5 Apr 2012

Hati yang Terkunci


“...Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan yang buta ialah hati yang terdapat di dada.” (QS al-Hajj:46).

Tatkala orang bersumpah di ruang publik dengan penuh percaya diri, sungguh siapa pun tak akan tahu persis apakah ia sedang jujur atau berdusta. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Orang lain sebatas menafsir dan menerka. Hak dan batil secara hakiki pasti berbeda, tetapi di tangan manusia keduanya sering kali menjadi sumir, gelap, dan serba rumit.


Para nabi diberi mukjizat untuk lebih meyakinkan kaumnya tentang kebenaran risalah Tuhan. Nabi Khidir harus melakukan tindakan aneh (khariq al-‘adat) untuk meyakinkan Musa as tentang hakikat sesuatu di balik yang tampak. Bahkan, Nabi Ibrahim dalam pencarian religiusnya sempat mengira matahari dan bulan sebagai kekuatan adikodrati sebelum sampai pada puncak kebenaran tauhid tentang Tuhan Yang Esa.

Namun, di tangan para penjahat dan pendusta berdasi, kebenaran itu menjadi kabur dan dimanipulasi. Mereka memiliki 1.001 akal bulus untuk menutupi kebenaran. Dari sumpah palsu hingga bermain teatrikal sebagai sosok suci dan baik hati di hadapan publik. Di panggung politik, bahkan orang seolah boleh berdusta dan bermuslihat buruk di bawah adagium “politik adalah seni segala kemungkinan”. Dan, para mafioso pun sering tampil sebagai sosok-sosok dermawan untuk menutupi dunia hitamnya.

Senaif itukah perilaku anak cucu Adam? Tentu saja tidak. Manusia itu multiwajah. Dari sosok yang baik, buruk, hingga kelabu. Tetapi, ketika kepalsuan sudah menjadi sistem dan budaya dominan maka banyak mutiara kebenaran, kebaikan, dan kepatutan menjadi mudah terkubur. Lalu, yang mekar ialah aneka serbasalah, buruk, dan seronok yang dibalut pesona indah. Di titik inilah betapa mahalnya harga sebuah kebenaran di negeri ini, bak mendulang butiran emas di lumpur pekat.

Salah jalan

Negeri ini menjadi gaduh dengan banyak kerumitan krusial karena setiap masalah dibiarkan meluas dan termanipulasi. Uang negara dijarah dan korupsi kelas kakap sulit diberantas sampai ke akar. Sebab, para pelakunya berjamaah dan berada di pusat-pusat kuasa, yang piawai saling melindungi dan menyandera. Pegawai negeri sipil kelas bawah saja sampai memiliki rekening puluhan miliar.

Publik pun menyoroti sekian banyak elite politik berubah menjadi hartawan dan bergaya hidup mewah. Hukum tak bisa dipercaya karena para aparatnya terlibat kepentingan dan mudah disogok. Akibatnya, banyak masalah menjadi serbaruwet terjebak lingkaran setan, yang menunjukkan betapa bobrok sistem dan perangai manusia di bumi tercinta ini. Mereka yang semestinya merawat negeri ini seperti pagar makan tanaman. Semua terjebak dalam lingkaran banyak kepentingan yang melibatkan transaksi-transaksi uang dan perkara-perkara haram. Mereka bukan berburu kebaikan untuk negeri, malah berlomba memperkaya diri, kroni, dan dinasti.

Inilah salah jalan para penggawa negeri yang ingin mengejar puncak hidup serbainderawi yang menggerus idealisme, yakni hidup melampaui batas kewajaran. Akibatnya, mereka harus terjerat korupsi dan menggerogoti kekayaan negeri. “ Alhakum at-takatsur, ”demikian sindiran Tuhan. Mereka berlomba-lomba mengejar hidup tanpa aturan dan tak akan pernah puas sampai ajal tiba sekalipun. Akibatnya, mereka menabrak batas-batas kebenaran, kebaikan, dan kepatutan.

Bukankah Tuhan telah mengajarkan manusia batas-batas dalam mengejar ambisi hidup. (QS al-An’am:32). Kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. Janganlah orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.

Dunia memang harus digeluti dan manusia bertakwa tidak boleh antidunia. Hidup jabariah dan uzlah sungguh tak dianjurkan. Tetapi, tidak berarti atas nama sikap qadariyah lantas hidup menjadi liar dan terpenjara dunia. Manusia bukan mengendalikan dunia, melainkan malah diperbudak dunia.

Buta hati

Generasi bangsa ini setelah 66 tahun merdeka tampaknya perlu belajar kembali dari nol tentang hakikat hidup berbangsa dengan nurani yang fitri. Lebih-lebih menjadi pemangku amanat negeri agar menjadi suri teladan dan tidak salah jalan. Orang pandai, ahli, dan cerdas otak semakin banyak jumlahnya. Tetapi, untuk menemukan sebongkah kebenaran saja sulitnya minta ampun. Kearifan, kebaikan, dan etika menjadi barang mahal. Apalagi, untuk menegakkan kebenaran yang sering terasa pahit.

Maka, betapa sedikit atau mungkin banyak tetapi tidak hadir di permukaan para pemangku negeri yang sadar idealisme dalam mengemban amanat. Mereka banyak yang perkasa dalam hal bicara, profesi, intelektualitas, dan kehebatan segala hal, tetapi buta atau rabun nurani. Lihat QS al-Hajj:46. Ayat ini berkisah tentang sikap orang-orang yang ingkar kepada Allah dan mendustakan risalah para nabi seperti umat Nabi Nuh, Luth, Musa, Saleh, dan Ibrahim yang bertindak zalim dan akhirnya diazab Tuhan hingga negerinya hancur.

Istafti qalbaka!” (minta pendapatlah pada hati nuranimu!) Demikian sabda Nabi seraya menasihati bahwa “Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati tenang, dan keburukan itu sesuatu yang mem buat jiwa gelisah dan hati bimbang.” (HR Ahmad dan al-Dari mi). Artinya, hati nurani itu selalu bersuara emas pada kebaikan, sebaliknya antidusta dan keburukan.
Hati tidak pernah menipu diri, apalagi menipu orang lain. Hati yang fitri, yang bersih dari anasir-anasir kepentingan materi, nafsu, dan godaan inderawi. Hati yang selalu membimbing kata sejalan tindakan, sumpah, dan kenyataan. Hati yang takut berdusta di hadapan siapapun karena yakin betul Tuhan Mahamengawasi. Hati yang tidak memproduksi kata-kata indah yang jauh panggang dari api. Itulah hati yang bersih, al-qalb al-salim.

Namun, mana bisa bertanya pada hati manakala setiap asupan dalam dirinya setiap hari adalah barang serbabatil. Akibatnya, suara hati makin lama kian lirih, sunyi, dan mati. Lalu, yang menguasai diri dan bersuara lantang ialah nafsu.

Imam Al-Ghazali bermutiara hikmah: “Tubuh itu laksana kerajaan. Tangan, kaki, dan segenap anggota tubuh laksana pe kerja ahli. Syahwat itu bagaikan pemungut pajak. Amarah ibarat polisi. Hati nurani adalah raja yang menguasai singgasana. Akal itu perdana menterinya. Syahwat senantiasa menarik segala sesuatu pada kepentingan dirinya. Sedangkan, amarah berwatak keras dan kasar, yang suka menghukum dan menghancurkan. Hati sang raja itu harus mengendalikan syahwat, amarah, juga mengendalikan akal. Hati harus menjaga keseimbangan semua kekuatan yang dimiliki manusia itu.” Sayangnya, tidak banyak anak cucu Adam yang tercerahkan hati nuraninya karena singgasana hidupnya telanjur dihegemoni oleh rezim nafsu serba duniawi. Itulah hati yang terkunci.
Oleh: Haedar Nashir

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar