Menyusul
diluncurkannya kaset saya dengan judul ‘Memimpin Dengan Hati’,
ada
banyak
sekali undangan seminar, wawancara dan talk show dengan tema ini yang
datang
ke saya. Dari radio, televisi, media cetak sampai rapat-rapat di perusahaan
besar,
semuanya amat dan teramat tertarik dengan topik ini. Di kelompok usaha
Ciputra
–di mana saya kerap diundang– untuk pertama kali Bapak Ir. Ciputra
bersedia
mendengarkan penuturan saya sampai habis. Dan di akhir presentasi,
mengajak
saya bertutur bagaimana beliau sering kali diselamatkan oleh suara-suara
sang
hati. Demikian juga dengan ratusan audiens yang menghadiri seminar saya di Surabaya.
Mereka seperti terbius dengan ide-ide yang bersumber pada sang hati.
Mungkin
ada yang mengkernyitkan alisnya tanda tidak percaya, demikian juga saya
ketika
pertama kali menuliskan cerita tentang nyanyian-nyanyian sang hati. Ada
semacam
keraguan, adakah orang yang tertarik dengan topik-topik ini ? Namun di
luar
dugaan, ternyata ada banyak sekali orang yang dahaga mendengarkan suara-suara
hati.
Seperti mau bertutur ke kita, ada tidak sedikit orang yang mulai menyadari
batas-batas egoisme, individualisme, dan materialisme untuk kemudian kembali ke
hati.
Mungkin
ada yang bertanya, kenapa mesti hati? Izinkan saya mengajak Anda masuk
ke
dalam dunia wacana yang agak lain. Wacana kepemimpinan – sejauh ini – terlalu
banyak
diwarnai oleh ayunan bandul otokratik-demokratik. Seolah-olah tidak ada
dunia
di luar bandul tadi.
Mirip
dengan ayunan, kepemimpinan siapapun senantiasa berayun. Tergantung
pada
keadaan yang sedang dihadapi. Sudah menjadi tugas setiap ayunan kalau ia
harus
berayun. Hanya saja, kita sering lupa kalau ayunan manapun memerlukan
fondasi
yang kokoh. Sebab, tanpa fondasi terakhir, ayunan manapun akan roboh.
Dan
kembali ke soal kepemimpinan, tidak ada fondamen yang lebih kokoh dari
fondamen
yang bernama sang hati.
Lebih
dari sekadar kokoh, sejumlah pemimpin yang memimpin dengan hati, bahkan
bisa
berkuasa selamanya – sekali lagi selamanya. Sebutlah nama-nama seperti
Mahatma Gandhi dan George Washington.
Raganya sudah lama tidak lagi bersama
kita.
Tetapi ide dan tata nilai kepemimpinannya masih hidup sampai dengan
sekarang.
Bukan tidak mungkin malah akan hidup selamanya.
Terinspirasi
dari sinilah, kemudian saya mencoba menelusuri sebuah lorong yang
agak
lain: hati. Tidak langsung membuat
jadi kaya raya tentunya. Tidak juga
mendadak
sontak jadi hebat. Tetapi ada kesejukan, kedamaian, dan bisa jadi malah
pencerahan.
Untuk kemudian, berpelukan rapi dengan hidup dan kehidupan. Dan
dalam
pelukan-pelukan terakhir, ada yang mengandaikan kalau tubuh dan jiwa ini
mulai
bersayap. Terbang dan pergilah dia ke tempat yang jauh. Dan kepemimpinan,
ia
bukanlah sebuah perkara yang terlalu sulit. Dalam banyak keadaan, ia mengalir
lentur
persis seperti aliran air di sungai.
Kerap
ada yang bertanya, adakah cara yang bisa membuat sang hati rajin bernyanyi?
Saya
tidak berpretensi bisa mengajari Anda dalam hal ini. Namun, rekan saya punya
sebuah
cerita tentang kereta yang ditarik lima kuda. Mirip dengan tubuh dan jiwa ini
yang
ditarik ke mana-mana oleh panca indera. Mulut mau makan enak. Mata mau
melihat
yang indah-indah. Demikian juga unsur-unsur panca indera yang lain. Dalam
tubuh
dan jiwa yang sepenuhnya ditarik oleh panca indera, jangankan
mendengarkan
suara-suara hati, tubuh dan jiwa lari ketakutan, menyeramkan dan
tanpa
tujuan.
Belajar
dari sini, siapa saja yang mau mendengarkan suara-suara hati, sudah
saatnya
belajar mengendalikan kelima kuda yang bernama panca indera. Saya
memulainya
dengan mengendalikan mulut, terserah Anda memulianya dari mana.
Pengendalian
terakhir penting, paling tidak untuk mulai mengendalikan keliaran
panca
indera, kemudian diikuti oleh hadirnya keheningan dan kekhusukan. Lebih dari
sekadar
menghadirkan keheningan dan kekhusukan, begitu panca indera
terkendalikan,
energi-energi yang terbuang percuma oleh panca indera bisa
dimanfaatkan
untuk kepentingan yang lebih berguna. Terutama untuk pergi
menelusuri
lorong-lorong sang hati.
Sekali
seseorang pernah sampai di lorong terakhir, dan mengetahui indah dan
nikmatnya
berada di sana, bukan tidak mungkin enggan kembali ke lorong-lorong
lain.
Ia tidak hanya indah dan menakjubkan. Melainkan juga penuh dengan pohon
dan
bunga-bunga inspirasi. Ide, imajinasi, fantasi bukanlah sesuatu yang sulit
ditemukan
di sana. Ia bertaburan di setiap pojokan ke mana mata menoleh. Seorang
sahabat
bahkan pernah bertutur, kalau kita bisa bertemu Tuhan di sana.
Coba
kita renungkan kembali, dari mana pemimpin-pemimpin kaliber seperti
Mahatma
Gandhi, George Washington, Ibu Theresa, Lady Diana, Dalai Lama,
Konosuke
Matsushita memperoleh inspirasi sehingga kehidupannya begitu bersinar
bagi
orang lain ? Bukankah ia memperolehnya dari perjalan di lorong-lorong sang
hati
? Bukankah orang-orang ini bisa disebut berkuasa selamanya?
Kalau
kekuasaan saja bisa mereka genggam selamanya, apa lagi hal-hal kecil
lainnya.
Untuk itulah, saya masih terus rajin mengajak diri untuk sesering mungkin
masuk
lorong-lorong sang hati. Belum sempurna tentunya. Tetapi cukup memberikan
inspirasi
bagi sebuah hidup yang penuh keheningan. Anda tertarik?
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar