Kesenangan
dan hobi untuk memelihara taman, bagi saya adalah salah satu obat
kehidupan
yang amat membantu. Hampir setiap pagi sebelum memulai kegiatan
setiap
hari, saya menyempatkan diri untuk melihat dan memegang-megang pohon
dan
bunga-bunga yang mekar di taman. Demikian juga di hampir setiap sore yang
melelahkan.
Ada sejenis dahaga tertentu yang terobati setelah memandangi dan
memegang
bunga atau pepohonan. Dalam kedalaman renungan tertentu, kadang
terasa
ada bunga yang sedang mau ‘berbicara’ ke arah manusia.
Cobalah
Anda perhatikan, setiap bunga mengenal siklus tumbuh, mekar, layu dan
kemudian
mati. Mirip dengan api, setelah menyala, beberapa lama kemudian ia mati.
Semua
ini menimbulkan pertanyaan, kemanakah perginya bunga dan api setelah ia
mati?
Bunga memang lebih jelas, karena setelah layu ia jatuh ke tanah, untuk
memenuhi
panggilan tugas dari sang Ibu untuk menjadi pupuk. Namun api, ia amat
misterius.
Begitu mati, menghilang tidak ketahuan jejaknya.
Anda
bebas menafsirkan semua ini. Dan bagi saya, bunga dan api sedang
‘membisikkan’
kebijakan yang amat berguna bagi kita manusia. Bunga –
sebagaimana
juga kita – mengenal siklus lahir, tumbuh, layu dan kemudian mati. Ini
hukum
besi yang berlaku bagi bunga maupun manusia yang manapun. Bedanya,
kalau
bunga setelah mati selalu menunaikan tugas sebagai pupuk buat sang ‘Ibu’,
adakah
kita manusia juga mewariskan ‘pupuk-pupuk’ yang menyuburkan?
Api
juga ‘membisikkan’ sesuatu ke kita. Sebelum mati dan menghilang, ia senantiasa
memberikan
sinar yang menerangi. Namun manusia, sudahkah kita hidup dengan
konsep-konsep
menerangi? Inilah rangkaian renungan yang perlu kita endapkan dari
bunga
dan api. Di titik ini, kerap saya merasa demikian bodoh dan tulinya. Baik
bunga
dan api, sudah kita temukan sejak pertama kali mengenal dunia. Tetapi,
kenapa
butuh waktu demikian lama untuk bisa ‘mendengarkan’ bisikan-bisikan
bunga
dan api?
Mungkin
benar keyakinan banyak orang tua, lebih baik terlambat dibandingkan tuli
sama
sekali. Untuk itulah, saya sedang mengajak Anda untuk mempertajam
kepekaan
pendengaran akan bisikan-bisikan bunga dan api. Bukan untuk menjadi
manusia
aneh dan kemudian dicurigai gila. Melainkan, memetik indahnya bunga
melalui
kebijakan yang dicoba untuk dikatakan ke kita manusia. Atau menikmati
terangnya
api, lewat kearifan penerangan yang telah dihadirkan. Sebagaimana bau
harumnya
bunga, serta terangnya sinar api, demikianlah wajah kehidupan orang
yang
telinganya peka pada bisikan-bisikan bunga dan api.
Mari
kita mulai dengan pesan bunga yang senantiasa mengakhiri hidupnya sebagai
pupuk.
Lama saya sempat merenung tentang kearifan bunga. Tubuh kita memang
akan
membusuk jadi pupuk setelah melewati kematian. Bedanya dengan bunga
yang
hanya memiliki badan kasar, kita manusia memiliki jauh lebih banyak dari
badan
kasar. Keteladanan, cinta, kasih sayang, doa, pengabdian hanyalah sebagian
dari
pupuk-pupuk lain yang bernilai jauh lebih berguna dari sekadar badan kasar
yang
membusuk. Kalau pembusukan badan kasar, dibatasi ruang dan waktu, pupuk-pupuk
manusia
tadi bisa menembus ruang dan waktu.
Sebutlah
nama-nama manusia yang telah tiada dan meninggalkan pupuk kehidupan
yang
jauh lebih besar dari sekadar badan kasar yang membusuk. Dari Baharudin
Lopa,
Mohammad Hatta, John Lennon sampai dengan Kahlil Gibran. Saya tidak tahu,
apakah
mereka dulu mendengarkan bisikan bunga dan api. Yang jelas, rangkaian
pupuk
kehidupan yang diwariskan mereka ke kita, memberi inspirasi dalam kurun
waktu
dan bentangan ruang yang tidak terbatas.
Mirip
dengan bunga yang mengharumi ketika mekar, api yang menyinari ketika
masih
hidup, demikianlah inti-inti kebijakan yang mereka wariskan ke kita. Lebih dari
itu,
setelah matipun mereka masih ‘mendengarkan’ bisikan bunga dan api. Pupuk-pupuknya
demikian
menyuburkan. Dan berbeda dengan api yang sinarnya lenyap
ketika
mati, mereka masih bersinar tatkala badan kasarnya sudah ditelan bumi.
Putera
bungsu saya yang masih balita pernah bertanya, kemanakah bunga dan api
pergi
ketika mereka sudah mati? Pertanyaan ini memang kedengaran innocent,
namun
relevan untuk ditanyakan pada diri kita manusia. Anda bebas untuk percaya
atau
tidak percaya, seorang hypnotherapist bernama Michael Newton pernah
melakukan
eksperimen yang menarik. Sejumlah pasien yang dihipnotis dibawa oleh
Newton
ke dalam rangkaian pengalaman jauh ke belakang. Dari pengalamannya
pernah
meninggal di kehidupan sebelumnya, sampai dengan perjalanan-perjalanan
jiwa
yang lain. Sebagaimana yang dia tulis dalam buku karyanya yang berjudul
Journey
of Souls: Case Studies of Life Between Lives,
diperlihatkan dengan metode
wawancara,
bagaimana orang-orang dalam keadaan terhipnotis bisa bertutur tentang
perjalanan
jiwa mereka yang amat unik dan berbeda.
Newton
memang bukan seorang pakar agama dan hanya seorang terapis. Dia juga
mengakui
menjaga jarak terhadap konsep reinkarnasi. Tetapi apa yang dia temukan,
memberikan
sebuah pandangan, bahwa kita ini lebih dari sekadar gumpalan-gumpalan
daging
yang riwayatnya tamat ketika kematian telah menjemput.
Saya
tidak tahu, apakah bunga dan api riwayatnya tamat setelah mati. Namun
manusia
sebagaimana dituturkan Newton, masih memiliki riwayat panjang setelah
beberapa
kali dijemput kematian. Sekaligus memberikan bahan perenungan,
kemanakah
kita sedang dan telah mengarahkan perjalanan jiwa ini?.
Bunga
dan api memang diam selamanya – kalau kita menggunakan konsep
berbicara
ala manusia. Namun, rangkaian renungan di atas, membuat saya terdiam
sejenak
setiap kali melihat bunga dan api. Untuk kemudian, melalui kepekaan-kepekaan
mencoba
membuka telinga hati yang kadang dibuat bersembunyi oleh
kehidupan
masa kini.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar