juta angkatan kerja
Februari 2013, sekitar
60 persen (meningkat
dari 54
persen 2010) juga bekerja di sektor informal. Sisanya, 40 persen,
pekerja sektor formal.
Tak sedikit dari pekerja formal ini pun ada yang dilindungi oleh
kontrak.
Meski angka kemiskinan
di Jawa lebih
rendah dibandingkan dengan
provinsi lain, karena
mayoritas penduduk terbesar ada di Jawa, mayoritas penduduk miskin juga
terkonsentrasi di
Jawa. Papua, Maluku,
Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara
Timur serta Gorontalo
adalah provinsi yang
secara persisten memiliki
angka kemiskinan tinggi,
sementara angka
kemiskinan DKI Jakarta dan Bali secara konsisten di bawah rata-rata nasional. Papua adalah
kasus khusus karena meski kaya SDA dan memiliki produk domestik
regional bruto (PDRB)
tinggi, angka kemiskinan tinggi.
Konsentrasi aset
Kegagalan Indonesia mengatasi
problem ketimpangan selama
ini terjadi karena
kebijakan
pembangunan telah dibajak
oleh kepentingan politis
dan kartel usaha
yang membelokkan
agenda pembangunan untuk kepentingan pribadi mereka.
Dalam bukunya, The Price
of Inequality, penerima
Nobel Ekonomi Joseph
E Stiglitz
mengungkapkan, dari pengamatan
di banyak negara,
ketimpangan pendapatan lebih
sering
terjadi sebagai akibat
keputusan politis ketimbang
konsekuensi dari bekerjanya
kekuatan
pasar atau makroekonomi.
Artinya, ketimpangan adalah
buah dari kebijakan
pemerintah
sendiri.
Neoliberalisme telah melahirkan klaster-klaster kartel yang sangat
berkuasa. Kartel-kartel ini
melakukan segala cara
untuk lobi politik
dan menggunakan monopoli
kekuasaannya untuk
memperbesar keuntungannya. Di
Amerika, 1 persen
penduduk terkaya bisa
mendikte arah
bekerjanya seluruh sistem.
Hasilnya, ketimpangan melonjak,
pendapatan menurun; produktivitas, pertumbuhan
serta
stabilitas ekonomi itu sendiri terganggu.
Ini juga terjadi
di Indonesia. Ekonom
Ahmad Erani Yustika
dalam sebuah diskusi
di Kompas melihat
ketimpangan pembangunan berawal
dari kesenjangan penguasaan
aset
(hulu), seperti modal dan lahan. Berdasarkan data BPN, ketimpangan
lahan saat ini berada di
kisaran 0,54 (Gini rasio). Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa tanah,
tambak, kebun dan
properti di negara ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.
Di sisi lain
penguasaan lahan oleh
rumah tangga petani
yang jumlahnya 26,13
juta rumah
tangga menurut Sensus Pertanian 2013 (turun dari 31,17 juta rumah
tangga tahun 2003) atau
sekitar 44 persen penduduk Indonesia
terus menyusut hingga 0,09 hektar per rumah tangga
petani. Kemiskinan masih
merupakan fenomena pedesaan,
dengan dominasi penduduk
miskin di sektor pertanian di pedesaan.
Erani melihat pembangunan yang dijalankan di Indonesia selama
ini ”tidak menuju ke arah
yang benar dengan kecepatan yang terukur” karena kebijakan yang diambil
tidak fokus dan
sarat kepentingan kelompok.
Agenda pembangunan telah
dibajak oleh kepentingan
politik
sehingga pembangunan terkonsentrasi pada daerah atau golongan tertentu
saja. Ini berakibat
pada munculnya kesenjangan kesejahteraan.
Pemerintah juga mudah didikte
pihak luar dalam agenda-agenda pembangunan dan banyak
kebijakan yang diambil
kerap kali terlepas
dari bingkai besar
kebijakan nasional. Contoh
terakhir adalah kebijakan mobil murah.
Ketimpangan sektoral membuat
upaya pengentasan kelompok
miskin melalui migrasi
dari
sektor informal ke
sektor formal juga
sulit berjalan. Terutama
dengan terus menurunnya
pangsa dan pertumbuhan sektor industri dalam perekonomian nasional
sejak 2005. Kontribusi
sektor manufaktur yang
pernah mencapai 28
persen terus menyusut
menjadi sekitar 23,5
persen saat ini.
Sementara sektor pertanian
yang masih menampung
tenaga kerja terbesar
(44 persen dari
total angkatan kerja)
hanya tumbuh 3,3-3,4
persen karena terabaikan
dan dihancurkan.
Perlindungan dan insentif
untuk petani terus
dipereteli, sementara pemerintah
kabupaten,
pemerintah provinsi, dan
pemerintah pusat juga
saling lempar tanggung
jawab terkait
infrastruktur pertanian, seperti irigasi yang kini 40 persen rusak.
Pemerintah dinilai telah
kehilangan fokus karena
dibajak kepentingan politik.
Kita begitu
mudah dalam didikte
pihak luar dalam
hal agenda-agenda pembangunan.
Termasuk di
antaranya dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas internasional
yang kita buat, di
mana komitmen menghilangkan fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan
di lapangan sesuai
kebutuhan kita di dalam negeri.
Masalah ketimpangan, menurut Erani, tidak pernah teratasi karena
pemerintah lebih banyak
bermain di hilir.
Padahal, problem ketimpangan
ada di hulunya.
Insentif kebijakan yang
dibuat tak tersusun baik sehingga sektor-sektor tertentu, seperti
pangan dan nonminyak bumi,
mengalami kehancuran. Partisipasi
juga tidak dibuka
secara lebih luas
sehingga akses dan
keadilan tidak menyentuh semua
kelompok. Aspek kelembagaan juga tidak didesain dengan
lengkap dan ditegakkan secara penuh.
Banyak langkah yang sudah ditempuh pemerintah untuk mengurangi
ketimpangan, termasuk
lewat program transmigrasi,
percepatan pembangunan daerah
tertinggal, pengembangan
kawasan ekonomi khusus
yang dimaksudkan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi
melalui ekspor produksi
industri khusus dan
liberalisasi perdagangan. Selain
itu,
pembentukan kawasan perdagangan
bebas dan pelabuhan
bebas. Lalu kawasan
pengembangan ekonomi terpadu
dan kerja sama
subekonomi regional. Terakhir
Rencana
Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Intinya, menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan baru di
daerah, meningkatkan integrasi
dan
interkonektivitas seluruh wilayah
di Indonesia sehingga
terjadi pemerataan pembangunan.
Sayangnya, banyak program
tersebut mandek di
jalan. Banyak kritik
juga ditujukan pada
MP3EI. Misalnya, MP3EI
dianggap masih mengutamakan
ekstraksi SDA yang
sangat
membahayakan lingkungan dan
keselamatan rakyat. MP3EI
juga tidak disusun
untuk
mengoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan
kerusakan dan kejahatan
lingkungan yang diakibatkan
oleh pembangunan. Lebih
jauh, MP3EI dinilai
tak
mencerminkan visi nasionalisme
karena kepentingan yang
diusung dianggap tidak
mencerminkan kebutuhan rakyat.
Mengatasi ketimpangan tidak bisa parsial dan tambal sulam. Perlu
komitmen kuat dan suatu
formula, pendekatan, inovasi,
terobosan baru, mulai
dari perubahan paradigma
kebijakan
pembangunan, ditopang kelembagaan
yang mapan, infrastruktur
dan insentif yang
mendukung dan pengawasan ketat dalam implementasi di lapangan.
Selama negara membiarkan agenda pembangunan dibajak kepentingan sempit
politik, kartel
usaha dan pihak luar, maka mengatasi ketimpangan hanya akan menjadi
mimpi, konflik akan
terus marak dan ini akan menjadi ancaman bagi masa depan NKRI.
Sri Hartati Samhadi
Wartawan Kompas
KOMPAS, 25 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar