Kendati
Max Weber sudah ratusan tahun yang lalu membahas soal karisma
kepemimpinan,
dan memberikan beberapa sumber yang meyakinkan, toh tidak
semua
orang yang tahu lantas bisa memillikinya. Ratusan artikel, tidak sedikit buku
yang
sudah diterbitkan untuk urusan ini, namun toh masih saja ada misteri yang
tersisa.
Memang
kedengaran tidak populer, kalau di tengah pencaharian-pencaharian dari
luar
(legalitas, legitimitas, dan sejenisnya), kalau saya kemudian mengajak orang
untuk
mencari sumber-sumber karisma di sini : di dalam diri kita sendiri. Meminjam
argumen
salah seorang seniman besar India yang bernama Kabir, ‘Janganlah
datang
ke taman, dalam tubuh kita sudah ada taman. Duduklah di atas pohon lotus,
dan
temukan suka cita di sana’.
Ini
berarti, ada banyak sekali sumber yang tersedia dalam diri ini. Akan tetapi,
karena
berbagai
faktor, sumber tadi hanya terbuang percuma, kemudian kita mencarinya di
luar.
Sebutlah orang yang mencari kesenangan melalui harta dan wisata. Ia mirip
dengan
memindahkan buih ombak ke rumah. Ketika buih itu kita ambil dengan
ember
misalnya, ada rasa senang dan bangga, karena kita akan bisa memamerkan
buih
ombak kepada keluarga dan kerabat di rumah. Namun, tatkala sudah sampai di
rumah,
baru kita sadar yang tersisa hanya air biasa.
Dalam
keheningan dan kejernihan, ingin saya bertutur ke Anda, sayapun pernah
lama
terlibat dalam kegiatan ‘memindahkan buih ombak’. Tidak sepenuhnya sia-sia
tentunya,
namun cukup memberi pelajaran, bukan hanya di luar sana tersedia
sumber-sumber
kepemimpinan dan suka cita. Di dalam diripun, ada sumber-sumber
dalam
jumlah tidak terbatas.
Ibarat
sebuah pesawat terbang, tubuh dan jiwa ini sebenarnya sudah memiliki semua
komponen
yang memungkinkan kita manusia bisa ‘terbang’ tinggi-tinggi. Cuman,
karena
demikian banyak beban dan muatan tidak perlu yang kita bawa ke mana-mana,
maka
jadilah kehidupan banyak orang seperti pesawat yang hanya parkir di
lapangan
udara. Sebagian dari beban-beban tidak perlu tadi adalah rasa marah,
benci,
dengki, ego, nafsu dan beban-beban sejenis. Sekilas tampak, kemarahan dan
kebencian
memang bisa memuaskan diri kita dan memberatkan orang lain. Padahal
yang
sering terjadi malah sebaliknya, ia lebih memberatkan diri kita sendiri.
Pernah
dilakukan wawancara mendalam terhadap lima ratus orang yang pernah
terkena
penyakit serangan jantung. Lebih dari delapan puluh persen responden,
memiliki
‘hobi’ marah-marah. Ada sahabat seorang penulis yang iseng-iseng
melakukan
penelitian kepustakaan terhadap pemimpin-pemimpin besar yang
legendaris.
Kebanyakan pemimpin-pemimpin jenis terakhir adalah kumpulan orang-orang
yang
penyabar, pemaaf dan amat rajin mendidik diri untuk senantiasa
mencintai
orang lain. Makanya, tidak heran kalau seorang sahabat intelektual pernah
menyebutkan:
‘membalas kebencian dengan cinta dan kasih sayang adalah prestasi
tersulit
dan tertinggi yang bisa dicapai manusia di atas bumi ini’. Ada yang bertanya,
bagaimana
beban-beban tidak perlu ini bisa dibuang? Sayangnya saya bukan
psikolog,
namun ada sahabat yang meyakini, bahwa kemarahan dan kebencian akan
semakin
sering datang berkunjung kalau kita sering mengingat-ingatnya.
Ini
baru berkaitan dengan pengurangan beban. Sama pentingnya dengan kegiatan
mengurangi
beban-beban tidak perlu, pencaharian untuk menemukan diri sejati juga
sama
perlunya. Pertanyaan dasar dan klisenya berbunyi: who am I ? Pohon memang
tidak
akan pernah tahu, dari bibit apa ia terbuat. Kuda juga tidak terlalu peduli,
dalam
keadaan
bagaimana ibunya ketika ia berada dalam kandungan. Demikian juga
dengan
kucing, asal muasal dan pengalaman masa lalu bukanlah sebuah perkara
yang
layak untuk dicermati.
Tidak
demikian halnya dengan manusia – lebih-lebih yang mau jadi pemimpin.
Pengenalan
dan penghayatan terhadap ‘bahan-bahan’ diri kita adalah perkara besar
dalam
hidup. Kondisi sang Ibu ketika kita di dalam kandungan, pengalaman masa
kecil,
kejadian-kejadian ekstrim dalam hidup yang hadir sebagai sinyal-sinyal dari
sutradara
kehidupan, alasan-alasan yang berada di balik tanjakan dan turunan
kehidupan.
Semua ini adalah sumber-sumber informasi yang bisa membawa kita
pada
pemahaman diri kita yang sejati. Sejumlah psikolog bahkan pernah
merekomendasikan
untuk melakukan penelusuran lebih jauh: sampai tahapan
kehidupan
kita sebelumnya.
Bacaan
dan pengalaman hidup saya bertutur, pada titik di mana kita sudah
mengenali
diri kita yang sejati, badan dan jiwa ini sudah dipenuhi oleh sayap-sayap
diri
sejati yang siap membawa kita terbang tinggi-tinggi. Rezeki, jodoh, lahir dan
mati
memang
bukan wewenang manusia. Tetapi masih dalam wewenang kita untuk
mengisi
hidup ini dengan penuh suka cita, memberi vitamin terhadap tubuh dan jiwa,
atau
membiarkan sayap-sayap diri sejati tumbuh dengan lancarnya. Menjadi
konglomerat
material memang masih wewenang Tuhan. Namun, kita bisa mencapai
prestasi
sebagai konglomerat spiritual – dari mana semua wibawa, karisma, dan
keseganan
orang lain berasal – kalau saja kita rajin berusaha menemukan bahan-bahan
dari
mana kita terbuat.
Kombinasi
dari telah terbuangnya beban-beban tidak perlu, dengan ditemukannya
kesejatian
diri inilah yang kerap disebut banyak pemikir sebagai sayap-sayap diri
sejati.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar