Kolam
kebencian tidak bertepi, mungkin itu sebutan yang cocok untuk tahun 2001.
Ada
kebencian terhadap Amerika karena menyerang Afghanistan, ada kebencian
terhadap
Osama karena dituduh menghancurkan gedung WTC New York, ada
kebencian
terhadap pemerintah karena tidak menunjukkan kinerja yang meyakinkan,
ada
kebencian terhadap DPR karena tidak habis-habisnya dilanda skandal, ada
kebencian
terhadap suku atau agama lain karena terlibat perang dan kerusuhan, ada
kebencian
terhadap pengusaha besar karena dicurigai mencuri uang negara, ada
kebencian
terhadap oknum aparat yang tidak berhenti-berhenti korupsi, dan masih
banyak
lagi daftar kebencian lainnya.
Apa
yang bisa diproduksi oleh kebencian? Kita bisa lihat sendiri disamping
pengangguran
yang berjumlah puluhan juta orang, juga secara amat meyakinkan
kita
sedang memproduksi masa depan yang amat menakutkan. Tidak hanya
pernikahan
yang beranak pinak, kebencian bahkan bisa menghasilkan anak, cucu,
cicit
dengan wajah-wajah yang lebih menakutkan. Lihatlah sejarah, di sana sudah
tertulis
banyak sekali catatan tentang kebencian yang beranak pinak, dan kemudian
menghasilkan
kehidupan yang mengerikan.
Mirip
dengan sebuah cerita Zen tentang dua orang pendeta yang mau berenang
menyeberangi
sungai. Tiba-tiba ada wanita cantik yang berteriak di belakang
meminta
digendong. Dan pendeta lebih tuapun menyanggupinya. Dua jam setelah
kejadian
itu berlalu, pendeta yang lebih muda bertanya: ‘kenapa abang sebagai
pendeta
mau menggendong wanita cantik tadi?’. Dengan sedikit kesal pendeta tua
berucap:
‘saya sudah menurunkan tubuh wanita tadi dua jam yang lalu, namun kamu
menggendongnya
sampai dengan sekarang’.
Demikianlah
cara kerja kebencian. Oleh karena sebuah atau beberapa kejadian yang
sudah
lewat di masa lalu – sebagian bahkan sudah lewat ratusan tahun yang lalu –
sebagian
orang menggendong kebencian bahkan sampai ketika dipanggil sang
kematian.
Sehingga praktis seumur hidup orang-orang seperti itu isi waktunya hanya
kebencian,
kebencian dan hanya kebencian. Anda pasti sudah tahu sendiri akibat
yang
ditimbulkan oleh semua itu. Jangankan doa dan perjalanan menuju Tuhan,
tubuh
dan jiwanya sendiri pasti dikunjungi berbagai macam penyakit.
Dalam
keadaan begini, tidak ada pilihan lain terkecuali belajar dan mendidik diri
untuk
melupakan kebencian serta mulai memaafkan orang lain. Ya sekali lagi
memaafkan
orang lain. Inilah sebuah kegiatan yang amat sulit di zaman ini. Berat,
sulit,
tidak mungkin, tidak bisa itulah rangkaian stempel yang diberikan kepada
seluruh
upaya untuk memaafkan orang lain. Saya bahkan menemukan orang-orang
dengan
beban tidak bisa memaafkan dalam jumlah yang tidak terhitung.
Sehingga
ini semua menyisakan pekerjaan rumah yang besar bagi saya (dan
mungkin
juga Anda), terutama bagaimana berjalan dalam hidup dengan sesedikit
mungkin
beban kebencian. Di titik ini, mungkin ada manfaatnya mengutip apa yang
pernah
ditulis Rabindranath Tagore dalam The Heart of God: ‘when
the far and the near
will kiss each other, and life will be one in love’. Bila yang
jauh berciuman dengan yang dekat,
maka
kehidupan menyatu dalam cinta. Mungkin kedengarannya puitis sekaligus
mengundang
alis berkerut.
Yang
jauh, setidaknya menurut saya, adalah kejadian-kejadian di masa lalu
sekaligus
harapan-harapan kita akan masa depan. Yang dekat adalah kehidupan
kita
yang riil dan nyata di hari ini. Dan keduanya tidak mungkin disatukan oleh
kebencian.
Ia jauh lebih mungkin dijembatani oleh kesediaan untuk memaafkan. Dan
dari
sinilah lahir bibit-bibit unggul cinta buat sang kehidupan.
Dan
bibit-bibit unggul cinta ini, mungkin saja bisa menyembuhkan orang yang
dimaafkan.
Tetapi yang jelas, kegiatan memaafkan pasti menyembuhkan siapa saja
yang
mau dan rela memaafkan. Seperti baru saja meletakkan beban berat yang
lama
tergendong di bahu, demikianlah rasanya ketika kita rela memaafkan orang lain.
Keyakinan
ini bukannya tanpa bukti, Bernie Siegel dalam karya best seller-nya yang
berjudul
Love, Medicine and Miracles mengajukan sebuah bukti meyakinkan.
Sebagaimana
ia tulis secara amat percaya diri di halaman 202 bukunya, Siegel telah
mengkoleksi
57 kasus keajaiban kanker. Di mana ke lima puluh tujuh orang ini sudah
positif
terkena kanker, dan begitu mereka menghentikan secara total dan radikal
kebencian,
depresinya menurun drastis, dan yang paling penting tumornya mulai
menyusut.
Sebagai kesimpulan, Siegel menulis: ‘when you give love, you
receive it at the
same time. And letting go of the past and forgiving
everyone and everything sure helps you not to be
afraid’. Ketika Anda memberi maaf, Anda juga
menerimanya pada saat yang sama.
Dan
kesediaan untuk melepas masa lalu dengan cara memaafkan, secara
meyakinkan
membantu Anda keluar dari kekhawatiran.
Dan
mohon dicatat kalau kesimpulan ini datang dari Berni Siegel yang nota bene
salah
seorang ahli bedah di Amerika sana. Kembali ke cerita awal tentang lautan
kebencian
yang tidak bertepi, bila kita sepakat agar republik ini secepat mungkin
mengalami
penyembuhan, bisa jadi saran Siegel ini layak direnungkan kembali.
Saya
dan Anda mungkin bukan penentu di republik ini, tetapi kita bisa memulainya
dengan
kehidupan kita masing-masing. Entah itu memaafkan isteri, suami, musuh,
diri
sendiri, atau siapa saja. Seperti telah diingatkan Rabindranath Tagore,
bukankah
itu
bisa membuat sang kehidupan menyatu dalam cinta?
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar