Di
satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya
turis
ini ketika masih hidup, sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk
memilih
: surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan sudah
teramat
sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga
maupun
neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan
orang-orang
baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca kitab suci. Di
neraka
lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi
lagi
bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh
lebih
dipenuhi hiburan dibandingkan surga.
Yakin
dengan penglihatan matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk
tinggal
di neraka saja. Esok harinya, betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka.
Ada
orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya.
Maka
proteslah dia pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang
petugas
terakhir menjawab: 'kemaren kan hari terakhir pekan kampanye pemilu".
Dengan
jengkel turis tadi bergumam: 'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya,
Tuhannya
saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda
memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya
lelucon.
Namun cerita ini menunjukkan, betapa kepercayaan (trust) telah menjadi
komoditi
yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta ini. Dan
sebagaimana
kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu
mahal
dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.
Jangankan
dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan
tenaga
kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga saja, kalau kepercayaan tidak
ada,
maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan adu
mulut.
Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.
Di
perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang
demikian
berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh yang
mogok
dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa lagi krisis
perbankan
yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal :
trust
capital.
Bila
Anda rajin membaca berita-berita politik, kita dihadapkan pada siklus
ketidakpercayaan
yang lebih hebat lagi. Polan tidak percaya pada Bambang.
Bambang
membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan Polan. Inilah
Lingkaran
ketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.
Dalam
lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan
seperti
kasus hotel Shangrila di Jakarta
yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah
diproduksi
oleh manajemen dan tenaga kerja Shangrila
saja. Kita semua sedang
memproduksi
diri seperti itu.
Andaikan
di suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh
ternyata
di depan pintu ada sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya :
tetangga
depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja: bagaimanakah reaksi
Anda?
Saya sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan
jawabannyapun
amat beragam.
Yang
jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya
',
menempatkan tahi sapi tadi sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin
peperangan)
dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang melengkapi
diri
dengan pikiran-pikiran positif 'sabar, tenang dan melihat segala sesuatunya
dari
segi
baiknya' menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan
rumah.
Bedanya amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi sebagai kotoran
yang
menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk
tanaman
halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan
serupa dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif
dan
negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian
persoalan
manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa
lambat.
Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan
berkuasa
dalam pikiran kita.
Cerita
tentang tahi sapi ini terdengar mudah dan indah, namun perkara menjadi lain,
setelah
berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan
pikiran
sayapun tidak seratus persen dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul
di
luar kesadaran.
Ini
mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang mirip dengan sepeda motor
yang
stang-nya hanya berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti
laki-laki,
stang-nya
hanya akan melihat laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama
bekerja
di perusahaan yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat
wajah
pengusaha sebagai penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut
sebagai
pengkondisian yang mematikan.
Peperangan
melawan keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan yang paling
menentukan
dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana pengalaman Anda,
namun
pengalaman saya hidup bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya
untuk
merenung. Air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air
sungai.
Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut berani
merendah.
Demikian
juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke Tuhan, saya
telah
mencapai banyak sekali hal dalam kehidupan. Kalau uang dan jabatan
ukurannya,
saya memang bukan orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya,
Tuhan
tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua ini saya
peroleh,
lebih banyak karena keberanian untuk merendah.
Ada
yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak- injak orang.
Orang
yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan
kehidupan
saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah paham entah tidak tentang
pilosopi
hidup saya seperti ini. Seorang pengunjung web site saya mengutip Rabin
Dranath Tagore : 'kita
bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'. ***
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar