'Mengejutkan',
demikian status yang diberikan tajuk rencana Kompas tanggal 1
Agustus
1997 atas penjualan saham bank Niaga yang menjadi pembicaraan banyak
kalangan
itu. Demikian ramainya orang yang membicarakan soal ini, seolah-olah
timbul
kesan bahwa ini telah menjadi isu nasional. Melebar jauh dari sekadar isu
tentang
sebuah keluarga pengusaha.
Sebagai
konsultan, saya sependapat dengan mereka yang mengemukakan bahwa
penjualan
saham bank Niaga oleh keluarga Tahija, membawa nuansa persoalan
yang
lain dibandingkan penjualan saham perusahaan pada umumnya. Sebabnya,
selain
bank Niaga terkenal sebagai bank sehat dengan kinerja yang tidak jelek,
keluarga
Tahija adalah salah satu diantara sangat sedikit pengusaha warisan orde
lama
yang masih berkibar sampai sekarang.
Dari
segi manajemen, kejadian ini membawa preseden yang tidak terlalu
menggembirakan.
Mungkin terlalu berlebihan menyebut kasus ini sebagai cermin
lemahnya
manajemen pengusaha melayu. Namun, bila kasus ini diakumulasikan
dengan
kasus sejenis seperti pengusaha banteng yang bayangannya saja sudah tak
kelihatan,
teramat langkanya perusahaan melayu yang sampai di generasi kedua ,
masih
banyaknya jumlah perusahaan yang sedikit-sedikit minta bantuan pemerintah,
tidak
bisa dihindari kalau ada sejumlah pihak yang meragukan kompetensi
manajemen
kaum melayu.
Karena
keterbatasan data dan informasi, saya tidak berani membenarkan sekaligus
menyalahkan
sinyalemen tentang lemahnya manajemen kaum melayu tadi. Namun,
pengalaman
saya berinteraksi secara dekat dengan sejumlah perusahaan keluarga
menunjukkan
bahwa tidak sedikit pengusaha yang berhasil di bisnis, namun tidak
terlalu
berhasil di keluarga. Ini membawa konsekwensi yang tidak kecil terhadap
kelangsungan
hidup perusahaan kemudian. Begitu memasuki generasi kedua,
perusahaan
terlalu sibuk dengan konflik-konflik internal di puncak. Bahkan, ada yang
sengaja
memperlakukan perusahaan yang ditinggalkan generasi pertama sebagai
sapi
perah. Masih untung kalau sapi tadi diberi makan. Ada yang memerah sapi
tanpa
memberi makan sedikitpun. Sebagai hasilnya, kalau kita kelangkaan
perusahaan
yang bisa sampai ke generasi kedua dan seterusnya, saya tidak terlalu
heran.
Disamping
itu, lokasi kita secara geografis yang terletak di pusat lalu lintas
perdagangan
dunia, membuat sejarah bisnis republik ini banyak sekali berinteraksi
dengan
para pedagang. Akibatnya, mind set yang terbentuk sejauh ini sangat
dominan
diwarnai oleh mental pedagang. Hanya berani mengambil keputusan, bila
untungnya
sudah kelihatan di pelupuk mata. Investasi, apa lagi di sektor yang tak
jelas
seperti sumber daya manusia, adalah sebuah kata yang terlalu muluk bagi
kaum
pedagang.
Konflik
internal - yang menempatkan perusahaan sebagai sapi perah - dan mental
pedagang
tadi kemudian berinteraksi dengan lingkungan bisnis yang hanya memberi
reward
pada mereka yang adaptif dan inovatif. Sebagaimana kita pelajari dari
industri
komputer, tiada hari tanpa penemuan baru di sektor hard ware dan soft ware.
Ini
terjadi bukan karena pemain-pemain di sektor ini sombong-sombongan, namun
karena
konsumen melalui mekanisme pasar, hanya memberi ruang hidup pada
mereka
yang bisa melakukan inovasi.
Oleh
karena tidak ada pasar yang mau berbelas kasihan terhadap mereka yang tidak
inovatif,
maka dibiarkan saja tukang perah sapi yang bermental pedagang tadi
bergelimpangan
tanpa diselamatkan oleh siapapun. Ini yang bisa menjelaskan
kenapa
kita kelangkaan perusahaan yang langgeng sampai generasi kedua dan
seterusnya.
Kenapa bayang-bayang pengusaha banteng mulai tak kelihatan. Kenapa
bank-bank
pemerintah ditinggalkan bank-bank swasta. Kenapa di sektor-sektor
pembentuk
masa depan seperti teknologi informasi kita hanya menjadi kacung dari
kekuatan-kekuatan
asing. Kenapa kita merasa kecolongan setelah tahu hanya
menjadi
tukang jahit.
Bagi
saya, ada perbedaan mendasar antara pengusaha dengan pedagang cendol di
pinggir
jalan. Pedagang cendol, sebagaimana kita tahu, membeli bahan hari ini,
dimasak
hari ini, memperoleh untung hari ini, dan dimakan hari ini. Hidup dalam
pengertian
mereka hanya sepanjang matahari hari ini. Bila pedagang cendol memiliki
pola
bisnis seperti itu, dan kemudian mudah lenyap ditiup angin persaingan, daya
radiasinya
hanya sebatas keluarga mereka dan segelintir konsumen yang merasa
kehilangan
sebentar, dan kemudian lupa oleh luasnya alternatif belanja di pasar
modern.
Akan
tetapi, bila pengusaha-pengusaha yang menjadi pilar-pilar perekonomian
bermental
seperti itu, saya khawatir kita sebagai bangsa sedang berada di ambang
kebangkrutan.
Lebih-lebih
bila hal terakhir ini dikaitkan dengan tuntutan-tuntutan ke depan. Kita
dituntut
lebih dari sekadar inovatif. Kemajuan dunia bisnis mempersyaratkan
pimpinan-pimpinan
puncak yang bisa membuat arsitektur sosial, yang
memungkinkan
kekayaan intelektual yang paling bernilai dalam bentuk kreativitas
manusia,
dihargai dan terkelola secara baik. Dan, hal terakhir ini memerlukan
pengusaha-pengusaha
yang hidupnya tidak sependek pedagang cendol di pinggir
jalan.
Namun,
suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, kita masih kelangkaan mahluk
yang
bernama pengusaha. Lihat saja, setiap kali ada masalah di banyak industri, hal
pertama
yang dilakukan adalah meminta perlindungan pemerintah. Respon pertama
dari
pasar perbankan yang membengkak akibat pakto adalah pembajakan manajer
di
mana-mana. Tidak sedikit pengusaha yang mengeluarkan biaya promosi ratusan
juta
perharinya, sangat pelit diajak melatih karyawannya.
Coba
bandingkan antara biaya promosi yang berakibat langsung terhadap penjualan
dengan
investasi di sektor pengembangan dan sumber daya manusia. Bila hasilnya
sangat
timpang, saya khawatir kita bukannya komuniti pengusaha yang bisa
diandalkan
sebagai pilar-pilar perekonomian. Melainkan, sebuah masyarakat
pedagang
cendol, yang lebih dari cukup untuk digunakan modal guna membuat
bangsa
ini bangkrut suatu saat kelak.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar