12 Mei 2014

Ketika Agenda Pembangunan Dibajak


Sri Hartati Sambudi

Add caption
DISPARITAS  dan  ketimpangan  menjadi  paradoks  yang  selalu  menyertai  pembangunan  di
Indonesia  yang  selama  ini  lebih  mengedepankan  pada  pertumbuhan  ekonomi  ketimbang
kualitas  pembangunan  itu  sendiri.  Tren  ketimpangan  kian  memburuk,  terutama  sejak  krisis
ekonomi  1998,  dengan  indeks  Gini  yang  menggambarkan  tingkat  ketimpangan  meningkat
dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada 2011. Ketimpangan
terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor, antar kelompok pendapatan.


Fenomena ketimpangan spasial yang muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan yang
kita  temui  20-30  tahun  lalu  tak  berubah  wajah,  tercermin  dalam  meningkatnya  kesenjangan
Jawa-luar  Jawa,  pedesaan-perkotaan,  kawasan  Indonesia  barat-kawasan  Indonesia  timur,
wilayah hinterland-wilayah perbatasan, bahkan di dalam satu wilayah yang sama.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tak dibarengi penurunan secara signifikan angka
kemiskinan dan pengangguran, karena kue nasional  terkonsentrasi pada kelompok 20 persen
terkaya.  Peningkatan  pangsa  kue  kelompok  20  persen  terkaya  dalam  distribusi  pendapatan
nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk termiskin.

Pangsa  kelompok  20  persen  ter  kaya  terus  naik  dari  41,24  persen  (1999)  menjadi  46,45
persen (2011) dan 48,94 persen (2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk termiskin
turun  dari  21,22  persen  (1999)  menjadi  17,6  persen  (2011)  dan  16,88  persen  (2012).  Efek
tetesan ke bawah (trickle down effect) tak terjadi, yang terjadi efek muncrat ke atas (trickle
up effect).

Ketimpangan di era otda
Program  desentralisasi  fiskal  dan  otonomi  daerah  (otda)  secara  tak  langsung  antara  lain
dimaksudkan  untuk  menyebarkan  pembangunan.  Namun,  setelah  12  tahun  otda,  sasaran
untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat dan memperbaiki akses penduduk miskin pada
kebutuhan  dasar  secara  umum  belum  tercapai.  Ini  tecermin  dari  tren  angka  kemiskinan  di
daerah.

Berbagai kajian yang pernah dilakukan pasca-diberlakukannya desentralisasi fiskal dan otda
menunjukkan,  ketimpangan  antarwilayah  tak  banyak  berubah  dibandingkan  sebelum
desentralisasi, bahkan ada tendensi meningkat. Lebih dari 80 persen produk domestik bruto
(PDB)  nasional  saat  ini  masih  disumbangkan  oleh  Jawa  dan  Sumatera.  Meski  hanya
menyumbang  7  persen  dari  total  luas  wilayah  daratan  Indonesia,  Jawa  menyumbang  57
persen dari PDB nasional.

Empat  provinsi  penyumbang  PDB  nasional  terbesar  pada  kuartal  1-2013  juga  terdapat  di
Jawa,  yakni  DKI  Jakarta,  Jawa  Timur,  Jawa  Barat,  dan  Jawa  Tengah,  dengan  sumbangan
kumulatif ke PDB nasional lebih dari 50 persen.

Kondisi ini diperkirakan Badan Pusat Statistik tak akan berubah dalam setidaknya 30 tahun
ke  depan  tanpa  adanya  terobosan  dalam  kebijakan.  Disparitas  antarwilayah  ini  terus
berlangsung  karena  insentif  ekonomi  lebih  banyak  diberikan  ke  Pulau  Jawa.  Pembiayaan
fiskal, seperti pembangunan infrastruktur, sebagian besar juga bias Jawa. Demikian pula Jawa
juga menjadi pusat konsentrasi investasi swasta dan asing.

Pada 2012, dari total investasi 22,75 miliar dollar AS, Jabar dan DKI 4,2 miliar dollar dan 4,1
miliar  dollar  AS.  Ini  didukung  ketersediaan  infrastruktur  dan  juga  sumber  daya  manusia.

Konsentrasi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) terus terjadi di Jawa, sementara luar
Jawa belum banyak bergeming dari sektor primer.

Disparitas  kemiskinan  lebih  mencolok  lagi  di  tingkat  kabupaten  atau  kota  meskipun  bobot
desentralisasi fiskal dan otonomi beberapa tahun terakhir semakin bergeser ke daerah tingkat
dua ini. Sebaliknya, disparitas PDRB kian mengecil antarprovinsi. Selama kurun 2001-2010
nyaris tak ada perubahan dalam gambaran tingkat kemiskinan di antara provinsi-provinsi di
Indonesia  dan  hanya  ada  satu  provinsi  yang  naik  kelas,  dari  angka  kemiskinan  sedang
menjadi angka kemiskinan rendah.

Jumlah dan persentase penduduk miskin beberapa tahun terakhir menjadi gambaran akutnya
persoalan ketimpangan di Indonesia. Selama 12 tahun terakhir, persentase penduduk miskin
menurut  garis  kemiskinan  nasional  hanya  turun  dari  19,1  persen  pada  2000  menjadi  12,0
persen  pada  2012  dan  11,37  persen  2013.  Tren  angka  kemiskinan  ini,  menurut  OECD
(Trends in Poverty and Inequality in Decentralising Indonesia, 2013), cenderung meningkat
dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, manfaat pertumbuhan belum dinikmati secara merata
oleh masyarakat.

Penurunan angka kemiskinan juga semakin lambat, kalah cepat dibandingkan dengan negara-negara Asia lain. Persentase penduduk miskin Indonesia—diukur dari angka pengeluaran per
kapita 2 dollar AS per hari—berada di atas rata-rata negara emerging countries lain, kecuali
Kamboja dan India. Sebesar 46,1 persen penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan pada
2010.  Dari  121,2  juta  angkatan  kerja  Februari  2013,  sekitar  60  persen  (meningkat  dari  54
persen 2010) juga bekerja di sektor informal. Sisanya, 40 persen, pekerja sektor formal.
Tak sedikit dari pekerja formal ini pun ada yang dilindungi oleh kontrak.

Meski  angka  kemiskinan  di  Jawa  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  provinsi  lain,  karena
mayoritas penduduk terbesar ada di Jawa, mayoritas penduduk miskin juga terkonsentrasi di
Jawa.  Papua,  Maluku,  Nusa  Tenggara  Barat,  dan  Nusa  Tenggara  Timur  serta  Gorontalo
adalah  provinsi  yang  secara  persisten  memiliki  angka  kemiskinan  tinggi,  sementara  angka
kemiskinan DKI Jakarta dan Bali secara konsisten  di bawah rata-rata nasional. Papua adalah
kasus khusus karena meski kaya SDA dan memiliki produk domestik regional bruto (PDRB)
tinggi, angka kemiskinan tinggi.

Konsentrasi aset
Kegagalan  Indonesia  mengatasi  problem  ketimpangan  selama  ini  terjadi  karena  kebijakan
pembangunan  telah  dibajak  oleh  kepentingan  politis  dan  kartel  usaha  yang  membelokkan
agenda pembangunan untuk kepentingan pribadi mereka.

Dalam  bukunya, The  Price  of  Inequality,  penerima  Nobel  Ekonomi  Joseph  E  Stiglitz
mengungkapkan,  dari  pengamatan  di  banyak  negara,  ketimpangan  pendapatan  lebih  sering
terjadi  sebagai  akibat  keputusan  politis  ketimbang  konsekuensi  dari  bekerjanya  kekuatan
pasar  atau  makroekonomi.  Artinya,  ketimpangan  adalah  buah  dari  kebijakan  pemerintah
sendiri.

Neoliberalisme telah melahirkan klaster-klaster kartel yang sangat berkuasa. Kartel-kartel ini
melakukan  segala  cara  untuk  lobi  politik  dan  menggunakan  monopoli  kekuasaannya  untuk
memperbesar  keuntungannya.  Di  Amerika,  1  persen  penduduk  terkaya  bisa  mendikte  arah
bekerjanya seluruh sistem.
Hasilnya,  ketimpangan  melonjak,  pendapatan  menurun;  produktivitas,  pertumbuhan  serta
stabilitas ekonomi itu sendiri terganggu.

Ini  juga  terjadi  di  Indonesia.  Ekonom  Ahmad  Erani  Yustika  dalam  sebuah  diskusi
di Kompas melihat  ketimpangan  pembangunan  berawal  dari  kesenjangan  penguasaan  aset
(hulu), seperti modal dan lahan. Berdasarkan data BPN, ketimpangan lahan saat ini berada di
kisaran 0,54 (Gini rasio). Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa tanah, tambak, kebun dan
properti di negara ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

Di  sisi  lain  penguasaan  lahan  oleh  rumah  tangga  petani  yang  jumlahnya  26,13  juta  rumah
tangga menurut Sensus Pertanian 2013 (turun dari 31,17 juta rumah tangga tahun 2003) atau
sekitar 44 persen penduduk Indonesia  terus menyusut hingga 0,09 hektar per rumah tangga
petani.  Kemiskinan  masih  merupakan  fenomena  pedesaan,  dengan  dominasi  penduduk
miskin di sektor pertanian di pedesaan.

Erani melihat pembangunan yang dijalankan di Indonesia selama ini ”tidak menuju ke arah
yang benar dengan kecepatan yang terukur” karena kebijakan yang diambil tidak fokus dan
sarat  kepentingan  kelompok.  Agenda  pembangunan  telah  dibajak  oleh  kepentingan  politik
sehingga pembangunan terkonsentrasi pada daerah atau golongan tertentu saja. Ini berakibat
pada munculnya kesenjangan kesejahteraan.

Pemerintah juga mudah  didikte pihak luar dalam agenda-agenda pembangunan dan banyak
kebijakan  yang  diambil  kerap  kali  terlepas  dari  bingkai  besar  kebijakan  nasional.  Contoh
terakhir adalah kebijakan mobil murah.

Ketimpangan  sektoral  membuat  upaya  pengentasan  kelompok  miskin  melalui  migrasi  dari
sektor  informal  ke  sektor  formal  juga  sulit  berjalan.  Terutama  dengan  terus  menurunnya
pangsa dan pertumbuhan sektor industri dalam perekonomian nasional sejak 2005. Kontribusi
sektor  manufaktur  yang  pernah  mencapai  28  persen  terus  menyusut  menjadi  sekitar  23,5
persen saat ini.

Sementara  sektor  pertanian  yang  masih  menampung  tenaga  kerja  terbesar  (44  persen  dari
total  angkatan  kerja)  hanya  tumbuh  3,3-3,4  persen  karena  terabaikan  dan  dihancurkan.
Perlindungan  dan  insentif  untuk  petani  terus  dipereteli,  sementara  pemerintah  kabupaten,
pemerintah  provinsi,  dan  pemerintah  pusat  juga  saling  lempar  tanggung  jawab  terkait
infrastruktur pertanian, seperti irigasi yang kini 40 persen rusak.

Pemerintah  dinilai  telah  kehilangan  fokus  karena  dibajak  kepentingan  politik.  Kita  begitu
mudah  dalam  didikte  pihak  luar  dalam  hal  agenda-agenda  pembangunan.  Termasuk  di
antaranya dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas internasional yang kita buat, di
mana komitmen menghilangkan fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan sesuai
kebutuhan kita di dalam negeri.

Masalah ketimpangan, menurut Erani, tidak pernah teratasi karena pemerintah lebih banyak
bermain  di  hilir.  Padahal,  problem  ketimpangan  ada  di  hulunya.  Insentif  kebijakan  yang
dibuat tak tersusun baik sehingga sektor-sektor tertentu, seperti pangan dan nonminyak bumi,
mengalami  kehancuran.  Partisipasi  juga  tidak  dibuka  secara  lebih  luas  sehingga  akses  dan
keadilan  tidak menyentuh semua kelompok. Aspek kelembagaan juga tidak didesain dengan
lengkap dan ditegakkan secara penuh.

Banyak langkah yang sudah ditempuh pemerintah untuk mengurangi ketimpangan, termasuk
lewat  program  transmigrasi,  percepatan  pembangunan  daerah  tertinggal,  pengembangan
kawasan  ekonomi  khusus  yang  dimaksudkan  untuk  mempercepat  pertumbuhan  ekonomi
melalui  ekspor  produksi  industri  khusus  dan  liberalisasi  perdagangan.  Selain  itu,
pembentukan  kawasan  perdagangan  bebas  dan  pelabuhan  bebas.  Lalu  kawasan
pengembangan  ekonomi  terpadu  dan  kerja  sama  subekonomi  regional.  Terakhir  Rencana
Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Intinya,  menciptakan  pusat-pusat  pertumbuhan  baru  di  daerah,  meningkatkan  integrasi  dan
interkonektivitas  seluruh  wilayah  di  Indonesia  sehingga  terjadi  pemerataan  pembangunan.
Sayangnya,  banyak  program  tersebut  mandek  di  jalan.  Banyak  kritik  juga  ditujukan  pada
MP3EI.  Misalnya,  MP3EI  dianggap  masih  mengutamakan  ekstraksi  SDA  yang  sangat
membahayakan  lingkungan  dan  keselamatan  rakyat.  MP3EI  juga  tidak  disusun  untuk
mengoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan
lingkungan  yang  diakibatkan  oleh  pembangunan.  Lebih  jauh,  MP3EI  dinilai  tak
mencerminkan  visi  nasionalisme  karena  kepentingan  yang  diusung  dianggap  tidak
mencerminkan kebutuhan rakyat.

Mengatasi ketimpangan tidak bisa parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan suatu
formula,  pendekatan,  inovasi,  terobosan  baru,  mulai  dari  perubahan  paradigma  kebijakan
pembangunan,  ditopang  kelembagaan  yang  mapan,  infrastruktur  dan  insentif  yang
mendukung dan pengawasan ketat dalam implementasi di lapangan.

Selama negara membiarkan agenda pembangunan dibajak kepentingan sempit politik, kartel
usaha dan pihak luar, maka mengatasi ketimpangan hanya akan menjadi mimpi, konflik akan
terus marak dan ini akan menjadi ancaman bagi masa depan NKRI.
Sri Hartati Samhadi
Wartawan Kompas

KOMPAS,  25 Oktober 2013

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar