berpetuah
ke kita. Jika saja, setiap manusia cermat mengamati bentangan sejarah
yang
demikian panjang, mungkin tidak ada putaran sejarah yang kembali ke tempat
semula.
Mungkin sejarah akan bergerak seperti spiral misalnya, atau malah ditandai
oleh
gerakan yang kebanyakan naik.
Sebut
saja modal kemajuan sebagai contoh. Modal material semata, oleh sejarah
sudah
diberitahu jauh-jauh hari, kalau jauh dari cukup untuk sebagai pendorong
kemajuan.
Namun, tetap saja ada penguasa dan pengusaha yang mau lari di atas
roda-roda
modal material semata. Tidak hanya Indonesia, hampir semua negara
berkembang
ditandai oleh kekeroposan perekonomian terutama karena bertumpu
pada
modal material semata. Belakangan, munculnya mega skandal seperti Enron
dan
Worldcom di AS bahkan membuka tabir, bahkan di negeri maju sekalipun, modal
material
semata tidak cukup.
Lebih
dari sekadar keropos, sejumlah negara bahkan tidak maju-maju hanya karena
berkonsentrasi
pada modal material seperti utang semata. Sebagian negara bahkan
dililit
lingkaran setan hutang tanpa mengenal batas waktu kapan berakhirnya. Ada
juga
negara dan perusahaan yang justru runtuh di tengah limpahan modal material
semata.
Sebab, di tengah limpahan materi kemudian orang hanya berebut uang dan
kekuasaan.
Lupa tugas-tugas lain yang lebih penting.
Di
tengah-tengah keterbatasan modal material seperti inilah, kemudian hadir modal
intelektual.
Di mana intelek, teknologi, rasionalitas berada memimpin di depan.
Hadirnya
teknologi informasi dan teknik-teknik manajemen masuk dalam kategori ini.
Untuk
alasan inilah hadir organisasi yang berbasiskan intelektualitas di mana-mana.
On
line organization, mobile corporation, e-banking, m-insurance belum lagi
termasuk
flat organization, knowledge based corporation semuanya termasuk bagian
dari
menyongsong modal intelektual.
Fundamental
dalam modal intelektual ini, semuanya dihubungkan melalui jejaring
yang
bernama intelektualitas. Lebih pintar, lebih cerdas, lebih cepat, lebih cermat
dan
kata lebih lainnya adalah standar dan ukuran-ukuran keberhasilan. Di sini juga
muncul
kata benchmarking, di mana kemajuan orang lain menjadi ukuran kita dalam
berlari.
Competition juga muncul dan berkembang pesat dalam hal ini. Apapun dan
bagaimanapun
caranya, kemenangan dalam persaingan mutlak didapatkan.
Untuk
alasan itulah maka teknologi, pengetahuan, cara dan teknologi mengelola
diburu
dan dikejar kemana-mana. Ada yang rela membelinya dengan harga yang
amat
mahal. Bisnis konsultan berkembang seperti jamur di musim hujan dalam hal
ini.
Demikian juga dengan usaha memata-matai lawan. Ia tidak lagi dilakukan secara
malu-malu.
Demikian
dahsyatnya peran modal intelektual, banyak pemilik modal material yang
mencium
bau kemajuan ini. Maka bergabunglah dua modal ini sebagai mesin
kemajuan.
Hasilnya memang dahsyat. Lompatan-lompatan memang terjadi di mana-mana.
Tidak
hanya lompatan prestasi perusahaan, lompatan prestasi bangsa juga
terjadi.
Ingat, sebelum krisis, Asia disebut sebagai kawasan dengan lompatan
prestasi
yang mengagumkan. Di kawasan ini juga muncul pengusaha-pengusaha
dadakan
yang muncul mengagetkan. Jumlah kekayaan bank, tiba-tiba
menggelembung
demikian cepatnya tidak bisa diketahui dari mana sumbernya.
Pengusaha-pengusaha
baru tiba-tiba secara mengagetkan muncul ke permukaan.
Dan
sebagaimana telah dicatat rapi oleh sejarah, semua yang serba dadakan ini
kemudian
runtuh tanpa sepenuhnya bisa dijelaskan. Setelah runtuh, bahkan
membukakan
luka-luka lebar yang berbahaya. Dari sinilah, timbul pemikiran untuk
mencari
another source of capital. Dan the heart capital, layak dipikirkan dalam hal
ini.
Agak
berbeda dengan pemuja-pemuja modal material dan modal intelektual yang
menempatkan
the heart capital sebagai rem kemajuan, sebenarnya modal alternatif
ini
berwajah jauh lebih luas dari sekadar rem. Dalam kerangka sederhana, hati bisa
bermuara
pada dua hal: kekuatan dan kebijaksanaan.
Pada
tataran hati sebagai sumber kekuatan, hati menjadi sumber energi bagi
hadirnya
strong will. Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Konosuke Matsushita adalah
sebagian
contoh bagaimana hati menjadi sumber energi yang amat mengagumkan.
Mengacu
pada pengalamannya Mahatma Gandhi, bahkan penjajah terkuatpun bisa
diusir
oleh kekuatan yang datang dari dalam hati. Bercermin pada pengalaman
Konosuke
Matsushita, sebuah toko elektronika bisa ditransformasikan menjadi
kekuatan
multi nasional yang mengagumkan. Inilah yang kerap saya sebut dengan
light
of will. Sebab kekuatan hati telah menjadi cahaya penerang bagi banyak upaya
penciptaan
kemudian.
Pada
tahap hati sebagai sumber kebijaksanaan, muncul light of sacred. Sinar-sinar
sakral
yang suci. Pada tahapan tertentu, tidak tertutup kemungkinan melalui sinar-sinar
jenis
ini manusia bisa bertemu the co-creator of life. Bila itu terjadi, doa tidak
lagi
berarti rangkaian permintaan. Melainkan hanyalah konfirmasi dari apa yang
didoakan.
Berbeda dengan tahapan sebelumnya, tahap ini ditandai oleh banyaknya
energi-energi
keikhlasan di depan sang kehidupan. Bahkan, banyak sahabat jernih
mengungkapkan,
kalau keikhlasan adalah ujungnya setiap pengetahuan manusia.
Sekilas
dari penjelasan ini tampak muncul semacam paradoks. Sebab, di satu sisi
hati
memproduksi strong will, di lain sisi ia menghasilkan enormous capacity of
acceptance.
Dan memang demikianlah hakekat kehidupan. Orang Cina
menggambarkannya
dengan Yin-Yang. Dan berbeda dengan banyak pengetahuan
yang
menempatkannya dalam posisi saling berseberangan (baca: dualitas), bahkan
ada
yang berani memberinya sebutan paradoks (salah satunya Naisbitt), sebenarnya
keduanya
hadir sebagai dua hal yang saling berpelukan dan saling melengkapi.
Malam
ada untuk membuat siang lebih indah. Orang jelek ada untuk membuat orang
cantik
tampak lebih menawan. Kegagalan ada untuk meningkatkan cita rasa
kesuksesan
kemudian. Demikian juga dengan keikhlasan, ia bukan lawannya strong
will,
melainkan memberi energi-energi baru bagi strong will berikutnya.
Ada
catatan berikutnya: the beauty of balance! Tidak hanya dalam mengelola hati,
dalam
setiap aspek kehidupan manusia memerlukan keindahan keseimbangan. Dan
ini
bukanlah ilmu eksak yang bisa direduksi ke dalam teknik dan rumus yang kaku.
Setiap
keseimbangan bersifat dinamis, berubah sejalan dengan berputarnya sang
waktu.
Agak
berbeda dengan modal material dan modal intelektual, atau kombinasi diantara
keduanya,
di mana semuanya berjalan di atas mesin-mesin akal sehat, pengetahuan,
rasionalitas,
dst. Dalam the heart capital, akal sehat dan pengetahuan bukanlah
segala-galanya.
Ia bisa dilampaui melalui dua hal sederhana: love and compassion.
Seorang
sahabat pengusaha terkemuka pernah menyebut beda antara orang bodoh,
orang
pintar, orang licik dan orang beruntung.
Orang
bodoh dikalahkan sama orang pintar. Dan ini bisa dimaklumi. Orang pintar
kalah
sama orang licik. Ini juga sudah dicatat dalam banyak sejarah. Dan satusatunya
orang
yang tidak bisa dikalahkan orang licik, yakni orang yang senantiasa
beruntung.
Bahasa logikanya memang ‘beruntung’ - yang mengandung makna
kebetulan
dan tidak bisa diramalkan serta tidak dipersiapkan sebelumnya - tetapi
bagi
siapa saja yang sudah mendalami samudera-samudera hati. Lebih-lebih ketika
manusia
sudah berpelukan dengan cocreator of life, keberuntungan bukanlah
sebuah
kebetulan. Ia hasil dari rangkaian penciptaan antara manusia bersama
cocreator-nya.
Hanya karena belum pernah sampai di sanalah, sebagian orang
menyebutnya
kebetulan.
Dalam
cahaya-cahaya the heart capital seperti ini, terjadi pergeseran yang cukup
besar
dalam sumber-sumber kekuasaan. Di mana kekuasaan yang dulunya lebih
bersumber
dari luar (jabatan, uang, kepemilikan, dll) bergeser ke sumber-sumber
dalam
diri. Dan hati (baik sebagai light of will maupun sebagai sacred light) adalah
sebuah
wilayah di mana sumber kekuasaan tadi tersedia secara amat melimpah.
Sayangnya,
banyak manusia dihalangi oleh awan tebal yang bernama pikiran.
Mungkin
kedengaran terlalu idealis dan moralis, atau bahkan terlalu mengawang-awang
terutama
bagi banyak sahabat yang belum pernah mencobanya. Dan sebutan
seperti
itu boleh-boleh saja! Namun, begitu manusia bertemu co-creator of life, apa
lagi
bisa bersatu dalam kekuatan yang sama, maka berlakulah puisi indahnya Rumi:
Bertahun-tahun aku mengetok pintuMu
Lamaa sekali tidak dibuka
Dan ketika dibuka
Baru aku sadar...
Kalau aku mengetuknya dari dalam
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar