23 Jun 2014

Sayap-Sayap Diri Sejati



Kendati Max Weber sudah ratusan tahun yang lalu membahas soal karisma
kepemimpinan, dan memberikan beberapa sumber yang meyakinkan, toh tidak
semua orang yang tahu lantas bisa memillikinya. Ratusan artikel, tidak sedikit buku
yang sudah diterbitkan untuk urusan ini, namun toh masih saja ada misteri yang
tersisa.


Memang kedengaran tidak populer, kalau di tengah pencaharian-pencaharian dari
luar (legalitas, legitimitas, dan sejenisnya), kalau saya kemudian mengajak orang
untuk mencari sumber-sumber karisma di sini : di dalam diri kita sendiri. Meminjam
argumen salah seorang seniman besar India yang bernama Kabir, ‘Janganlah
datang ke taman, dalam tubuh kita sudah ada taman. Duduklah di atas pohon lotus,
dan temukan suka cita di sana’.

Ini berarti, ada banyak sekali sumber yang tersedia dalam diri ini. Akan tetapi, karena
berbagai faktor, sumber tadi hanya terbuang percuma, kemudian kita mencarinya di
luar. Sebutlah orang yang mencari kesenangan melalui harta dan wisata. Ia mirip
dengan memindahkan buih ombak ke rumah. Ketika buih itu kita ambil dengan
ember misalnya, ada rasa senang dan bangga, karena kita akan bisa memamerkan
buih ombak kepada keluarga dan kerabat di rumah. Namun, tatkala sudah sampai di
rumah, baru kita sadar yang tersisa hanya air biasa.

Dalam keheningan dan kejernihan, ingin saya bertutur ke Anda, sayapun pernah
lama terlibat dalam kegiatan ‘memindahkan buih ombak’. Tidak sepenuhnya sia-sia
tentunya, namun cukup memberi pelajaran, bukan hanya di luar sana tersedia
sumber-sumber kepemimpinan dan suka cita. Di dalam diripun, ada sumber-sumber
dalam jumlah tidak terbatas.

Ibarat sebuah pesawat terbang, tubuh dan jiwa ini sebenarnya sudah memiliki semua
komponen yang memungkinkan kita manusia bisa ‘terbang’ tinggi-tinggi. Cuman,
karena demikian banyak beban dan muatan tidak perlu yang kita bawa ke mana-mana,
maka jadilah kehidupan banyak orang seperti pesawat yang hanya parkir di
lapangan udara. Sebagian dari beban-beban tidak perlu tadi adalah rasa marah,
benci, dengki, ego, nafsu dan beban-beban sejenis. Sekilas tampak, kemarahan dan
kebencian memang bisa memuaskan diri kita dan memberatkan orang lain. Padahal
yang sering terjadi malah sebaliknya, ia lebih memberatkan diri kita sendiri.

Pernah dilakukan wawancara mendalam terhadap lima ratus orang yang pernah
terkena penyakit serangan jantung. Lebih dari delapan puluh persen responden,
memiliki ‘hobi’ marah-marah. Ada sahabat seorang penulis yang iseng-iseng
melakukan penelitian kepustakaan terhadap pemimpin-pemimpin besar yang
legendaris. Kebanyakan pemimpin-pemimpin jenis terakhir adalah kumpulan orang-orang
yang penyabar, pemaaf dan amat rajin mendidik diri untuk senantiasa
mencintai orang lain. Makanya, tidak heran kalau seorang sahabat intelektual pernah
menyebutkan: ‘membalas kebencian dengan cinta dan kasih sayang adalah prestasi
tersulit dan tertinggi yang bisa dicapai manusia di atas bumi ini’. Ada yang bertanya,
bagaimana beban-beban tidak perlu ini bisa dibuang? Sayangnya saya bukan
psikolog, namun ada sahabat yang meyakini, bahwa kemarahan dan kebencian akan
semakin sering datang berkunjung kalau kita sering mengingat-ingatnya.

Ini baru berkaitan dengan pengurangan beban. Sama pentingnya dengan kegiatan
mengurangi beban-beban tidak perlu, pencaharian untuk menemukan diri sejati juga
sama perlunya. Pertanyaan dasar dan klisenya berbunyi: who am I ? Pohon memang
tidak akan pernah tahu, dari bibit apa ia terbuat. Kuda juga tidak terlalu peduli, dalam
keadaan bagaimana ibunya ketika ia berada dalam kandungan. Demikian juga
dengan kucing, asal muasal dan pengalaman masa lalu bukanlah sebuah perkara
yang layak untuk dicermati.

Tidak demikian halnya dengan manusia – lebih-lebih yang mau jadi pemimpin.
Pengenalan dan penghayatan terhadap ‘bahan-bahan’ diri kita adalah perkara besar
dalam hidup. Kondisi sang Ibu ketika kita di dalam kandungan, pengalaman masa
kecil, kejadian-kejadian ekstrim dalam hidup yang hadir sebagai sinyal-sinyal dari
sutradara kehidupan, alasan-alasan yang berada di balik tanjakan dan turunan
kehidupan. Semua ini adalah sumber-sumber informasi yang bisa membawa kita
pada pemahaman diri kita yang sejati. Sejumlah psikolog bahkan pernah
merekomendasikan untuk melakukan penelusuran lebih jauh: sampai tahapan
kehidupan kita sebelumnya.

Bacaan dan pengalaman hidup saya bertutur, pada titik di mana kita sudah
mengenali diri kita yang sejati, badan dan jiwa ini sudah dipenuhi oleh sayap-sayap
diri sejati yang siap membawa kita terbang tinggi-tinggi. Rezeki, jodoh, lahir dan mati
memang bukan wewenang manusia. Tetapi masih dalam wewenang kita untuk
mengisi hidup ini dengan penuh suka cita, memberi vitamin terhadap tubuh dan jiwa,
atau membiarkan sayap-sayap diri sejati tumbuh dengan lancarnya. Menjadi
konglomerat material memang masih wewenang Tuhan. Namun, kita bisa mencapai
prestasi sebagai konglomerat spiritual – dari mana semua wibawa, karisma, dan
keseganan orang lain berasal – kalau saja kita rajin berusaha menemukan bahan-bahan
dari mana kita terbuat.

Kombinasi dari telah terbuangnya beban-beban tidak perlu, dengan ditemukannya
kesejatian diri inilah yang kerap disebut banyak pemikir sebagai sayap-sayap diri
sejati.
Gede Prama

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar