4 Jun 2014

Managing The Herat Capital



Bisa jadi, benar kata sejumlah sahabat jernih, sejarah adalah cara sang kehidupan
berpetuah ke kita. Jika saja, setiap manusia cermat mengamati bentangan sejarah
yang demikian panjang, mungkin tidak ada putaran sejarah yang kembali ke tempat
semula. Mungkin sejarah akan bergerak seperti spiral misalnya, atau malah ditandai
oleh gerakan yang kebanyakan naik.


Sebut saja modal kemajuan sebagai contoh. Modal material semata, oleh sejarah
sudah diberitahu jauh-jauh hari, kalau jauh dari cukup untuk sebagai pendorong
kemajuan. Namun, tetap saja ada penguasa dan pengusaha yang mau lari di atas
roda-roda modal material semata. Tidak hanya Indonesia, hampir semua negara
berkembang ditandai oleh kekeroposan perekonomian terutama karena bertumpu
pada modal material semata. Belakangan, munculnya mega skandal seperti Enron
dan Worldcom di AS bahkan membuka tabir, bahkan di negeri maju sekalipun, modal
material semata tidak cukup.

Lebih dari sekadar keropos, sejumlah negara bahkan tidak maju-maju hanya karena
berkonsentrasi pada modal material seperti utang semata. Sebagian negara bahkan
dililit lingkaran setan hutang tanpa mengenal batas waktu kapan berakhirnya. Ada
juga negara dan perusahaan yang justru runtuh di tengah limpahan modal material
semata. Sebab, di tengah limpahan materi kemudian orang hanya berebut uang dan
kekuasaan. Lupa tugas-tugas lain yang lebih penting.

Di tengah-tengah keterbatasan modal material seperti inilah, kemudian hadir modal
intelektual. Di mana intelek, teknologi, rasionalitas berada memimpin di depan.
Hadirnya teknologi informasi dan teknik-teknik manajemen masuk dalam kategori ini.
Untuk alasan inilah hadir organisasi yang berbasiskan intelektualitas di mana-mana.
On line organization, mobile corporation, e-banking, m-insurance belum lagi
termasuk flat organization, knowledge based corporation semuanya termasuk bagian
dari menyongsong modal intelektual.

Fundamental dalam modal intelektual ini, semuanya dihubungkan melalui jejaring
yang bernama intelektualitas. Lebih pintar, lebih cerdas, lebih cepat, lebih cermat
dan kata lebih lainnya adalah standar dan ukuran-ukuran keberhasilan. Di sini juga
muncul kata benchmarking, di mana kemajuan orang lain menjadi ukuran kita dalam
berlari. Competition juga muncul dan berkembang pesat dalam hal ini. Apapun dan
bagaimanapun caranya, kemenangan dalam persaingan mutlak didapatkan.
Untuk alasan itulah maka teknologi, pengetahuan, cara dan teknologi mengelola
diburu dan dikejar kemana-mana. Ada yang rela membelinya dengan harga yang
amat mahal. Bisnis konsultan berkembang seperti jamur di musim hujan dalam hal
ini. Demikian juga dengan usaha memata-matai lawan. Ia tidak lagi dilakukan secara
malu-malu.

Demikian dahsyatnya peran modal intelektual, banyak pemilik modal material yang
mencium bau kemajuan ini. Maka bergabunglah dua modal ini sebagai mesin
kemajuan. Hasilnya memang dahsyat. Lompatan-lompatan memang terjadi di mana-mana.
Tidak hanya lompatan prestasi perusahaan, lompatan prestasi bangsa juga
terjadi. Ingat, sebelum krisis, Asia disebut sebagai kawasan dengan lompatan
prestasi yang mengagumkan. Di kawasan ini juga muncul pengusaha-pengusaha
dadakan yang muncul mengagetkan. Jumlah kekayaan bank, tiba-tiba
menggelembung demikian cepatnya tidak bisa diketahui dari mana sumbernya.
Pengusaha-pengusaha baru tiba-tiba secara mengagetkan muncul ke permukaan.
Dan sebagaimana telah dicatat rapi oleh sejarah, semua yang serba dadakan ini
kemudian runtuh tanpa sepenuhnya bisa dijelaskan. Setelah runtuh, bahkan
membukakan luka-luka lebar yang berbahaya. Dari sinilah, timbul pemikiran untuk
mencari another source of capital. Dan the heart capital, layak dipikirkan dalam hal
ini.

Agak berbeda dengan pemuja-pemuja modal material dan modal intelektual yang
menempatkan the heart capital sebagai rem kemajuan, sebenarnya modal alternatif
ini berwajah jauh lebih luas dari sekadar rem. Dalam kerangka sederhana, hati bisa
bermuara pada dua hal: kekuatan dan kebijaksanaan.

Pada tataran hati sebagai sumber kekuatan, hati menjadi sumber energi bagi
hadirnya strong will. Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Konosuke Matsushita adalah
sebagian contoh bagaimana hati menjadi sumber energi yang amat mengagumkan.
Mengacu pada pengalamannya Mahatma Gandhi, bahkan penjajah terkuatpun bisa
diusir oleh kekuatan yang datang dari dalam hati. Bercermin pada pengalaman
Konosuke Matsushita, sebuah toko elektronika bisa ditransformasikan menjadi
kekuatan multi nasional yang mengagumkan. Inilah yang kerap saya sebut dengan
light of will. Sebab kekuatan hati telah menjadi cahaya penerang bagi banyak upaya
penciptaan kemudian.

Pada tahap hati sebagai sumber kebijaksanaan, muncul light of sacred. Sinar-sinar
sakral yang suci. Pada tahapan tertentu, tidak tertutup kemungkinan melalui sinar-sinar
jenis ini manusia bisa bertemu the co-creator of life. Bila itu terjadi, doa tidak
lagi berarti rangkaian permintaan. Melainkan hanyalah konfirmasi dari apa yang
didoakan. Berbeda dengan tahapan sebelumnya, tahap ini ditandai oleh banyaknya
energi-energi keikhlasan di depan sang kehidupan. Bahkan, banyak sahabat jernih
mengungkapkan, kalau keikhlasan adalah ujungnya setiap pengetahuan manusia.

Sekilas dari penjelasan ini tampak muncul semacam paradoks. Sebab, di satu sisi
hati memproduksi strong will, di lain sisi ia menghasilkan enormous capacity of
acceptance. Dan memang demikianlah hakekat kehidupan. Orang Cina
menggambarkannya dengan Yin-Yang. Dan berbeda dengan banyak pengetahuan
yang menempatkannya dalam posisi saling berseberangan (baca: dualitas), bahkan
ada yang berani memberinya sebutan paradoks (salah satunya Naisbitt), sebenarnya
keduanya hadir sebagai dua hal yang saling berpelukan dan saling melengkapi.
Malam ada untuk membuat siang lebih indah. Orang jelek ada untuk membuat orang
cantik tampak lebih menawan. Kegagalan ada untuk meningkatkan cita rasa
kesuksesan kemudian. Demikian juga dengan keikhlasan, ia bukan lawannya strong
will, melainkan memberi energi-energi baru bagi strong will berikutnya.

Ada catatan berikutnya: the beauty of balance! Tidak hanya dalam mengelola hati,
dalam setiap aspek kehidupan manusia memerlukan keindahan keseimbangan. Dan
ini bukanlah ilmu eksak yang bisa direduksi ke dalam teknik dan rumus yang kaku.
Setiap keseimbangan bersifat dinamis, berubah sejalan dengan berputarnya sang
waktu.

Agak berbeda dengan modal material dan modal intelektual, atau kombinasi diantara
keduanya, di mana semuanya berjalan di atas mesin-mesin akal sehat, pengetahuan,
rasionalitas, dst. Dalam the heart capital, akal sehat dan pengetahuan bukanlah
segala-galanya. Ia bisa dilampaui melalui dua hal sederhana: love and compassion.

Seorang sahabat pengusaha terkemuka pernah menyebut beda antara orang bodoh,
orang pintar, orang licik dan orang beruntung.
Orang bodoh dikalahkan sama orang pintar. Dan ini bisa dimaklumi. Orang pintar
kalah sama orang licik. Ini juga sudah dicatat dalam banyak sejarah. Dan satusatunya
orang yang tidak bisa dikalahkan orang licik, yakni orang yang senantiasa
beruntung. Bahasa logikanya memang ‘beruntung’ - yang mengandung makna
kebetulan dan tidak bisa diramalkan serta tidak dipersiapkan sebelumnya - tetapi
bagi siapa saja yang sudah mendalami samudera-samudera hati. Lebih-lebih ketika
manusia sudah berpelukan dengan cocreator of life, keberuntungan bukanlah
sebuah kebetulan. Ia hasil dari rangkaian penciptaan antara manusia bersama
cocreator-nya. Hanya karena belum pernah sampai di sanalah, sebagian orang
menyebutnya kebetulan.

Dalam cahaya-cahaya the heart capital seperti ini, terjadi pergeseran yang cukup
besar dalam sumber-sumber kekuasaan. Di mana kekuasaan yang dulunya lebih
bersumber dari luar (jabatan, uang, kepemilikan, dll) bergeser ke sumber-sumber
dalam diri. Dan hati (baik sebagai light of will maupun sebagai sacred light) adalah
sebuah wilayah di mana sumber kekuasaan tadi tersedia secara amat melimpah.

Sayangnya, banyak manusia dihalangi oleh awan tebal yang bernama pikiran.
Mungkin kedengaran terlalu idealis dan moralis, atau bahkan terlalu mengawang-awang
terutama bagi banyak sahabat yang belum pernah mencobanya. Dan sebutan
seperti itu boleh-boleh saja! Namun, begitu manusia bertemu co-creator of life, apa
lagi bisa bersatu dalam kekuatan yang sama, maka berlakulah puisi indahnya Rumi:
Bertahun-tahun aku mengetok pintuMu
Lamaa sekali tidak dibuka
Dan ketika dibuka
Baru aku sadar...
Kalau aku mengetuknya dari dalam
Gede Prama

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar