Tanggal
7 Desember 2001 adalah salah satu hari yang "khusus" dalam hidup
saya.
Disebut
khusus, karena di hari itu saya dilantik menjadi orang nomer satu (CEO)
sebuah
holding company yang membawahi sekumpulan perusahaan yang sempat
menjadi
perdebatan panas di negeri ini.
Mirip
dengan ketika pertama kali seorang sahabat mendekati saya agar bersedia
menjadi
pioneer, saat pelantikanpun masih ada perasaan mendua: apakah ini berkah
atau
musibah? Lebih-lebih keesokan harinya, harian Kompas memberitakannya
dengan
tulisan besar di halaman ekonominya. Maka berdatanganlah telepon dan
pesan-pesan
SMS yang mesti dilayani satu per satu. Umumnya, hampir semua
sahabat
mengucapkan selamat, sekaligus berpesan hati-hati. Namun, segelintir
sahabat
dekat mengirimkan berita duka cita: ‘ikut berduka cita akan diangkatnya
Gede
Prama di posisi baru’. Terutama karena mereka khawatir saya bisa kehilangan
kejernihan
dan kejujuran.
Sebagai
manusia biasa yang masih memiliki kekuatan emosi di dalam sini, keraguan
memang
kadang datang sebagai pengunjung. Demikian juga ketika hari khusus di
atas
tiba. Akan tetapi, di salah satu keheningan meditasi, ada serangkaian ide yang
sempat
terlintas di kepala. ‘Ketakutan adalah sejenis ketidakyakinan kepada Tuhan’,
demikian
ide itu melayang-layang dibawa pikiran.
Dalam
cahaya kesadaran seperti ini, saya hanya bisa berjalan tegak ke depan, plus
sebuah
kata klise yang teramat sering saya kutip: ikhlas. Seorang sahabat penyiar di
radio
Female Jakarta, mengirim SMS: ‘Tugas ini memang berat, tapi dengan sayap-sayap
cinta
dan keikhlasan, Anda akan bisa menyelesaikannya’.
Entah
bagaimana Anda bisa menarik manfaat dari kejadian ini, namun bagi saya ini
adalah
sebuah momentum besar untuk melakukan perenungan dalam keheningan.
Lama
sempat saya bertanya pada sang keheningan, apa pesan-pesan yang mau
dihadirkan
di balik semua ini. Rupanya, sebuah ide lama muncul di kepala: ‘tidak
sombong
ketika di atas, tidak bersedih tatkala di bawah, itulah kesederhanaan
kehidupan
yang amat mencerahkan’.
Ternyata
saya diingatkan lagi akan pentingnya kembali ke azas yang paling dasar :
‘tidak
sombong ketika di atas, tidak bersedih tatkala di bawah’. Siapa saja meresapi
prinsip
terakhir secara amat mendalam, pikirannya bersinar terang benderang. Tidak
saja
bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi siapa saja yang berada di dekatnya.
Mirip
dengan matahari yang menyinari alam semesta, demikianlah pikiran yang
sudah
berakar dalam pada kesederhanan kehidupan tadi. Persoalannya kemudian,
bagaimana
menanamkan semua ini ke dalam akar-akar kesadaran. Masih belajar
dari
matahari, ada satu ciri menarik matahari yang layak direnungkan dalam hal ini.
Matahari
mendalami sekali apa yang disebut seorang guru Yoga sebagai the art of
letting
go. Seni membiarkan semuanya berlalu secara alami. Lihatlah matahari, ia
senantiasa
menjalankan tugasnya. Seperti mengajarkan ke kita setiap hari, tugas
kita
hanya melaksanakan tugas. Sisanya, membiarkan semuanya berjalan melaui
hukum-hukum
alami.
Sayangnya,
kita manusia kerap serakah. Ketika sedang di atas, ingin agar
kedudukan
di atas ini bertahan selamanya. Tatkala di bawah memohon ke Tuhan
agar
semuanya cepat berlalu. Keserakahan macam inilah yang menjadi musuhnya
kejernihan
dan pencerahan. Bercermin dari sini, kalau banyak orang menghabiskan
hampir
semua waktunya dengan tangan mengepal (baca: mempertahankan apa
yang
ada di tangan dan berjuang untuk selalu mendapat), mungkin ada saatnya
untuk
membuka tangan. Bukan untuk membuang-buang apa yang sudah kita miliki,
melainkan
merelakan dan mengikhlaskan alam bekerja dengan rumusan-rumusannya
sendiri.
Ada
yang mengartikannya dengan sikap pasrah yang pasif. Tentu saja ini perlu
diluruskan.
Sebab the art of letting go terletak pada sektor hasil, bukan dalam usaha.
Menyangkut
usaha, tidak ada pilihan lain kecuali berusaha sekuat tenaga. Begitu ia
sudah
dilakukan secara maksimal, bukalah tangan, biarkan sang alam bekerja dalam
hukum-hukumnya
sendiri.
Ada
tidak sedikit orang dan sahabat – terutama yang suka ngotot terhadap
kehidupan
– yang ragu, akankah cara hidup demikian bisa membuahkan hasil atau
tidak.
Tentu saja tergantung pada apa yang kita sebut dengan hasil. Kalau
pengertian
tentang hasil adalah materi yang banyak dalam jangka pendek, keraguan
tadi
bisa dimaklumi. Apa lagi kalau tidak perduli sama sekali pada dampak-dampak
jangka
panjang. Cuman kalau ukuran hasilnya adalah kedamaian dalam jangka
panjang,
baik ke dalam maupun ke luar, cara-cara seperti ini layak untuk
dipertimbangkan.
Kehidupan
Anda adalah pilihan Anda sendiri. Kemana Anda berbelok adalah hak
Anda
sendiri. Dengan tidak ada maksud membelokkan Anda, apa lagi memaksa
Anda
untuk ikut saya, kehidupan saya ditandai oleh banyak sekali monumen rasa
syukur.
Dari yang besar sampai yang kecil. Dan setiap menoleh ke jalan-jalan di
belakang,
hampir setiap belokan isinya adalah monumen rasa syukur. Dan jika ada
yang
bertanya, apa kendaraan yang saya gunakan, ya itu tadi, saya sedang
mendidik
diri untuk tidak sombong ketika di atas, dan tidak bersedih tatkala di bawah.
Sebagaimana
roda berjalan, bukankah tidak ada yang namanya keadaan permanen
untuk
senantiasa di atas? Lagian, kalau sudah ikut lentur berputar bersama sang
roda,
bukankah di atas dan di bawah sama indah dan nikmatnya?
Gede
Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar