31 Jan 2011

Si Miskin Harus Bekerja

Berita dampak kemiskinan yang dihadapi masyarakat memenuhi pemberitaan media massa pada awal tahun ini. Dimulai dari cerita keluarga yang keenam anaknya tewas setelah keracunan tiwul untuk mengganti nasi yang sudah tak terbeli sampai dengan pasutri yang nekat bunuh diri dan tega meninggalkan anak-anaknya karena tidak mampu menanggung biaya hidup.

Tidak terlalu salah apabila Kompas menyebutkan, pilihan orang miskin di Indonesia hanya tiga, yakni berutang, mengurangi makan, kemudian bunuh diri. Namun, benarkah kondisi masyarakat sudah sedemikian parah? Atau pemberitaan tersebut hanya sekadar dampak dari kebebasan pers sehingga kasus kecil pun dapat blow up sehingga terkesan sangat serius?
Masyarakat bingung karena cerita tersebut tidak sejalan dengan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa tahun 2010 pemerintahan SBY-Boediono berhasil mengurangi penduduk miskin sebanyak 1,5 juta dan menurunkan pengangguran terbuka sebanyak 8,32 juta orang.
Di satu sisi, sulit untuk tidak memercayai data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan dengan dukungan SDM terbaik dan dana APBN yang besar. Namun, tidak mudah juga untuk menerima klaim pemerintahan SBY-Boediono bahwa jumlah orang miskin berkurang.
Siapa si miskin
Siapa sebenarnya yang disebut sebagai si miskin? Selama ini untuk menghitung angka kemiskinan, BPS memotret dan menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk tahun 2010, apabila pengeluaran seseorang di bawah Rp 212.210 per bulan, dia dikategorikan miskin. Dengan batasan tersebut, jumlah orang miskin diklaim hanya 31 juta.
Banyak kalangan meragukan data tersebut karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ketidakpuasan tersebut wajar. Namun, harus dipahami bahwa jumlah orang miskin sebanyak 31 juta tersebut memang hanya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan angka kemiskinan hanya dengan menghitung rasio orang yang berada di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Artinya, angka kemiskinan memang tidak bercerita tentang banyaknya orang miskin yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan. Sudah sering saya sampaikan bahwa jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (raskin), tahun 2010 jumlahnya 70 juta orang. Apabila digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Sedangkan dengan data Bank Dunia jumlahnya mendekati 100 juta orang (42 persen penduduk), sangat jauh dari angka 31 juta orang!
Dengan penjelasan tadi semestinya pemerintah mengubah batasan orang miskin dengan memasukkan kelompok mendekati miskin ke dalam kelompok miskin. Apabila orang miskin menerima banyak program bantuan, tidak demikian halnya dengan yang terkategori mendekati miskin.
Sebagai gambaran, salah satu kelompok masyarakat yang terkategori mendekati miskin adalah buruh. Dengan asumsi pengeluaran per bulan sebesar satu juta rupiah, pengeluaran rata-rata anggota keluarga per bulan sebesar Rp 250.000 atau sedikit di atas garis kemiskinan. Namun, dengan pengeluaran mendekati garis kemiskinan, sebagian besar buruh tidak menikmati program pangan, rumah, dan pendidikan murah, bahkan tidak ada jaminan kesehatan.
Sangat wajar apabila jumlah orang miskin versi pemerintah tidak dapat dipercaya masyarakat karena jumlah orang yang bekerja (tidak menganggur) tetapi memiliki penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan dasar sangat banyak. Berdasarkan data BPS, sebesar 60 persen atau 50,15 juta buruh dan pekerja di Indonesia hanya memiliki penghasilan rata-rata 2.284 dollar AS per tahun. Dengan kata lain, dengan dua anak, pengeluaran per anggota keluarga per hari hanya sekitar Rp 15.000.
Hanya dengan bekerja
Menjawab tuntutan percepatan pengentasan rakyat dari kemiskinan, pemerintah sering beralasan bahwa masyarakat harus bersabar karena upaya mengatasi kemiskinan perlu waktu dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memang benar diperlukan waktu untuk memangkas kemiskinan secara signifikan. Akan tetapi, kecepatan dalam mengurangi jumlah orang miskin sangat bergantung kepada pilihan strategi dan kebijakan.
China, yang memulai pembangunan ekonomi pada akhir 1970-an, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dengan sangat drastis sehingga pada 2004 menjadi hanya 10 persen dari sekitar 64 persen pada tahun 1981. Bahkan, pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari hanya tinggal 7 persen. Bandingkan dengan di Indonesia yang pada tahun 2009 jumlahnya masih sebesar 59 persen.
Tidak hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu 30 tahun, China dengan penduduk tidak kurang dari 1,3 miliar orang, juga telah berhasil membawa 66 persen penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas. Sementara Indonesia yang memulai industrialisasi lebih dulu, hingga tahun 2009 hanya mampu memiliki 10,6 persen penduduk yang tergolong kelas menengah dan menengah atas.
Tentu banyak strategi dan kebijakan yang dilakukan China untuk mengurangi kemiskinan, bahkan menghapus kemiskinan. Namun, salah satu strategi China yang perlu digarisbawahi adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan, pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi.
Indonesia semestinya dapat menarik pelajaran dari pengalaman China. Apalagi lebih dari 65 persen orang miskinnya berada di desa dan hampir separuhnya hingga saat ini hanya memiliki tingkat pendidikan maksimal SD. Strategi pengurangan kemiskinan yang diintegrasikan dengan strategi penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan bahan pangan yang selama ini bergantung kepada impor akan menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan paling tepat bagi Indonesia.
Namun, belajar dari China, pemerintahan SBY-Boediono juga harus berani melakukan kebijakan terobosan, seperti reforma agraria yang sudah dijanjikan, bahkan sejak pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I, tetapi gagal diimplementasikan hingga saat ini. Demikian juga berani merancang kebijakan fiskal, perdagangan, moneter, dan lain-lain yang pro terhadap pembangunan pertanian yang melibatkan kelompok masyarakat miskin secara aktif.
Penciptaan lapangan yang masif di berbagai sektor ini sekaligus juga akan menyelesaikan masalah pengangguran di Indonesia. Meski pemerintahan SBY-Boediono mengklaim telah berhasil menurunkan angka pengangguran hingga saat ini mencapai 7,1 persen, data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun pemerintahan SBY, 41 persen lapangan pekerjaan yang tercipta adalah sektor jasa kemasyarakatan, seperti jasa reparasi dan kebersihan, bukan pada sektor industri pengolahan dan pertanian yang akan mendorong penciptaan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Kegagalan pemerintahan SBY-Boediono dalam menciptakan lapangan kerja produktif ini pula yang mengakibatkan jumlah pekerja tidak penuh terus meningkat dari 31,1 juta orang pada 2008 menjadi 33,3 juta orang pada 2010.
Tidak ada cara untuk menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kecuali dengan menciptakan lapangan kerja. Jangan pernah mengklaim ekonomi berkinerja baik apabila baru sekadar menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, bukan menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan.
Hendri Saparini Pengamat Ekonomi
Sumber: http://kompas.com

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar