8 Feb 2011

Kita Bukan Negara Komunis yang Pertumbuhan Sama Rata.

Rusman Heriawan Kepala Badan Pusat Statistik



Pertumbuhan ekonomi 6,1 persen apakah mewakili situasi nyata di masyarakat?
Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi 6,1 persen itu adalah sektor pertanian 2,9 persen, itu wajar-wajar saja, karena biasanya sekitar tiga persen. Industri untuk pertama kali sekitar lima persen, manufaktur di luar migas pengilangan 5,3 persen. Walau industri secara keseluruhan 4,5 persen. Konstruksi cukup bagus. Ini semua yang agak membumi, yang produktif.

Kalau lihat pertumbuhan ekonomi tertinggi transportasi dan komunikasi. Jasa juga cukup bagus. Jangan diangggap ini nontradeable. Karena itu, kumpulan sektor informal, jasa perorangan. Tukang cukur, semir, dan sebagainya. Ini bukan sampel. Ini beneran. Kalau lihat sumber pertumbuhannya, ini mencerminkan. Kalau industri, mencerminkan lapangan kerja permanen. Di sisi penggunaan juga lebih seimbang. Ekspor mengarahkan pertumbuhan. Investasi, konsumsi rumah tangga, lebih merata. Investasi juga bagus.


Bagaimana dengan sebaran sektor pembentuk angka pertumbuhan ekonomi ini, karena pertumbuhan tinggi, tapi masih banyak kemiskinan, kelaparan, dan kasus gizi buruk?
Kalau mikro akan selalu ada saja kasus per kasus. Akan selalu ada. Tapi, success story juga ada. Pengusaha kecil jadi besar yang tak terekspose. Kasus seperti gizi buruk itu juga tetap diakui ada.Pertumbuhan ekonomi 6,1 persen, tapi orang miskin banyak, di jembatan orang tinggal, pasti ada selama tak dibongkar. Harus diakui. Kita tak bisa seperti negara komunis yang pertumbuhan sama rata. Ada peluang lebih bagus untuk golongan tertentu. Yang penting, yang miskin terangkat atau tidak.

Berapa sebenarnya proporsi antara tenaga kerja yang bekerja di sektor formal dan informal?
Data Agustus 2010, tenaga kerja (dengan) PDB 6,1 persen itu di-share ke siapa saja kan? Kalau dilihat sekitar 65 berbanding 35 untuk informal terhadap formal. Dari 108,21 juta tenaga kerja, sektor formal sekitar 35 juta, sisanya informal.

Kalau soal garis kemiskinan yang selalu jadi perdebatan itu?

Garis kemiskinan kita itu memang kalau kita lihat rata-rata nasional adalah Rp 212 ribu per bulan per orang. Kalau dibagi 30, menjadi sekitar Rp 7 ribu per hari per orang. Kemudian, orang mengatakan, “Mana bisa hidup dengan Rp 7 ribu per hari?”Yang dibayangkan orang tak seperti yang diukur kami. Jangan dibayangkan orang dewasa semua. Ini dari balita sampai jompo. Kalau hanya dibayangkan orang dewasa normal produktif, tak cukup. Tapi, kalau balita dan anak-anak cukup.

Belum lagi perbedaan antarkota. Kalau DKI Jakarta Rp 331 ribu per bulan per orang, sekitar Rp 11 ribu per orang per hari. Tapi, di Yogyakarta yang apa-apa lebih murah.Garis kemiskinan Rp 212 ribu itu angka nasional yang jangan dibayangkan orang dewasa dan di Jakarta saja. Ini bayi sampai orang tua, dari Sabang sampai Merauke.

Kalau indikator Bank Dunia yang menerapkan garis kemiskinan dua dolar AS per hari?

Kalau dengan dua dolar AS per hari, maka per bulan sekitar Rp 540 ribu. Dengan empat orang anggota keluarga per rumah, maka seorang kepala keluarga  minimal Rp 2,2 juta untuk tak dianggap miskin menurut Bank Dunia. Padahal, PNS baru gajinya sekitar Rp 1,8 juta. Masak miskin semua? Ada ukuran konkret dari BPS. Harga di sini juga lebih murah, jangan diukur pakai standar dolar di luar negeri.

Kami juga mengukur kecukupan minimal kalori 2.100 per hari, dihitung juga sampai ketercukupan garam dan sebagainya. Hitungan BPS konsisten dari era 70-an. Kalau mau naikkan garis kemiskinan bisa juga, biar kualitas hidup lebih bagus. Tapi, tak bisa tiba-tiba naikkan itu.

Harus dihitung ke belakang juga, tahun-tahun sebelumnya, biar apple to apple. Kalau seketika naik jadi dua dolar AS, bisa-bisa melonjak luar biasa angka kemiskinannya. Tidak membela kepentingan BPS. Tapi, BPS bertanggung jawab dengan angka garis kemsikinan Rp 212 ribu, tidak tiba-tiba.

Jadi, angka pertumbuhan ekonomi itu tak bisa dibilang semu ya?
Imbang-imbang saja. Yang produktif ada, industri bagus, pertanian normal, konstruksi bagus. Transportasi, komunikasi, paling tinggi, jasa bagus, perdagangan bagus. Di dalamnya, ada juga sektor nontradeable yang juga tetap menyerap tenaga kerja. ed: budi raharjo
Sumber: Republika

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar