16 Jul 2014

Kealamian Ditemukan Dalam Diam



Kesibukan kerja yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membuat saya
memiliki jadwal terbang yang cukup padat. Hampir setiap minggu saya terbang.
Beberapa pramugara dan pramugari Garuda bahkan mengenali saya karena terlalu
sering bertemu di pesawat. Bahkan, ada yang bercanda dan mengatakan kalau saya
ini laki-laki panggilan. Dan tentu saja mereka benar, karena saya teramat sering
dipanggil orang untuk urusan jadi pembicara publik dan konsultan. Namun, terlepas
dari godaan dan canda terakhir, ada sebuah kegiatan yang kerap saya lakukan kalau
sedang terbang: melihat dan mengamati awan.


Kadang ada hamparan awan yang serupa dengan salju yang putih bersih dan
terhampar luas. Ada juga awan yang tipis dan terbang ringan ditiup angin. Ada juga
awan tebal dan hitam yang kerap membuat pesawat bergoyang-goyang keras.
Namun, apapun warna dan jenis awannya, awan memiliki kemewahan luar biasa
yang tidak dimiliki kita manusia: kebebasan dan keikhlasan.

Ingin rasanya memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan sebagaimana awan. Dan
semakin dicermati serta dipelajari, apa lagi diselami dalam samudera-samudera
kalbu yang maha luas, rupanya kita manusia juga bisa memiliki kualitas-kualitas
terakhir. Ada yang menyebutnya sulit tentunya. Ada juga yang mengatakan tidak
mungkin. Apapun halangannya, izinkan saya bertutur ke Anda, halangan-halangan
manusia yang menggembok kita untuk memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan
seperti awan.

Sebagaimana dituturkan dan diyakini banyak penulis, akar dari semua
ketidakbebasan dan ketidakikhlasan manusia adalah mind. Oleh karena berbagai
sebab dan faktor, mind manusia telah berkembang menjadi kekuatan-kekuatan
pengikat yang demikian memasung. Ia yang tadinya lahir secara alami, jernih, teduh
dan terang, oleh pengalaman dan pendidikan sudah dirubah menjadi kekuatan-kekuatan
yang sebaliknya. Depresi, stress, penderitaan, pandangan yang tidak jernih
dan apapun namanya semuanya bermula dari rantai pengikat terakhir. Bedanya
dengan rantai sebenarnya yang bisa dimintakan tolong orang lain untuk
membukanya, rantai mind diciptakan dan mesti dibuka oleh pemiliknya sendiri.

Memang, ada banyak sebab yang tersembunyi di balik hidup yang dirantai mind.
Salah satu yang layak untuk diperhatikan adalah pendidikan dan pengalaman. Oleh
dua faktor terakhir, banyak manusia yang sudah kehilangan sifat alami mind-nya.
Pendidikan yang pada awalnya diniatkan berfungsi sebagai jendela-jendela
kejernihan, malah berkembang sebaliknya. Melalui logika-logikanya yang keras
(baca: benar-salah), ia telah membawa banyak peserta didik terasing dari
kealamiannya sendiri. Pengalaman juga serupa, ia memang bisa menjadi guru
terbaik, namun tidak jarang terjadi, ia juga menghadirkan peta-peta dari masa lalu
yang kerap membuat orang jadi terasing dari kesehariannya.

Sebagaimana diyakini banyak orang dalam tradisi Zen, perjalanan hidup sering
diibaratkan dengan perjalanan dari satu tempat, dan berakhir di tempat yang sama.
Dan ketika kembali, manusia seperti melihat tempat tadi untuk pertama kalinya. Ini
berarti, setinggi apapun pengetahuan, sebanyak apapun pengalaman orang, layak
dipertimbangkan untuk kembali ke tempat di mana kita memulainya dulu. Dan
siapapun manusianya, semua memulainya di tempat yang alami.

Coba perhatikan suara bayi yang baru lahir. Entah itu di Inggris maupun Prancis, di
Australia atau di Amerika, semuanya memiliki suara tangisan yang amat serupa.
Demikian juga dengan anak-anak yang memulai dunia sekolah, semuanya mulai
dengan belajar huruf dan angka. Setiap anak-anak memulai kehidupan
intelektualnya dengan serangkaian pertanyaan – bukan jawaban. Hal yang tidak jauh
berbeda juga terjadi dalam mind manusia, ia mulai dengan sebuah kealamian.
Sayangnya, kealamian yang menjadi awal sekaligus akhir ini, oleh upaya sengaja
maupun tidak sengaja, sudah mulai terkikis secara meyakinkan dalam kehidupan
banyak orang.

Di kota-kota besar di mana kepintaran, kecerdikan dan keahlian dipuja-puja sebagai
mesin uang yang meyakinkan, kealamian bahkan diberi stempel menyedihkan: lugu
dan bodoh. Maka bisa dimaklumi, kalau kota besar disamping memproduksi banyak
uang, ia juga memproduksi keterikatan-keterikatan yang membuat manusia terasing.
Coba lihat anak-anak yang terkena narkoba, angka perceraian yang meningkat tajam,
perampokan yang mengerikan, atau penyakit korupsi yang tidak sembuh-sembuh.
Bukankah terjadi kebanyakan di kota-kota di mana kealamian diidentikkan dengan
keluguan dan kebodohan?

Mungkin saja saya bias, atau mungkin saja Anda menyebut saya lugu dan bodoh,
namun kealamian di manapun adalah sahabat kejernihan, kejujuran dan bahkan
kebijakan. Dan berbeda dengan pendidikan serta pengalaman, yang mengenal
wacana sebagai kendaraan kemajuan. Kealamian malah berjalan sebaliknya, ia
sering kali tersembunyi rapi dalam silence. Makanya, saya masih ingat sekali apa
yang pernah dituturkan seorang sahabat dengan kehidupan meditatif yang
mengagumkan: naturalness is found in silence.

Belajar dari sini, ada baiknya kalau kita kembali merenungkan sifat-sifat alami mind
kita. Tidak untuk dinilai, apa lagi untuk dihakimi. Sebagaimana awan, kita hanya
memerlukan satu kegiatan: diam. Apa lagi diam yang dibimbing oleh keikhlasan,
bukan tidak mungkin kejernihan menjadi sahabat karibnya sang hidup.
Gede Prama

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar