11 Feb 2014

Kendaraan Menuju Kebahagiaan

Salah satu dari sangat sedikit buku yang saya baca pelan-pelan sampai habis adalah
buku Dalai Lama bersama Howard C. Cutter yang berjudul The Art of Happiness.
Awalnya, buku ini saya baca secara cepat. Akan tetapi, semakin diselami, ia seperti
menghadirkan kedamaian tersendiri. Seperti berhadapan dengan manusia dengan
tantangan yang amat besar - bayangkan negerinya dianeksasi Cina dalam waktu
yang lama - namun masih bisa menyebut diri berbahagia.


Lama sempat saya dibuat tercenung oleh tokoh perdamaian terakhir. Dan
merasakan sendiri, betapa kecilnya saya di hadapan 'raksasa' kehidupan sehebat
Dalai Lama. Di manapun kita bertemu tokoh ini, di televisi, di media cetak atau di
hampir semua kesempatan, kita senantiasa bertemu dengan mimik muka yang serba
tersenyum. Padahal, kehidupannya - sebagaimana dituturkan Cutter - tidak sedikit
yang ditandai oleh banjir kesedihan.

Ada seorang rahib Tibet yang disiksa dalam tahanan Cina selama lebih dari dua
puluh tahun. Orang tua yang menangis karena anaknya dididik di sekolah yang
menginjak-injak ajaran dan keyakinan orang Tibet. Bayangkan, bangsa Tibet yang
dalam waktu amat lama meyakini tidak boleh membunuh segala sesuatu yang
bernyawa, tiba-tiba generasi mudanya disuruh membunuh binatang setiap kali pergi
ke sekolah. Dan semakin besar hasil bunuhannya, maka semakin besar juga nilainya
di sekolah. Belum lagi penghancuran tempat-tempat suci bangsa Tibet.

Dirangkum menjadi satu, kehidupan seorang Dalai Lama ditandai oleh banjir
bandang kesedihan yang demikian dahsyat. Kalau orang biasa seperti saya
mengalaminya, mungkin ceritanya menjadi amat lain. Sehingga menimbulkan
pertanyaan besar bagi saya, apa kendaraan dahsyat yang bisa membawa Dalai
Lama sampai dalam tataran kebahagiaan yang sekarang? Sampai sekarangpun
saya masih meraba-raba. Yang jelas, sebagai manusia yang hidup di zaman ini,
tidak sedikit orang menggunakan materi dan hal-hal eksternal lain sebagai
kendaraan menuju kebahagiaan. Perlombaan materi terjadi di mana-mana.
Lomba model terakhir, tidak hanya monopoli orang kota. Di desapun perlombaan
terjadi. Dari perlombaan materi sampai dengan perlombaan 'spiritual'. Terutama,
melalui perlombaan mau disebut paling mengetahui, paling peka dengan sinyal-sinyal
Tuhan dan sejenisnya. Bahkan di pojokan tertentu kehidupan beragama juga
terjadi perlombaan. Kasus pembunuhan antarumat di Maluku, demikian juga di
Yugoslavia hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kasus lomba mau disebut
lebih benar. Maka jadilah kita sekumpulan manusia yang menempatkan 'perlombaan'
sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Kalau ukurannya adalah pembunuhan
yang tidak pernah berhenti, kesengsaraan yang meningkat terus, atau kebencian
meningkat serta kasih sayang yang menyusut, maka boleh dikatakan bahwa
'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan telah gagal membawa kita ke
sana.

Sebagai orang yang hadir di banyak kesempatan, sering kali saya bertemu manusia
yang kesepian di keramaian. Atau kelaparan di tengah kekayaan materi yang
melimpah. Atau malah dihimpit kebencian di tempat ibadah yang suci dan mulia. Dan
secara jujur harus saya katakan ke Anda, sayapun kadang-kadang ditulari penyakit
serupa. Serta membuat saya bertanya, dalam struktur sosial seperti apakah kita ini
sedang hidup?

Seorang sahabat sekaligus guru yang sering memberi inspirasi ke saya pernah
bertutur, dunia pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang
Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat beragama
Budha di Pura, atau penganut Hindu di Gereja. Tentu saja maksudnya bukan
kehadiran fisik. Namun kehadiran secara persahabatan. Terutama, persahabatan
dalam kedamaian dan kebahagiaan. Kalau masih kita merasakan permusuhan dan
perlombaan kebenaran di tempat ibadah, saya mau bertanya: masihkah kita layak
untuk berdoa dari tempat suci ini? Kembali ke soal awal tentang kendaraan menuju
kebahagiaan, bercermin dari ini semua, banyak orang menyimpulkan bahwa
perlombaan materi, maupun perlombaan kebenaran, bukanlah kendaraan yang tepat
dalam hal ini. Bahkan, telah terbukti menjerumuskan kemanusiaan ke dalam lembah
dalam dan mengerikan.

Lantas punyakah kita kendaraan alternatif?
Bercermin dari kehidupan mulia Dalai Lama, rupanya beliau telah lama tidak
menggunakan kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan perjalanannya
keliling dunia, bertutur serta berceramah tentang perdamaian ke siapa saja yang
mau mendengarkan, bersahabat dengan musuh yang menganeksasi negerinya, ia
sedang menunjukkan ke kita tentang kendaraan beliau yang amat lain. Di sebuah
kesempatan ia pernah bertanya ke seorang rahib Budha yang baru saja keluar dari
penjara Cina selama puluhan tahun. Ketika ditanya, bahaya terbesar yang dihadapi
ketika rahib tadi berada di penjara, ia menjawab sederhana: kehilangan rasa
perdamaian dengan bangsa Cina. Anda bebas menyimpulkan semua pengalaman ini,
namun bagi saya ia memberi inspirasi tentang kendaraan sebagai sarana menuju
kebahagiaan. Rupanya, kualitas rangkulan kita bersama kehidupan dan orang lain,
bisa menjadi kendaraan menuju kebahagiaan, yang jauh lebih memadai
dibandingkan kendaraan manapun. Anda punya kendaraan lain?

Gede Prama 

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar