Dalam
sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu Teresa
pernah
memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan di panti jompo
ini
tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang tinggal di sini, ketika duduk
di
ruangan
untuk menonton tv, bukannya memandang tv, hampir semua mata menatap
pintu
masuk.
Alasan
kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan
dikunjungi
oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka perhatian.
Membaca
pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di
kampung
sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah
mandi,
beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di pintu
masuk
rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan satu
persatu.
Tetangga
saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap sore
orang
tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya sambil
memandangi
jalan.
Tadinya,
saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca
pengalaman
Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak
saya
di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah.
Rupanya,
mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini,
setangkai
bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.
Yang
jelas, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, tua muda, di kota maupun
di
desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak orang yang
amat
pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain. Tidak sedikit orang,
hanya
meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal, bunga terakhir berharga
tidak
mahal. Bahkan, kita tidak membelinya.
Dalam
ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai tameng
ketidakmampuan
dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial antara
atasan
dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang di puncak dengan orang
di
bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
atau
koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian
bukti
yang bisa membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan
pemimpin
yang kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.
Memang,
ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari masyarakat dan
keluarga
yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk menjadi manusia yang
miskin
perhatian juga.
Inilah
problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah, atau
organisasi
berubah baru kemudian individunya berubah, maka kapan bisa terbentuk
barisan
manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?
Ibu
Teresa tepat sekali ketika menulis : "We
must remember that love begins at home, and we
must
also remember that the future of humanity passes through The Family".
Ini
berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di rumah.
Sebab,
dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari rumah, sebab
masa
depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.
Bercermin
dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab, semenjak
merangkap
menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan penulis, sering kali
meninggalkan
rumah pada hari Senen pagi dan pulang Jumat malam. Kendati setiap
hari
saya menelepon ke rumah, merayu isteri beberapa menit, bercanda dengan
anak-anak,
minta dibelikan oleh-oleh apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu
yang
kurang.
Putera
saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala saya
juga
makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali saya
sampai
di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir agar diajak
ikut
menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan berdosa dalam
diri
ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam keluarga yang
amat
saya cintai ini? Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan
jam
sehari. Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan
kuantitas
hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi.
Akan
tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya, setiap
anak
mendambakan Papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan layang-layang
yang
ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka jaga.
Menggambarkan
kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan.
Menjemput
puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan
Papanya
serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang, serta
bermain
game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan menjawab
semua
keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan memenuhi
keinginannya,
adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya penuhi. Serangkaian
kegiatan,
yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian tumbuh di mana-mana
di
rumah.
Sering
kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya naik
sepeda
berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing
kesayangan
sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka
naik
sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang suami yang
menggandeng
isterinya dengan penuh kemesraan.
Semacam
lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiakan
sekali
jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh manusia-manusia yang
saling
memperhatikan?
Gede
Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar