8 Des 2010

Hakekat Hijrah

Dr. Achmad Satori Ismail

Hijrah Nabi ke Madinah merupakan peristiwa spektakuler dalam perjalanan dakwah Islamiyah. Ia dianggap sebagai titik tolak terjadinya reformasi besar dalam kehidupan umat manusia. Semenjak itu, masyarakat Islam Madinah eksis sebagai pembawa panji petunjuk dan penebar kebangkitan kehidupan ke seantero dunia.

Demikian besar nilai yang terkandung dalam hijrah sehingga Umar r.a. menjadikannya sebagai tonggak dimulainya perhitungan tahun hijriyah, agar umat Islam senantiasa ingat bahwa kekuatan akidah cukup penting untuk mencapai kemenangan Islam melawan kekufuran.


Kendatipun hijrah dari Makkah ke Madinah telah berlalu, namun esensinya masih tetap abadi sampai kiamat. Ia akan tetap menjadi pelita penerang bagi perjuangan dan dakwah umat Islam dalam menghadapi berbagai tantangan dan krisis.

Dalam kitab Sahih Muslim, diriwayatkan bahwa Mujasyi’ bin Mas’ud as Sulamy berkata: Aku bersama saudaraku Abu Ma’bad, datang kepada Rasulullah saw setelah Fathu Makkah, seraya berkata: Ya Rasulullah, Baiatlah Abu Ma’bad untuk hijrah... Rasulullah saw menjawab : Hijrah telah berlalu bersama pelakunya(muhajirin)...Mujasyi’ bertanya: Jadi dengan apakah Engkau akan membaiatnya ? Rasulullah menjawab : Dengan Islam, jihad(perjuangan) dan berbuat kebajikan.”

Inilah tiga esensi hijrah ;Islam(penyerahan total kepada Allah), jihad (berjuang di jalan Allah) dan berbuat kebajikan. Tiga nilai ini harus kita renungkan kandungannya dan selanjutnya direalisasikan dalam kehidupan nyata kita . Di ujung atau di awal tahun hijrah ini selayaknya kita merenungi tiga hal di atas. Bila kita komitmen merealisir segitiga esensi hijrah ini secara utuh dan benar niscaya kita sebagai mayoritas umat ,akan mampu melewati saat-saat kritis sekarang ini .

Berkaitan dengan hakekat hijrah, Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda : Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat . Bila diperintah keluar berjihad fisabilillah maka berjihadlah.( H. R Jama’ah kecuali Ibnu Majah). Hadits ini menegaskan bahwa hijrah dalam artian meninggalkan Makkah menuju Madinah sudah tidak ada lagi karena Makkah sudah menjadi negri Islam. Demikian juga hijrahnya orang-orang Palestina ke negara lain atau hijrahnya orang-orang muslim Ambon ke daerah lain, semuanya itu tidak dibolehkan lagi .Sebab negara Palestina tidak akan ada lagi penduduknya yang berjuang untuk membebaskannya dari cengkeraman Israel. Begitu pula dengan kasus Kosovo, Bosnia, Chechnya, Ambon dst. Yang masih ada adalah hijrah dari suatu tempat untuk berjihad fi sabilillah atau pindah dari tempat tinggalnya karena niat yang baik seperti pindah dari negri kafir , keluar daerah untuk menuntut ilmu atau hijrah dari suatu daerah untuk menyelamatkan agamanya dari berbagai tekanan atau tindasan. Imam An Nawawi memiliki interpretasi lain berkaitan dengan hadits di atas, sbb.:Kebaikan pahala hijrah yang serupa dengan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah, tidak terulang lagi dengan dilarangnya hijrah dari kampung muslim , mungkin bisa dicapai dengan melalui jihad dan niat yang shaleh. Bila Imam (penguasa ) memerintahkan kamu sekalian keluar untuk berjihad atau melakukan amal-amal saleh lainnya hendaknya tunaikan perintah itu.”

Berdasarkan hadits-hadits di atas para ulama mengatakan bahwa hijrah secara fisik terjadi dalam dua bentuk: Pertama, hijrah dari daerah yang membahayakan akidah ke daerah aman, seperti hijrahnya umat Islam ke negeri Etiopia di awal dakwah islamiyah. Hijrah macam pertama ini perlu tapi tidak diwajibkan dan masih mungkin terjadi sampai kapanpun. Kedua, Hijrah dari negri kafir ke negri iman seperti hijrahnya Nabi dan para sahabatnya dari kota Makkah ke Madinah. Hijrah bentuk kedua ini sudah berakhir dan tidak terulang lagi dengan peristiwa Fathu Makkah.

Selain hijrah secara fisik di sana masih ada hijrah secara maknawi rohani. Hijrah ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang menyatakan sbb.: “Orang yang berhijrah sebenarnya adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah”.

Dari uraian ini, hijrah yang mungkin kita lakukan sekarang ini adalah pertama, hijrah dari daerah yang mengancam keimanan ke daerah aman dan kedua, hijrah ma’nawi rohani yaitu dengan cara meninggalkan semua larangan Allah. Jadi kita tidakmengenal konotasi hijrah yang dilukiskan sekelompok ekstrim berupa bai’at terhadap pimpinan golongannya saja. Sedangkan semua orang yang tidak berbaiat atau tidak mengikuti mereka dianggap kafir atau najis serta tidak diterima sholat dan amal-amalnya. Vonis demikian sungguh kejam!

Berhijrah sekarang ini berarti kita harus mengamalkan ajaran Islam secara utuh, berjuang fi sabilillah, berbuat ihsan dalam segenap aktifitas dan menjauhi semua larangan Allah. Seorang koruptor atau penerima suap misalnya, dianggap telah berhijrah kalau dia bertobat lalu taat beribadah , meninggalkan prilaku korupsinya dan mau mengembalikan hasil KKNnya kepada negara atau untuk kepentingan umum. Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita berhijrah ? Mari !

Artikel Terkait



1 komentar: