28 Nov 2010

Hibah

CATATAN KECIL TENTANG HIBAH
1. Pengantar.
Orang yang memiliki kekayaan diperbolehkan memberi hibah atau pemberian. Memberi dan menerima hibah amatlah dianjurkan oleh Islam, sekalipun jumlahnya tidak seberapa (Bu.51:1). Untuk kepentingan anak, orang dapat memberi hibah; tetapi orang dianjurkan untuk memberi hibah semacam itu kepada anak-anak lainnya (Bu.51:12). Suami dapat memberi hibah kepada isteri, dan isteri dapat memberi hibah kepada suami atau orang lain (Bu.51:14-15). Hibah yang diterima dari, atau diberikan kepada, orang non-Muslim diperbolehkan (Bu. 51:28-29). Orang diperbolehkan membayar ganti rugi terhadap suatu pemberian (Bu.51:11). Para ulama fiqh memperbolehkan “hibah bil-iwadl”, artinya pemberian sebagai ganti rugi, dan memperbolehkan pula “hibah bisyartil-iwadl”, artinya pemberian yang disertai dengan syarat bahwa yang diberi hibah akan memberi suatu barang kepada yang memberi hibah, sebagai balasan atas hibah itu (Muhammadan Law, oleh Ahmad Ali). Hibah itu baru sempurna apabila yang diberi hibah telah menerima hibah dan memiliki barang yang dihibahkan itu. Orang tak boleh membatalkan hibahnya setelah itu diterima oleh yang diberi hibah (Bu.51:30). Jika dalam hal wasiyat, orang hanya boleh mewasiyatkan sepertiga dari jumlah kekayaan, tetapi dalam hal hibah tidak ada pembatasan sama sekali, karena dalam hal hibah si pemilik seketika itu melepaskan haknya atas kekayaan itu, sedang dalam hal wasiyat, kekayaan itu bukan diambil dari si pemilik, melainkan dari ahli waris. (‘Bu’ di atas maksudnya Shohih Bukhori, artinya uraian di atas merupakan saduran dari beberapa hadits Bukhori)
2. Pengertian Hibah, Disyariatkan Hibah, Rukun dan Syarat Hibah; tidak dibahas dalam catatan ini.
3. Hibah kepada orang sakit yang membawa kepada kematiannya.
Apabila seseorang menderita sakit yang menyebabkan kematian, sedang dia menghibahkan harta/kekayaannya kepada orang lain, maka hukum hibahnya itu seperti wasiatnya, artinya barang yang dihibahkan itu tidak boleh melebihi 1/3 hartanya.
Apabila dia menghibahkan kepada seseorang di antara ahli warisnya, kemudian dia meninggal sedangkan ahli waris yang lain mengatakan bahwa ia menghibahkan kepadanya dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematiannya, dan orang yang diberi hibah menyatakan/ mengatakan bahwa hibah itu diberikan kepadanya di waktu orang tuanya (pemberi hibah) dalam keadaan sehat; maka orang yang diberi hibah wajib memperkuat pengakuannya. Apabila dia tidak memperkuat kata-katanya, maka dianggap hibahnya itu terjadi pada waktu sakit. Hukum yang berlaku untuk itu adalah bahwa hibah itu tidak syah, kecuali apabila diperbolehkan oleh semua ahli waris (sayyid sabiq 3 : hal 391).
4. Hibah itu dipegang di tangan.
Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur dan ahli dzohir berpendapat bahwa hibah itu menjadi hak orang yang diberi hibah hanya dengan semata-mata akad tanpa syarat harus dipegang dengan tangan sama sekali; sebab yang pokok dalam masalah hibah ini adalah bahwa perjanjian itu syah tanpa syarat harus dipegang tangan. Berdasarkan pendapat ini maka apabila pemberi hibah atau yang diberi hibah itu wafat/ meninggal sebelum penyerahkan hibah maka hibah itu tidaklah batal; karena hanya dengan akad semata-mata hibah itu telah menjadi milik orang yang diberi hibah (Sayid sabiq 3 : hal 392).
5. Menghibahkan semua harta.
Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya kepada orang lain; madzhab Hanafi mengatakan seseorang tidak boleh menghibahkan semua hartanya meskipun di dalam kebaikan, mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang safih yang harus dibatasi tindakannya.
Pengarang kitab Arraudhoh An-Nadiyyah mentahkik masalah ini dengan mengatakan : barang siapa yang sanggup bersabar atas kemiskinan dan kekurangan harta, maka tidak ada halangan (boleh) bagi dia untuk mensedehkan atau menghibahkan semua hartanya. Dan barang siapa yang menjaga dirinya dari minta-minta kepada manusia di waktu dia memerlukan, maka bagi dia tidak boleh untuk menyedekahkan semua hartanya (Sayid sabiq 3 : hal 392).
6. Diharamkan melebihkan pemberian dan kebajikan kepada sebagian dari anak-anak.
Diharamkan bagi siapapun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya dalam hal pemberian (hibah) atas anak-anaknya yang lain, karena yang demikian itu akan menanamkan permusuhan dan memutuskan silaturrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk menyambungnya. Demikian pendapat Imam Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, dan sebagian ulama-ulama maliki; mereka berkata :
“sesungguhnya melebihkan sebagian anak-anak di atas sebagian yang lainnya itu adalah perbuatan yang batil dan curang. Maka orang yang melakukan perbuatan itu hendaklah membatalkannya, karena Al-Bukhori telah menjelaskan hal ini”. Untuk hal itu mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.

سوُّوا بين أولادكم فى العطيّة، و لو كنت مفضّلا احدا الفضلت النسآء
Artinya ; “Persamakanlah di antara anak-anak mu di dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan” (HR Attobroni Al-Baehaki dan Saad Bin Mansyur dengan sanad dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath).
(Sayid sabiq 3 : hal 393)
7. Ruju’ (mengambil kembali) harta/barang yang dihibahkan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ (mengambil kembali) harta/ barang yang dihibahkan itu hukumnya haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami-istri kecuali apabila hibah itu merupakan hibah dari orang tua kepada anaknya dan yang berhak mengambil kembali barang atau harta hibah itu hanya orang yang memberi hibah atau orang tua nya tersebut, maka ruju’nya itu diperbolehkan berdasarkan riwayat ahli sunnan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda :

لا يحلُّ لرجل ان يعطي عطية او يهب هبة فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطى ولده، و مثل الّذى يعطي العطية ثمّ يرجع فيها كمثل الكلب يأكل فإذا شبع قآء، ثمّ عاد فى قيئه

Artinya : “Tidak halal bagi seseorang untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya,kecuali hibah itu adalah hibah dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian (hibah) kemudian dia menarik kembali pemberiannya itu, maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang dia muntah kemudian dia memakan muntahnya kembali” (HR Abu Daud, An-Nasai Ibnu Majjah, dan Attirmidzi dan dia mengatakan bahwa hadits itu hasan dan shoheh).
Hadits ini jelas sekali menunjukan haramnya menarik kembali barang/harta yang telah dihibahkan.

و فى إحدى الروايات عن ابن عباس "ليس لنا مثل السوء الذى يعود فى هبته كالكلب يرجع فى قيئه"

Artinya : Di dalam salah satu riwayat dari Ibnu Abbas : “Kami tidak mempunyai perumpamaan yang lebih buruk dari orang yang menarik kembali hibahnya itu selain bagaikan anjing yang memakan kembali apa yang dimuntahkannya”.
(Sayid sabiq 3 : hal 397, Ibnu Rusydi 2.2 : hal 332-333)



Sumber Pengambilan :
Fiqh Sunnah oleh Sayid sabiq
Nailul Author oleh As-Syaukani
Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusydi
Subulus Salam oleh As-Shon’ani
Dinul Islam oleh Maulana Muhammad Ali



Bandung, 12 November 2010



Drs. H. Abdurrahman

Artikel Terkait



1 komentar: