Evy
Rachmawati
IRONI terus terjadi di negeri ini. Kelimpahan beragam sumber daya energi tidak dikelola
dengan baik untuk memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri. Yang terjadi ketergantungan
terhadap minyak
bumi yang mahal justru
makin tinggi.
Sejauh
ini akses
terhadap energi di beberapa
tempat masih rendah. Menurut
Direktorat Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber
Daya
Mineral, pada 2012
baru 75,8 persen dari total jumlah rumah tangga di Indonesia yang
berlistrik. Bahkan, PT Perusahaan
Listrik Negara
(Persero) mencatat rasio elektrifikasi di sejumlah provinsi di bawah 60 persen, antara lain
Nusa
Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat,
dan Papua.
Dalam 20 tahun terakhir, permintaan energi di Indonesia tumbuh pesat. Mengutip data
Kementerian ESDM, pada
1990 permintaan energi baru
248 juta setara barrel minyak (SBM) dan
pada 2000 konsumsi energi
telah
mencapai 739,5
juta
SBM. Penggunanya adalah industri (44,2 persen), transportasi (40,6 persen), dan rumah tangga
(11,4 persen). Hal ini seiring
pesatnya laju pertambahan
jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Konsumsi bahan bakar minyak kian tinggi seiring pertumbuhan jumlah kendaraan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat, penjualan mobil di Indonesia pada Januari- September 2013 mencapai 908.279 unit atau lebih tinggi daripada
periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 816.317
unit. Menurut Asosiasi Industri
Sepeda Motor Indonesia,
penjualan sepeda motor di
Tanah
Air pada Januari-Agustus 2013 mencapai 5,1
juta
unit.
Ketergantungan pada minyak
Situasi ini membuat bangsa Indonesia lapar energi. Akibat
kenaikan
konsumsi BBM sementara produksi minyak mentah merosot,
volume impor minyak kian tinggi. Apalagi sejak 1994, tidak ada pembangunan kilang baru. Kapasitas kilang PT Pertamina (Persero)
1,05 juta
barrel per
hari
(bph), tetapi kemampuan produksinya hanya 700.000 bph. Adapun kebutuhan
BBM nasional mencapai
1,4 juta bph.
Satuan
Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha
Hulu Migas mencatat, produksi
minyak triwulan III-2013
hanya 829.000
bph, terendah dalam sejarah
produksi minyak. Indonesia pernah mengalami puncak produksi 1,6 juta
bph pada 1977 dan 1995. Minimnya
kegiatan eksplorasi mengakibatkan cadangan minyak hanya 3,6 miliar barrel atau 0,2 persen dari total
cadangan
minyak
dunia dan diperkirakan habis
10-11 tahun lagi.
Impor minyak mentah dan produk BBM yang
terus
naik menyebabkan defisit perdagangan karena pemerintah mengguyur subsidi BBM. Menghadapi Pemilu 2014, subsidi
kemungkinan tetap tinggi karena partai-partai politik akan berlomba-lomba
memikat rakyat.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013, pagu anggaran subsidi energi Rp 299,8 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp 199,9 triliun dan subsidi listrik Rp
99,9 triliun.
Menurut Dewan Energi Nasional (DEN), dalam bauran energi pada
2010,
porsi minyak 49 persen, gas bumi 22 persen, batubara 24 persen, dan energi baru
terbarukan 5 persen. Dalam skenario bauran energi nasional 2025 yang
disusun DEN, porsi minyak ditargetkan turun
menjadi 25 persen, gas 22 persen, batubara direncanakan naik menjadi 30 persen, dan energi baru
terbarukan
diharapkan
23 persen.
Namun, Bank Pembangunan Asia (ADB)
memprediksi, setelah tahun 2030 Indonesia akan makin
bergantung pada minyak bumi dan terus mengekspor batubara. Indonesia juga akan
jadi importir gas alam jika tidak ditemukan cadangan gas baru yang
signifikan. Menurut Lembaga
Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi, ketergantungan pada
minyak terjadi
akibat ketidakjelasan kebijakan pengendalian BBM
dan lambatnya konversi
BBM
ke gas.
Diversifikasi energi
Sebenarnya gas
merupakan
sumber energi yang bisa diandalkan, tetapi eksploitasinya perlu
teknologi dan biaya tinggi. Dengan cadangan
104,25 triliun kaki kubik atau
1,7 persen dari cadangan gas dunia, Indonesia
terus mengekspor gas karena terikat kontrak dan ketidaksiapan infrastruktur di dalam negeri. Contohnya, sejak 1970-an, gas alam
cair (LNG) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur, diekspor
ke Jepang, dan LNG dari Kilang Tangguh dijual murah
ke China karena ada batas
atas harga dalam
kontrak.
Sejauh
ini pemakaian gas sebagai sumber energi di dalam negeri
terbatas. Pengalihan pemakaian BBM ke gas untuk
transportasi lambat lantaran keterbatasan infrastruktur gas, baik jaringan pipa maupun stasiun pengisian bahan bakar gas. Pasar BBG juga
belum terbentuk akibat lemahnya koordinasi antar-kementerian dan dengan produsen
mobil dalam hal pemasangan alat
pengonversi
pada kendaraan.
Persoalan lain adalah dominasi asing
dalam pengelolaan wilayah kerja yang
tersebar dari Sabang
di barat sampai Papua di timur Nusantara membuat kedaulatan negeri ini atas sumber
daya migas dan tambang rawan. Dari semua blok migas, porsi operator nasional hanya 25
persen dan 75 persen dikuasai asing. Direktorat Jenderal Migas Kementerian
ESDM menargetkan porsi
operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025.
Sementara itu, batubara diperlakukan sebagai komoditas, bukan sumber energi sehingga Indonesia jadi salah satu eksportir
batubara terbesar dunia. Dari total produksi batubara nasional 2012 sebanyak 386 juta
ton, porsi domestik hanya
82 juta ton. Padahal, mengacu
kajian statistik British Petroleum, Indonesia hanya memiliki cadangan batubara terbukti
5,5 miliar ton atau 0,6 persen
dari cadangan
batubara dunia.
Menurut
Badan
Geologi Kementerian ESDM, cadangan batubara terbukti dan
potensial Indonesia
29 miliar
ton.
Selain
itu, potensi energi baru terbarukan belum tergarap dengan baik, misalnya panas bumi.
Dengan potensi
28.500 megawatt (MW),
kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga
panas bumi (PLTP) baru
1.340
MW. Beberapa
proyek PLTP macet karena
diprotes masyarakat
setempat dan banyak aturan yang harus ditaati, termasuk perizinan penggunaan kawasan
hutan dari Kementerian Kehutanan.
Di tengah tekanan defisit neraca perdagangan, potensi bahan bakar nabati mulai mendapat perhatian. Pemerintah telah mewajibkan pencampuran biodiesel 10 persen ke dalam solar dan serta
menargetkan kandungan biodiesel 20 persen pada 2025. Agar bisa
berkelanjutan
dan tidak mengulang kegagalan pengembangan bioetanol dari tanaman jarak, tata niaga biodiesel
dari hulu sampai hilir perlu dibenahi.
Setumpuk masalah
energi
ini jadi tantangan ke depan. Saatnya menyehatkan portofolio
energi
dari ketergantungan pada bahan bakar
bernilai tinggi, berfluktuasi harganya, dan mencemari
lingkungan seperti minyak dengan beralih ke gas dan energi lain yang murah, bersih, dan
ramah lingkungan, disertai efisiensi penggunaan energi. Ini perlu ketegasan dan konsistensi menjalankan kebijakan, tidak hanya bermimpi kemandirian energi di Tanah Air akan
mewujud.
Evy Rachmawati
Wartawan
Kompas
KOMPAS, 25 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar