Kesibukan
kerja yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membuat saya
memiliki
jadwal terbang yang cukup padat. Hampir setiap minggu saya terbang.
Beberapa
pramugara dan pramugari Garuda bahkan mengenali saya karena terlalu
sering
bertemu di pesawat. Bahkan, ada yang bercanda dan mengatakan kalau saya
ini
laki-laki panggilan. Dan tentu saja mereka benar, karena saya teramat sering
dipanggil
orang untuk urusan jadi pembicara publik dan konsultan. Namun, terlepas
dari
godaan dan canda terakhir, ada sebuah kegiatan yang kerap saya lakukan kalau
sedang
terbang: melihat dan mengamati awan.
Kadang
ada hamparan awan yang serupa dengan salju yang putih bersih dan
terhampar
luas. Ada juga awan yang tipis dan terbang ringan ditiup angin. Ada juga
awan
tebal dan hitam yang kerap membuat pesawat bergoyang-goyang keras.
Namun,
apapun warna dan jenis awannya, awan memiliki kemewahan luar biasa
yang
tidak dimiliki kita manusia: kebebasan dan keikhlasan.
Ingin
rasanya memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan sebagaimana awan. Dan
semakin
dicermati serta dipelajari, apa lagi diselami dalam samudera-samudera
kalbu
yang maha luas, rupanya kita manusia juga bisa memiliki kualitas-kualitas
terakhir.
Ada yang menyebutnya sulit tentunya. Ada juga yang mengatakan tidak
mungkin.
Apapun halangannya, izinkan saya bertutur ke Anda, halangan-halangan
manusia
yang menggembok kita untuk memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan
seperti
awan.
Sebagaimana
dituturkan dan diyakini banyak penulis, akar dari semua
ketidakbebasan
dan ketidakikhlasan manusia adalah mind. Oleh karena berbagai
sebab
dan faktor, mind manusia telah berkembang menjadi kekuatan-kekuatan
pengikat
yang demikian memasung. Ia yang tadinya lahir secara alami, jernih, teduh
dan
terang, oleh pengalaman dan pendidikan sudah dirubah menjadi kekuatan-kekuatan
yang
sebaliknya. Depresi, stress, penderitaan, pandangan yang tidak jernih
dan
apapun namanya semuanya bermula dari rantai pengikat terakhir. Bedanya
dengan
rantai sebenarnya yang bisa dimintakan tolong orang lain untuk
membukanya,
rantai mind diciptakan dan mesti dibuka oleh pemiliknya sendiri.
Memang,
ada banyak sebab yang tersembunyi di balik hidup yang dirantai mind.
Salah
satu yang layak untuk diperhatikan adalah pendidikan dan pengalaman. Oleh
dua
faktor terakhir, banyak manusia yang sudah kehilangan sifat alami mind-nya.
Pendidikan
yang pada awalnya diniatkan berfungsi sebagai jendela-jendela
kejernihan,
malah berkembang sebaliknya. Melalui logika-logikanya yang keras
(baca:
benar-salah), ia telah membawa banyak peserta didik terasing dari
kealamiannya
sendiri. Pengalaman juga serupa, ia memang bisa menjadi guru
terbaik,
namun tidak jarang terjadi, ia juga menghadirkan peta-peta dari masa lalu
yang
kerap membuat orang jadi terasing dari kesehariannya.
Sebagaimana
diyakini banyak orang dalam tradisi Zen, perjalanan hidup sering
diibaratkan
dengan perjalanan dari satu tempat, dan berakhir di tempat yang sama.
Dan
ketika kembali, manusia seperti melihat tempat tadi untuk pertama kalinya. Ini
berarti,
setinggi apapun pengetahuan, sebanyak apapun pengalaman orang, layak
dipertimbangkan
untuk kembali ke tempat di mana kita memulainya dulu. Dan
siapapun
manusianya, semua memulainya di tempat yang alami.
Coba
perhatikan suara bayi yang baru lahir. Entah itu di Inggris maupun Prancis, di
Australia
atau di Amerika, semuanya memiliki suara tangisan yang amat serupa.
Demikian
juga dengan anak-anak yang memulai dunia sekolah, semuanya mulai
dengan
belajar huruf dan angka. Setiap anak-anak memulai kehidupan
intelektualnya
dengan serangkaian pertanyaan – bukan jawaban. Hal yang tidak jauh
berbeda
juga terjadi dalam mind manusia, ia mulai dengan sebuah kealamian.
Sayangnya,
kealamian yang menjadi awal sekaligus akhir ini, oleh upaya sengaja
maupun
tidak sengaja, sudah mulai terkikis secara meyakinkan dalam kehidupan
banyak
orang.
Di
kota-kota besar di mana kepintaran, kecerdikan dan keahlian dipuja-puja sebagai
mesin
uang yang meyakinkan, kealamian bahkan
diberi stempel menyedihkan: lugu
dan bodoh. Maka bisa dimaklumi, kalau kota
besar disamping memproduksi banyak
uang,
ia juga memproduksi keterikatan-keterikatan yang membuat manusia terasing.
Coba
lihat anak-anak yang terkena narkoba, angka perceraian yang meningkat tajam,
perampokan
yang mengerikan, atau penyakit korupsi yang tidak sembuh-sembuh.
Bukankah
terjadi kebanyakan di kota-kota di mana kealamian diidentikkan dengan
keluguan
dan kebodohan?
Mungkin
saja saya bias, atau mungkin saja Anda menyebut saya lugu dan bodoh,
namun
kealamian di manapun adalah sahabat kejernihan, kejujuran dan bahkan
kebijakan.
Dan berbeda dengan pendidikan serta pengalaman, yang mengenal
wacana
sebagai kendaraan kemajuan. Kealamian malah berjalan sebaliknya, ia
sering
kali tersembunyi rapi dalam silence. Makanya, saya masih ingat sekali apa
yang
pernah dituturkan seorang sahabat dengan kehidupan meditatif yang
mengagumkan:
naturalness is found in silence.
Belajar
dari sini, ada baiknya kalau kita kembali merenungkan sifat-sifat alami mind
kita.
Tidak untuk dinilai, apa lagi untuk dihakimi. Sebagaimana awan, kita hanya
memerlukan
satu kegiatan: diam. Apa lagi diam yang dibimbing oleh keikhlasan,
bukan
tidak mungkin kejernihan menjadi sahabat karibnya sang hidup.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar