Setiap
orang pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan. Ada masa sulit
dalam
berumah tangga, kehidupan karir, kesehatan, atau kehidupan pribadi yang
diguncang
badai. Kebanyakan juga setuju kalau masa-masa sulit ini bukanlah
keadaan
yang diinginkan. Sebagian orang bahkan berdoa, agar sejarang mungkin
digoda
oleh keadaan-keadaan sulit. Sebagian lagi yang dihinggapi oleh kemewahan
hidup
ala anak-anak kecil, mau membuang jauh-jauh, atau lari sekencang-kencangnya
dari
godaan hidup sulit.
Akan
tetapi, sekencang apapun kita menjauh dari kesulitan, ia tetap akan menyentuh
badan
dan jiwa ini di waktu-waktu ketika ia harus datang berkunjung. Rumus besi
kehidupan
seperti ini, memang berlaku pada semua manusia, bahkan juga berlaku
untuk
seorang raja dan penguasa yang paling berkuasa sekalipun.
Sadar
akan hal inilah, saya sering mendidik diri untuk ikhlas ketika kesulitan datang
berkunjung.
Syukur-syukur bisa tersenyum memeluk kesulitan. Tidak dibuat sakit
dan
frustrasi saja saya sudah sangat bersyukur. Pelukan-pelukan kebijakan seperti
inilah
yang datang ketika sang hidup sempat membanting saya dari sebuah
ketinggian.
Sakit memang, tapi karena ia sudah saatnya datang berkunjung, dan kita
tidak
punya pilihan lain terkecuali membukakan pintu rumah kehidupan, maka
seterpaksa
apapun hanya keikhlasanlah satu-satunya modal berguna dalam hal ini.
Senyum
penerimaan terhadap kesulitan memang terasa kecut di bibir. Dan
sebagaimana
logam yang sedang dibuat menjadi patung indah, kesulitan memang
terasa
seperti semprotan panasnya api mesin las, dihajar oleh palu besar,
kencangnya
cubitan tang, menyakitkannya goresan-goresan amplas kasar, atau
malah
tidak enaknya bau cat yang menyelimuti selu! ruh badan patung logam.
Semua
tahu, kalau badan dan jiwa ini kemudian akan menjadi 'patung logam' yang
lebih
indah dari sebelumnya. Tetapi tetap saja ada sisa-sisa ketakutan - dan bahkan
mungkin
trauma - yang membuat kita manusia menghindar dari kesulitan.
Cuma
selebar apapun goresan luka yang dibuat oleh kesulitan, ada mahluk yang
amat
berguna dan amat dibutuhkan dalam pengalaman-pengalaman menyakitkan ini,
ia
bernama sahabat. Tidak semua sahabat fasih memberikan nasehat. Tetapi
dengan
kesediaannya untuk mendengar, sinaran mata yang berisi empati, kesediaan
untuk
menjaga rahasia, sahabat menjadi permata berlian yang amat berguna dalam
keadaan-keadaan
ini.
Di
rumah saya memiliki seorang sahabat yang amat mengagumkan. Dari segi
pendidikan
formal ia hanya tamatan SMU. Bahkan SMU tempat ia bersekolah dulu
sudah
bubar, sebagai tanda ia bukanlah berasal dari sekolah yang terlalu
membanggakan.
Namun nasehat serta keteladanan hidupnya kadang
mengagumkan.
Di
kantor saya memiliki sejumlah bawahan yang datang sama manisnya baik ketika
dipuji
maupun setelah dimaki. Seorang tetangga menelpon, mengirim SMS dan
bahkan
menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Tidak untuk memberikan ceramah,
hanya
untuk mendengar. Seorang sahabat dekat yang memimpin sebuah raksasa
teknologi
informasi bahkan mengatakan bangga menjadi sahabat saya.
Ketika
tulisan ini dibuat, seorang sahabat lama yang tinggal di Surabaya menelepon,
tanpa
bermaksud menggurui ia mengutip kata-kata indah Confucius 'Manusia salah
itu biasa, tetapi menarik pelajaran dari
kesalahan itu baru luar biasa'.
Apa
yang mau saya tuturkan dengan semua ini, rupanya sahabat adalah hadiah
paling
berharga yang bisa kita berikan pada diri kita sendiri. Secara lebih khusus
ketika
kita ditimpa kesulitan yang menggunung. Sehingga patut direnungkan, kalau
kita
perlu menabung perhatian, empati, cinta buat para sahabat. Tidak untuk
berdagang
dengan kehidupan. Dalam arti, memberi dengan harapan agar diberi
kelak.
Melainkan, sebagaimana cerita dan pengalaman di atas, dalam dunia
persahabatan,
dalam memberi kita sebenarnya sudah diberi. Bahkan, setiap sahabat
yang
memberi perhatian dan empati pada sahabat lainnya, ketika itu juga mengalami
the joy of giving. Ketika itu juga seperti ada beban di
bahu yang berkurang jauh
beratnya.
Ada
memang orang yang memiliki banyak sekali teman. Kemana-mana namanya
dipanggil
orang. Cuman, sedikit diantara semua teman yang banyak ini kemudian
bisa
menjadi sahabat. Bercermin dari kenyataan inilah, maka saya lebih
memusatkan
diri untuk mencari dan membina sahabat.
Jumlahnya
memang tidak akan pernah banyak. Bahkan ia lebih sedikit dari jumlah
jari
tangan. Cuma sesedikit apapun jumlahnya, sahabat tetap sejenis hadiah terbaik
yang
bisa kita bisa berikan buat diri sendiri.
Mobil
mewah memang bisa membawa kita ke tempat jauh lengkap dengan
gengsinya.
Rumah mewah memang bisa meningkatkan kenyamanan tinggal
sekaligus
meningkatkan kelas. Ijazah lengkap dengan gelarnya yang mentereng juga
bisa
meningkatkan percaya diri. Akan tetapi, baik mobil mewah, rumah mewah
maupun
ijazah tidak bisa menghadirkan empati yang menyentuh hati
Di
sebuah Sabtu pagi, seorang sahabat yang membaca harian Kompas yang
memberitakan
bahwa saya mengundurkan diri dari jabatan presiden direktur di
sebuah
kelompok usaha amat besar di negeri ini, langsung menelepon saya dari
tempat
yang jauh. Ia berucap sederhana: 'saya
bangga jadi teman Anda'. Inilah
hadiah
terbaik yang bisa dihadiahkan ke diri sendiri. Ia tidak dibungkus kado, ia juga
tidak
hanya datang ketika hari raya atau ulang tahun. Ia justru lebih sering datang
ketika
kita amat membutuhkannya.
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar