21 Apr 2010

Thoharoh oleh Drs. H Abdurrahman


BAB I
THOHAROH

1. Arti Thoharoh
Pengertian thoharoh ditinjau dari segi bahasa adalah:
النَّضَافَةُ وَالنَّزَ اهَةُ فِى اْلأَقْذَارِ وَاْلأَوْسَاخِ سَوَاءً كَانَتْ حِسِيَّةً أَوْمَعْنِوَ يَةً.
Membersihkan segala sesuatu yang kotor baik yang berwujud (seperti darah, kencing, …) maupun yang bersifat maknawi (seperti dosa).
Pengertian di atas dikemukakan oleh Abdul-Rahman Al-Jaziri dalam kitabnya: Al-Fiqhu Ala Madzahibil Arba’ah, juz I halaman 1.
Golongan Hanafiyah menjelaskan pengertian thoharoh sebagai berikut:
الطَّهَارَةُ شَرْعًا هِىَ النَّظَافَةُعَنْ حَدَثٍ أَوْحُبُثٍ يَشْهُلُ حَدَثَ اْلأَصْغَارِوَاْلأَكْبَرِ.
Thoharoh menurut syara adalah membersihkan hadats dan hubuts yang meliputi hadats kecil dan hadats besar.
Golongan Hanabilah memberikan pengertian thoharoh sebagai upaya untuk mengangkat hadats dan menghilangkan najis yang menghalangi syahnya shalat. Pengertian tersebut senada dengan pendapat Syafi’iyyah yakni:
فِعْلُ شَىْءٍ تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلاَةُ مِنْ وُضُوْءٍ وَغُسْلٍ وَتَيَمُّمِ وَإِزَالَةِالنَّجَاسَةٍ.
Thoharoh adalah: mengerjakan sesuatu yang dengan pekerjaan tersebut dibolehkan melakukan shalat, pekerjaan tersebut berupa wudlu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis.
Lawan dari thoharoh adalah najasah (najis yang menempel pada suatu tempat). Sedangkan pengertian najis adalah keadaan kotor pada tubuh, pakaian atau alat yang disebabkan oleh menempelnya benda-benda tertentu yang ditetapkan syari’at.
Adapun pengertian hadats (حَدَتٌ) ialah keadaan yang terkena kotor pada diri manusia yang disebabkan oleh perbuatan tertentu yang ditetapkan syari’at.

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa thoharoh adalah membersihkan hadats besar dan kecil yang dengan wudlu, mandi, tayamum, serta menghilangkan najis.

2. Dasar Hukum Thoharoh
Agama Islam merupakan agama yang sempurna. Bila dilihat dari salah satu aspek thoharoh misalnya, menunjukkan betapa hebatnya Islam menuntun dan menata kehidupan umat manusia hingga hal-hal yang sekecil thoharoh pun disyariatkannya dengan lengkap.
Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengisyaratkan keharusan melakukan ibadah thoharoh disertai dengan penjelasan tentang media yang bisa dijadikan sebagai alat bersuci tersebut. Allah berfirman:
•      
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. Al-Baqarah, 222).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT. sangat mencintai orang-orang yang selalu bersih baik fisik maupun rohaninya. Jika Allah sudah menyatakan cinta kasih-Nya berarti orang tersebut ada dalam keridloanNya. Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 11:
      
Dan (Allah) menurunkan air dari langit agar dapat membersihkan kamu sekalian (QS. Al-Anfal; 11).
Dengan demikian untuk beribadah kepada Allah diperintahkan tampil bersih dan dihadapan-Nya seraya taat dan patuh.
Proses kejadian manusia merupakan salah satu isyarat untuk selalu bersih dan suci. Hal ini mengingat manusia diciptakan dari saripati tanah yang bersih dan lahir dalam keadaan fitrah, (lihat kembali ayat-ayat yang menjelaskan proses kejadian manusia dalam al-Qur’an surat Al-Haj: 5).

3. Wudlu
a. Pengertian Wudlu
Dilihat dari segi lughawi wudlu berarti: الحَسَنُ وَالنَّضَافَةُ
Yaitu baik, indah, dan bersih. Wudlu berasal dari akar suku kata
ُوضُؤُ- وَضَاءَةٌ
yang berarti baik dan bersih.
حَسَنٌ وَنِضَافٌ
Menurut istilah syara’ wudlu berarti:
اِسْتِعْمَالُ اْلمَاءٍ فِى أَعْضَاءٍ مَخْصُوْصٍ بِكَيْفِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ
Menggunakan air pada anggota-anggota tubuh yang dikhususkan dan dengan cara-cara yang ditentukan.

b. Dalil Diperintahkannya Wudlu
Wudlu disyariatkan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, yang berasal dari al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah; 6:
        
       
Artinya: Hai orang-orang yang beriman jika kamu hendak menunaikan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu hingga bagian siku dan sapulah kepalamu serta basuhlah kakimu hingga mata kakimu.
Dasar kedua adalah dari sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ
Allah tidak akan menerima amalan shalat salah seorang diantaramu bila ia berhadats sampai ia melakukan wudlu. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).

c. Rukun Wudlu
Pertama-tama yang dilakukan dalam wudlu adalah niat untuk melaksanakannya. Artinya memusatkan seluruh perhatian dan fikiran, agar hati benar-benar siap untuk melaksanakan wudlu.
Anggota badan yang wajib dibasuh atau diusap adalah: membasuh muka, membasuh dua tangan, mengusap kepala, membasuh kaki sampai dengan mata kaki, ketentuan ini terdapat di dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6. Adapun bilangannya dapat dilakukan satu kali, dua kali ataupun tiga kali, sebagaimana hadits Rasulullah:
قَلَ أَبُوعَبْدُ اللهِ:وَبَيَّنَ النَّبِىُّ ص.م. أَنَّ فَرْضَ اْلوُضُوْءِ مَرَّةً مَرَّةً
Berkata Abu Abdillah: Rasulullah SAW menerangkan fardu (wajib) wudlu satu kali-satu kali (HR. Bukhari).
Sunnat berwudlu dua kali-dua kali seperti diterangkan dalam hadits:
قَلَ عَبْدُاللهِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّ النَّبِىَّ ص.م. تَوَضَّأَمَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ.
Telah berkata Abdullah bin Zaid: sesungguhnya Nabi SAW. pernah berwudlu dua kali-dua kali (HR. Bukhari).
Sunnat wudlu tiga kali-tiga kali berdasarkan contoh Rasulullah SAW.:
جَاءَ أَعْرَ بِىٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص.م. يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوْءِ فَأَرَاهُثَلاَثًا ثَلاَثاً، قَالَ: هَذَا اْلوُضُوْءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
Seorang Arab datang menemui Rasulullah SAW. menanyakan perihal wudlu. Kemudian Nabi memperlihatkannya tiga kali-tiga kali. Dan Rasulullah bersabda: “beginilah berwudlu”. Barangsiapa melebihi ini (dari tiga kali) berarti ia menyeleweng dan melampaui batas serta berbuat anaiaya. (HR. Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah).
Orang yang melaksanakan wudlu wajib melaksanakan wudlu dengan tertib dan sempurna dengan mendahulukan yang harus didahulukan, dan mengakhirkan yang harus diakhirkan, seperti tidak boleh mendahulukan membasuh kaki kemudian muka dan sebagainya. Kemudian melaksanakannya benar-benar menyempurnakan sentuhan-sentuhan air ke setiap bagian badan yang wajib dikenai, seperti menyilang-nyilang jari tangan kanan dan kiri atau menggerak-gerakan cincin apabila memakaianya. Hadits Rasulullah SAW.:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. اِبْدَأُوْاِبمَابَدَأَ اللهُ بِهِ
Telah bersabda Rasulullah SAW. memulailah dengan apa yang Allah telah memulaiNya (HR. Nasai).
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاسْبِغِى ألْوُضُوْءَ
Apabila kamu akan melakukan sholat sempurnakanlah wudlu (HR. Muslim).
Dengan demikian yang wajib dalam berwudlu adalah: (1) Niat dalam hati, (2) Membasuh muka, (3) Membasuh dua tangan sampai dengan siku, (4) Mengusap kepala, (5) Membasuh dua kaki sampai dengan kedua mata kaki, (6) Tertib, dan (7) Menyempurnakan wudlu, membersihkan dan meratakan air ke seluruh anggota wudlu.

d. Sunnat Wudlu
Selain yang wajib Rasulullah pun mencontohkan perbuatan sunnat di dalam wudlu:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانِ ر.ع. أَنَّهُ دَعَابِاءِ نَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّتٍ فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنهُ فِى اْلإِنَاءِ، فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًاوَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَ ثً مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ إِلَى الْكَعْبَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص. م. تَوَضَّاءَ نَحْوَ وُضُوْءِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَيُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَاللهُ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
Dari Utsman bin Affan r.a. bahwa ia pernah meminta bejana lalu ia menuangkannya di atas kedua telapak tangannya tiga kali kemudian membasuhnya, lalu memasukkan tangannya yang sebelah kanan di dalam bejana. Kemudian menghisap air ke hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali, dan membasuh tangan sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya kemudian ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW. berwudlu seperti wudluku ini”. Kemudian sholat dua rokaat, lalu hatinya tidak membisikkan sesuatu (khusyu) dalam dua rokaat itu, maka Allah menampuni dosanya yang telah lalu (HR Bukhari).
Disunnatkan membaca do’a setelah melaksanakan wudlu:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Ya Allah jadikanlah aku orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan diri.
Menggosok gigi atau siwak, sebagaimana sabda Nabi SAW. yang diterima dari Abu Hurairah r.a:
لَوْ لا أَنَّ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَكُلِّ وَضُوْءٍ (رواه مالك ولهاكم)
Kalau kiranya tidak akan memberatkan umatku, tentulah kusuruh mereka untuk menggosok gigi setiap berwudlu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sunnat wudlu adalah: berkumur, menghisap air ke hidung, membaca do’a, dan menggosok gigi.

e. Hal-hal yang Membatalkan Wudlu
Hal-hal yang bisa mem-fasadkan wudlu adalah:
1) Setiap yang keluar dari salah satu lubang dua (qobul dan dubur). Yang termasuk kategori ini adalah: (a) Kencing, (b) Buang air besar; hal ini berdasar pada firman Allah SWT. surat An-Nisa 4: 43.
أَوْجَاءَ اَحَدٌمِنْكُمْ مِنَالْخَائِطِ ...
... atau jika salah seorang diantara mu keluar dari kakus. Maksudnya setelah buang air besar atau kecil.
2) Keluar angin atau kentut, berdasar pada sabda Nabi SAW:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. لاَيَقْبَلُ الله ُصَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَ ضَّأَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَ مَوْتٍ: مَالْحَدَثُ يَاأَبَاهُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْضُرَاطٌ.(البخارى ومسلم)
Allah tidak akan menerima sholat seseorang diantaramu bila ia berhadats hingga ia berwudlu. Maka seseorang laki-laki yang berasal dari Hadramaut bertanya: “Apa yang dimaksud berhadats ya Abu Hurairah? Jawabnya kentut atau berak”.
3) Keluar mani, wadi dan madzi. Sabda Rasulullah:
فِيْهِ ألْوُضُوْءُ وَلِقَوْلِ أبْنِ عَبَّاسِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا: أَمَّاالْمَنِى فَهُوَا لَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ، وَأَمَّاالْمَذْىُ فَقَالَ: أَغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْمَذَاكِيْرَكَ، وَتَوَضَّأَ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ (البيهقى فى السنن)
Ibnu Abbas r.a berkata: Adapun karena keluar mani diwajibkan mandi, dan karena keluar madzi dan wadi maka hendaklah kau basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudlulah yakni wudlu untuk shalat. (HR. Baihaqi dalam Sunan).

أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَسَّىَ ذَكَرَهُ يُصَلِّى حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Nabi SAW. bersabda bahwa siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia sholat hingga ia berwudlu terlebih dahulu (HR. Turmudzi).

4) Mandi Wajib
a. Pengertian Mandi (wajib)
Mandi menurut bahasa adalah:
اَلْغُسْلُ: اَلْفِعْلُ الَّذِى يَقَعُ مِنَ اْلإِنْسَانِ مِنْ إِرَاقَةِ الْمَاءِ عَلَى بَدَنِهِ وَدَلَكَ بَدَنَهُ.
Mandi atau al-gushlu berarti perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang dengan cara mengguyurkan air ke seluruh badannya disertai dengan menggosoknya.
Adapun alat pembersih yang berupa sabun, atau sampo jika dihubungkan dengan mandi dalam istilah fiqh disebut al-gishlu. Sedangkan media yang digunakan seperti air dalam kaitan ini disebut al-gashlu.
Menurut istilah syara mandi berarti:
هُوَاِسْتِعْمَالُ الْمَاءِ الطَّهُوْرِ فِى جَمِيْعِ اْلبَدَنِ عَلَى وَجْهٍ مَحْصُوْصٍ
Menggunakan air yang mensucikan pada sekujur badan dengan cara-cara yang ditentukan pula (Abdul Rahman: al-Jaziri I: 105).




b. Dasar Hukum Diwajibkannya Mandi
Kewajiban mandi bertolak dari perintah yang tertera pada ayat al-Qur’an surat Al-Maidah 5: 6 yaitu:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَرُوا
Maka jika kamu junub hendaklah bersuci.
Juga firman Allah surat Al- Baqoroh 2: 222:
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيضِى قُلْ هُوَأَذًى فَاعْتَزِلُواالنِّسَاءِ فِى الْمَحِيْضِى وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتىَّ يَطْهُرْنَ فَََاءِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْ هُنَّ مِنْ حَبْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَقَ ابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
Mereka bertanya kepadamu tentang haidl, jawablah bahwa itu adalah kotoran, oleh karena itu maka jauhilah mereka diwaktu haidl dan jangan dekati mereka hingga suci. Maka jika mereka telah suci kamu boleh mencampurinya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah.

c. Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi
Mandi diwajibkan karena 5 (lima) hal:
1) Keluar mani baik laki-laki maupun perempuan waktu tidur ataupun terjaga, keluarnya dengan syahwat (ladzat). Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ .م.: المَاءُ مِنَ الْمَاءِ (رواه مسلم)
Air itu disebabkan oleh air.
Juga berdasar pada hadits dari Ummu Salamah r.a.:
أَنَّ أُمُّ سُلَيْمٍ قَالَتْ: يَا رَسُوْلُ اللهِ أَنَّ اللهَ لاَيَسْتَحْىِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَمَلَتْ؟ قَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ.
Ummu Salamah bertanya: “Ya Rasulullah sesungguhnya Allah tidak merasa malu tentang kebenaran, maka wajibkah wanita itu mandi jika ia bermimpi?” Nabi menjawab: “Ya, jika ia basah”.
Hadits lain yang menopang adalah hadits yang diterima dari Ali r.a.:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. قَالَ لَهُ: فَإِذَا فَضَخَتِ الْمَاءُ فَاغْتَسِلُ (أبوداود)
Rasulullah SAW bersabda: “Jika air itu terpancar maka mandilah”.
2) Bersenggama atau memasukkan kelamin laki-laki pada kelamin wanita walau itu tidak mencapai ejakulasi. Hal ini berdasar pada sabda Nabi yang diterima dari Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. قَالَ: إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعَ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ، أَنْزَلَ أَم لَمْ يُنْزِلْ
Rasulullah telah bersabda: “jika seseorang telah berada diantara anggota tubuh yang empat (kedua tangan dan kaki istri) lalu mencampurinya, maka wajib mandi baik keluar mani atau tidak.
3) Orang muslim yang meninggal (selain syahid).
4) Terhentinya darah haidl dan nifas, berdasar pada firman Allah S. Al-Baqarah 2: 222. Termasuk dalam hal ini adalah wiladah atau melahirkan tanpa mengeluarkan darah.

d. Kaifiat atau Cara-cara Mandi
Kaifiat mandi atau cara-cara mandi yang dicontohkan atau selalu dilakukan oleh Rasulullah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah dalam hadits-haditsnya:
عَنْ عَا ئِشَةَ ر.ع. أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. كاَنَ إِذَااغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيُغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُوُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يَأْخُذُا لْمَاءَ فَيُدْ خِلُ أَصَابِعَهُ فِى أُصُوْلِ الشَّعْىِ حَتىَّ إِذَا رَأَى هُ قَدْ اسْئَيرَأ حَفَنَ عَلَى رَأسِهِ ثَلاَثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلىَ سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ عَلَى رِجْلَيْهِ.
Bahwa Nabi SAW bila mandi disebabkan janabat mulai dengan mencuci kedua tangan, lalu menuangkan air dengan tangan yang kanan ke tangan yang kirinya dan mencuci farajnya, lalu berwudlu seperti ketika mau shalat, lalu diambilnya dan dimasuk-masukkan jari-jarinya ke dalam urat rambut hingga terasa air itu telah membasahi kulit, disauknya dua telapak tangan dan disapukannya ke bagian kepala sebanyak tiga kali, kemudian dituangkannya ke seluruh tubuhnya, kemudian mencuci kedua kakinya.
وَضَعْتُ لِلنَّبِىِّ ص.م. مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ أَوْثَلاَ ثًا ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرَهُ دَلَّكَ يَدَهُ بِألأَرْضِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثً ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ قَالَتْ: فَأَتَيْتُهُ بِخِرْفَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا وَجَعَلَ يَنْقُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ.
Saya sediakan bagi Nabi SAW air untuk bersuci, maka air itu dituangkannya pada kedua tangan dan dibasuhnya dua atau tiga kali. Setelah itu dituangkannya air dengan tangan kanan ke tangan kirinya lalu membasuh bagian farajnya dan menggosokkan tangannya dengan tanah lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung. Setelah itu barulah dibasuh kepalanya tiga kali, diratakannya air ke seluruh tubuhnya. Lalu ia melangkah ke belakang dari tempat berdirinya dan membasuh kedua telapak kakinya. Aisyah berkata: maka kubawakan untuknya guntingan kain tetapi tidak diperlukannya, dan ditimbakan air dengan tangannya (HR. Jama’ah).
Berdasarkan pada hadits-hadits di atas, maka pada mandi wajib disunnatkan untuk: mulai dengan mencuci kedua belah tangan, membasuh kemaluan, berwudlu secara sempurna, lalu menuangkan air ke atas kepala tiga kali disertai menyilang-nyilangi rambut agar air menembus kulit kepala, terakhir mengalirkan air ke seluruh tubuh. Sedangkan untuk wanita ada caranya yaitu berdasarkan hadits yang diterima oleh Aisyah r.a.:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ يَزِيْدَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ ص.م. عَنْ غُسْلِ الْمَحِيْضِ قَالَ: تَأْخُذُاِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَ رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكَا شَدِيْدًا حَتىَّ يَبْلُغَ سُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمُسَّكَةً فَتَطَهَّرُبِهَا، قَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ تَطَهَّرِى بِهَا، فَقَالَتْ عَا ئِشَةُ كَأَ نَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ: تَتَّبِعَى أَثَرَا لدَّمِ. وَسَأَلْتُهُ عَنْ غُسْلِ الجَنَابَةِ قَالَ: تَأْ خُذِى مَا ءَكِ فَتَطَهَّرِيْنَ فَتُحْسِنِيْنَ الطَّهُوْرَ أَوْأَبْلَغِ الطّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْ لُكُهُ حَتىَّ يَبْلُغَ سَئُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيْضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ فَقَالَتْ عَا ئِشَةُ: نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلاَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ الحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِى الدَِيْنِ (روه الجماعه إلالترميذى)
Bahwa Asma binti Yazid menanyakan kepada Nabi SAW tentang cara mandi wanita haid, maka Rasul berkata: hendaklah ia mengambil air dengan daun bidara, lalu berwudlu dengan sebaik-baiknya lalu hendaklah ia menimbakan air ke atas kepala dan menggosoknya hingga keras hingga sampai ke urat-urat rambut lalu menuangkan air ke atasnya. Setelah itu hendaklah mengambil seutas tali yang diberi minyak wangi lalu bersuci dengan itu. Asma bertanya lagi: lalu bagaimana caranya bersuci? Subhanallah! Bersucilah dengan itu! Kata Rasul. Maka Aisyah berkata dengan bisikan “Gosokkan kepada bekas darah”. Kemudian ditanyakan kepada Nabi tentang mandi janabah, maka Nabi menjawab: ambil air lalu berwudlu dengan baik atau hingga selesai kemudian hendaklah timbakan air ke atas kepala dan gosok hingga sampai ke urat-urat lalu timbakan lagi dengan air ke atasnya. Berkata Aisyah: Wanita Anshor adalah sebaik-baiknya wanita! Mereka tidak malu-malu untuk menyelami agama.

e. Mandi Sunnat
1) Mandi pada hari Jum’at
Alasan yang dijadikan dasar atas hukum mandi Jum’at sunat adalah hadits yang diterima dari Abu Hurairah r.a.:
مَنْ تَوَ ضَّأَ فَأَ حْسَنَ ألْوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَانْصَتَ غُفِرَلَهُ مَابَيْنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَ ثَةِ أَيَّامٍ (روه مسلم)
Barang siapa yang berwudlu kemudian menyempurnakan wudlunya itu kemudian ia datang menghadiri shalat jum’at dan diam mendengarkannya, diampunilah kesalahannya dari jum’at yang lalu sampai jum’at itu dengan tambahan tiga hari.
2) Mandi pada dua hari raya.
3) Mandi bagi yang memandikan mayat.
4) Mandi ihram, mandi ketika memasuki kota Mekkah.
5) Mandi ketika hendak wukuf di Arafah.

5) Tayamum
a. Pengertian Tayamum
Arti tayamum menurut Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (Lathifah Dahlan, hal: 23) menjelaskan:
التَّيَمَمُ فِى اللُّغَةِ: اَلْقَصْدُ، وَفِى الشَرْعِ: اَلْقَصْدُ إِلَى الصَّعِيْدِ لَمِسْعِ ألْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ بِنِيَّةٍ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ وَنَحِوْهِ.
Tayamum menurut arti bahasa ialah bermaksud (menyengaja). Arti tayamum menurut syara ialah bermaksud mengenakan tanah untuk mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan niat untuk melaksanakan shalat dan selainnya. (Nailul Authar, hal 321).

b. Dasar Hukum Disyariatkannya Tayamum
1) Dalil Al-Qur’an surat An-Nisa 4: 43:
                         •    • 
Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang diantara kamu buang air besar atau bersenggama dengan istri lalu tidak mendapatkan air, maka hendaklah bertayamum dengan tanah yang baik, yakni sapulah muka dan kedua tanganmu.


2) Dalil Hadits, diterima dari Abu-Umamah:
وَأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. قَالَ: جُعِلَتِ اْلأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُِمَّتِى مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا، فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِى الصَّلاَةُ فَعِنْدَهُ طَهُوْرُهُ.
Bahwa Rasulullah bersabda: seluruh bumi dijadikan bagiku dan bagi umatku sebagai mesjid dan alat bersuci, maka di mana saja kamu shalat akan menemui salah seorang diantara umatku di sisinya terdapat alat untuk bersuci.
.
c. Sebab-sebab Dibolehkannya Tayamum
Allah SWT tidak memberi kesukaran atau membebani manusia dengan beban yang berat, tetapi Allah memberi kemudahan-kemudahan dalam agama bagi manusia untuk menjalankan ibadah kepada-Nya.
Tayamum dibolehkan sebagai pengganti wudlu dan mandi atau dengan kata lain bagi orang yang berhadats kecil dan besar.
Yang menyebabkan orang boleh tayamum adalah:
1) Jika seseorang tidak memperoleh air, atau air itu ada tetapi tidak mencukupi untuk bersuci. Ini berdasar pada sabda Nabi dari Imran bin Husen r.a.:
كُنَّامَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص.م.فِى سَفَرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ، فَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ فَقَالَ: مَامَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّى؟ قَالَ: أَصَابَتْنِى جَنَابَةٌ وَلاَمَاءَ قَالَ: عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ فَأِنَّهُ يَكْفِيْكَ (روه الشيخان)
Ketika itu kami sedang ada dalam perjalanan bersama Rasulullah SAW. Ia shalat bersama umat, maka ketika ada seorang laki-laki yang mengucilkan diri, Nabi bertanya: “Mengapa anda tidak shalat?” Ia menjawab: “Saya sedang dalam keadaan janabat sedangkan air tidak ada”. Maka Nabi berkata: “Pergnakanlah tanah karena itu sudah mencukupkanmu”.
2) Jika ada luka atau ditimpa sakit dan merasa khawatir akan semakin berat resikonya apabila terkena air, maka dibolehkan tayamum. Rasulullah SAW bersabda:
... إِنَّمَاكَانَ يَكْفِيْهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرُ أَوْيُعْصِبُ عَلَى جَرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحُ عَلَيْهِ وَيَغْسِلُ سَائِرَ جَسَدِهِ (ابوداود وابن هاصه)
... cukuplah bagi orang itu bertayamum dan mengeringkan lukanya atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya kemudian membasuh.
3) Jika air sangat dingin dan dia menduga dengan dugaan yang sangat kuat bahwa air itu akan membahayakannya jika dipakai, dengan syarat ia tidak sanggup untuk memberi upah untuk memanaskannya.
4) Jika ia khawatir akan keselamatan dirinya, kehormatan atau harta karena air itu berada di dekat musuh atau ia dipenjara.
5) Bila air itu sangat dibutuhkan oleh orang atau binatang untuk minum.
6) Jika dalam safar.


d. Syarat Tanah yang Digunakan untuk Tayamum
Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa tayamum itu dengan sha’id yakni bisa berupa tanah, batu, atau pasir. Disyaratkan harus suci dan mensucikan. Jika tanahnya kotor maka tidak syah.

e. Kewajiban Tayamum
Yang termasuk fardlu tayamum adalah:
1) Niat melaksanakan tayamum dalam hati.
2) Menepuk tanah yang bersih (suci) dengan kedua tangan.
3) Mengusap seluruh wajah walau dengan tangan yang satu. Janggut termasuk ke dalam wilayah wajah walaupun panjang. Selain itu juga kumis.
4) Mengusap dua tangan sampai ke pergelangan. Hal ini berdasar pada hadits Nabi SAW:
أَجْنَيْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ، فَتَمَعَّكْتُ فِى الصَّعِيْدِ وَصَلَّيْتُ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ ص.م. فَقَالَ: إِنَّمَايَكْفِيْكَ هَكَذَا مَا ضَرَبَ النَّبِىُّ ص.م. بِكَفَّيْهِ اْلأَرْضَ وَتَنَفَّخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ (رواه الشيخان) وَفِى لَفْظٍ آخَرَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَضْرِبَ بِكَفَّيْكَ فِى التُّرَابِ ثُمَّ تَنَفَّخَ فِيْهِمَا ثُمَّ تَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ إِلَى الرُّسْغَيْنِ (روه لدارالقطنى)
Aku junub dan tidak mendapat air, maka aku berguling-guling di tanah lalu shalat, kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi SAW., maka Rasul bersabda: “Cukup bila anda lakukan seperti ini; dipukulkannya kedua telapak tangannya”. Dan pada riwayat hadits lain itu berbunyi: “ Cukup bila kau pukulkan kedua telapak tanganmu ke tanah lalu tiupkan dan sapukan ke muka dan kedua tanganmu sampai pergelangan”.

6) Masalah Haid
Darah haid adalah darah yang keluar dari fajri perempuan dalam keadaan sehat, bukan karena melahirkan anak ataupun pecah selaput dara.

a. Waktu Haid
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa haid itu takkan terjadi sebelum anak perempuan mencapai umur 9 tahun. Jadi kalau ia melihat dari fajrinya keluar darah, padahal umurnya belum mencapai 9 tahun, itu bukan darah haid, tapi darah penyakit.
Keluarnya darah ini biasanya berlangsung tiap bulan sekali sampai masa monopause. Dalam hal ini tidak adadalil yang menunjukkan adanya batas umur tertentu bagi berhentinya darah haid. Jadi sekalipun sudah tua, apabila masih melihat keluarnya darah dari fajrinya, itupun masih tergolong darah haid. Dalam masalah ini, ulama telah berbeda pendapat.

b. Madzhab Maliki
Para ulama dalam madzhab maliki mengatakan, bila seorang gadis remaja antara 9-13 tahun telah mengeluarkan darah, maka hendaklah ia menanyakan hal itu kepada kakak-kakaknya yang telah dewasa dan lebih berpengalaman, apakah itu haid atau bukan. Kalau mereka memastikan itu haid atau ragu-ragu, maka anggaplah itu adalah darah haid. Tapi kalau mereka memastikan itu bukan haid, maka pendapat mereka patut diikuti, jadi itu Cuma darah penyakit. Dan boleh juga menanyakan kepada seorang dokter yang berpengalaman dan terpercaya.
Adapun darah yang keluar dari mereka yang berumur lebih dari 13 sampai dengan 50 tahun, itu sudah pasti darah haid.
Kemudian darah yang keluar dari mereka yang berumur lebih dari 50 sampai 70 tahun, patut ditanyakan kepada kaum wanita yang lain, dan pendapat mereka harus diikuti. Sedang yang keluar dari wanita yang melebihi umur 70 tahun, dapat dipastikan itu bukan haid lagi, tapi darah istihadlah. Dan begitu pula darah yang keluar dari gadis kecil yang belum mencapai umur 9 tahun.

c. Madzhab Hanafi
Darah yang keluar dari anak perempuan umur 9 tahun, adalah darah haid, demikian pendapat yang patut dipilih dari para ulama madzhab Hanafi. Jadi ia wajib meninggalkan puasa dan shalat. Demikian seterusnya tiap bulan sampai tua dimana ia takkan berharap dapat haid lagi, yaitu jika telah mencapai umur 55 tahun menurut pendapat yang terpilih dalam madzhab ini. Artinya bagi wanita yang umurnya lebih dari 55 tahun tapi masih juga mengeluarkan darah, maka darah itu bukanlah darah haid, kecuali jika ternyata darah itu warnanya kuat, yakni hitam atau merah tua, barulah dianggap darah haid.

d. Madzhab Hambali
Batas umur iyas, di mana wanita boleh menganggap dirinya tidak akan kedatangan lagi haid, adalah umur 50 tahun. Jadi kalau sesudah itu ia masih juga melihat darah yang keluar dari fajrinya, itu tidak dianggap darah haid, sekalipun nampaknya darah yang kuat warnanya.



e. Madzhab Syafi’i
Tak ada batas akhir bagi umur haid wanita. Jadi haid itu kapan saja bisa datang selagi wanita itu masih hidup, sekalipun pada umumnya ia akan berhenti pada usia 62 tahun, yaitu yang umum disebut masa iyas (masa putus dari haid).

f. Sifat Darah Haid
Di antara sifat-sifat yang dapat dijadikan patokan bagi darah haid adalah bahwa darah itu nampak hangus hampir berwarna hitam, berbau busuk.

g. Warna Darah Haid
Namun demikian ada warna-warna lain bagi darah haid, selain sifat umum yang dijadikan patokan tersebut di atas, warna-warna mana bisa disaksikan oleh wanita yang bersangkutan selama dalam masa haidnya, yang umumnya ada 6 macam, yaitu hitam, merah, kuning, keruh, hijau, dan kelabu.
Darah yang berarna hitam atau merah, para ulama sepakat bahwa itu adalah darah haid, berdarakan hadits berikut:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِى جَحْشٍ: أَنَّهَا كاَنَتْ تُسْتَهَاضُ فَقَالَ لَهَاالنَّبِىُّ صلعمم: إِذَاكَانَتْ دَمُ الْحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُيُعْرَفُ، فَإِذَا كاَنَ كَذَلِكَ فَمْسِكِى عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ اْلآخَرُفَتَوَضَّئِى وَصَلِّى فَإِنَّمَا هُوَ غِرْفٌ.
“Dari ‘Urwah, dari Fatimah binti Abi Jahsy, bahwa ia mengeluarkan darah. Maka bersabda Nabi kepadanya: “Kalau itu darah haid, maka warnanya kelihatan hitam. Bila demikian halnya, maka berhentilah kamu shalat. Tapi kalau tidak demikian, maka berwudhulah lalu shalat. Karena hanyalah gangguan otot”. (HR. Abu Dawud).
Menurut Asy-Syaukani, hadits di atas merupakan dalil bahwa warna hitam itu bisa dijadikan patokan dalam meneliti sifat darah. Artinya kalau darah itu berwarna hitam, itu darah haid. Sedang kalau berwarna lain, berarti istihadhah. (Nailul Authar I: 406).
Adapun yang berwarna kuning, itu sebenarnya air yang nampak seperti nanah campur darah yang lebih kuat warna kuningnya.
Sedangkan yang keruh itu memang darah. Dan yang dimaksud adalah yang warnanya seperti air keruh. Kemudian yang kelabu, itupun darah juga yang warnanya seperti warna debu tanah. Dan mengenai kedua jenis darah ini pendapat ulama berbeda-beda.
Menurut ulama Hanafi dan Syafi’i, keduanya adalah darah haid bila keluar masih dalam masa haid, yaitu 10 hari menurut Hanafi, atau 15 hari menurut Syafi’i.
Lain halnya menurut Abu Yusuf, ia mengatakan bahwa yang keruh itu bukan haid, kecuali bila keluar sesudah keluarnya darah. Sementara itu Ibnu Hazm, Ats-Tsauri dan Al-Auza’i berpendapat, baik yang keruh maupun yang kuning keduanya sama sekali bukan haid. (Ad-Diin Al-Khalish I: 437).
Adapun yang berwarna hijau, bila wanita itu biasa haid, maka yang benar itupun haid juga. Barangkali karena kekeliruan makanan. Tapi kalau yang dilihat hanya yang berwarna hijau itu saja, sedang ia tak pernah melihat warna lain, maka itu bukan haid.

h. Lama Haid
Darah haid keluar paling sedikit tiga hari tiga malam, sebanyak-banyaknya 15 hari dan yang sedang selama 5 hari. Dalam hal ini bukan berarti harus keluar terus menerus tanpa ada hentinya selama masa-masa tersebut. Tapi bila darah terasa mulai keluar, sesudah itu reda, kemudian keluar lagi, maka semuanya dianggap haid.
Banyak hadits yang menjadi dasar dari ketentuan masa haid tersebut di atas, antara lain ialah:
عَنْ اَلرَّبِيْعِ بِنْ صَبِيْحٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا يَقُوْلُ: لاَيَكُوْنُ الْحَيْضُ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةٍ.
Dari Ar-Rabi bin Shabih bahwa dia pernah mendengar Anas (sahabat Nabi SAW) mengatakan: “Haid tak lebih dari 10 hari”.
Dalam pada itu Syaikh Mahmud Khittab As-Subki mengatakan: “Tidak diragukan lagi, bahwa masa haid yang tiga atau sepulu hari itu tidak dipersyaratkan keluarnya darah terus menerus selama itu tanpa ada hentinya. Tapi yang penting darah itu keluar pada awal dan akhir masa haid. Bahkan kalau seorang wanita melihat dirinya mengeluarkan darah pada saat terbit fajar di hari Sabtu umpamanya, dan darah itu terus menerus keluar dan baru berhenti ketika terbenam matahari pada hari Senin, itu bukanlah darah haid. (Ad-Diin Al-Khalis I: 440).
Kemudian dari ‘Utsman bin Abi Al-‘Ash r.a. bahwa dia mengatakan:
الحَائِضُ إِذَا جَاوَزَتْ عَشَرَةَ أَيَّامٍ فَهِىَ بِمَنْزِ لَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ تَغْتسِلُ وَتُصَلِّى
Bila wanita mengeluarkan haid lebih dari sepuluh hari, maka kedudukannya seperti wanita yang istihadhah. Dia wajib mandi lalu shalat.

i. Nifas
Sehabis melahirkan, wanita biasanya masih mengeluarkan darah. Darah yang keluar dari farji wanita sehabis melahirkan anak, ataupun darah yang keluar sesudah keluarnya sebagian besar anak, sekalipun hanya berupa anak guguran asal sudah nyata sebagian bentuknya, itu disebut nifas.

j. Lama Nifas
Masa nifas paling lama adalah 40 hari. Dan tidak ada ketentuan berapa lamakah masa nifas yang paling singkat. Karena untuk mengetahui nifas memang tidak diperlukan tanda lain selain melahirkan anak.
Dalam pada itu ada pendapat lain mengenai masa nifas ini. Menurut madzhab Syafi’i, masa nifas yang paling lama adalah 60 hari. Sedang 40 hari adalah yang dialami oleh umumnya kaum wanita. Dan begitu pula madzhab Maliki berpendapat bahwa masa nifas yang terpanjang adalah 60 hari.

k. Masa Nifas dari Anak Kembar
Bila ada seorang ibu yang melahirkan anak kembar, maka nifas dihitung sejak kelahiran anak pertama, bukan dari yang kedua. Artinya sekalipun antara anak yang pertama dengan yang kedua ada beda waktu beberapa saat, maka masa nifas itu tetap dihitung sejak kelahiran anak pertama, alaupun beda waktu itu umpamanya sampai mencapai sepanjang masa nifas yang yang paling lama.
Jadi andaikata ada seorang ibu melahirkan seorang anak, dan sesudah 40 hari lahir lagi anak yang kedua, maka darah yang keluar sesudah melahirkan anak yang kedua ini, adalah darah penyakit tidak dianggap darah nifas. Tapi baiklah kita lihat bagaimana pendapat para ulama pada masing-masing madzhab.
Dalam madzhab Syafi’i bila seorang ibu melahirkan anak kembar, maka nifasnya dihitung dari kelahiran anak kedua. Sedang darah yang keluar sehabis melahirkan anak yang pertama, tidak dianggap darah nifas, tapi darah haid bila bertepatan dengan saat datangnya haid seperti biasanya setiap bulan. Sedang jika tidak demikian, maka dianggap darah penyakit.
Adapun menurut madzhab Maliki, dalam masalah kelahiran anak kembar, bila beda waktu antara dua kelahiran itu sampai 60 hari masa nifas terpanjang menurut madzhab Maliki, maka nifasnya sendiri-sendiri. Tapi kalau beda waktu itu kurang dari 60 hari, maka nifasnya hanya satu dan dihitung dari kelahiran anak yang pertama.

l. Terhentinya Darah Selama Masa Nifas
Keluarnya darah selama masa nifas, bagi beberapa wanita kadang-kadang tidak lancar. Umpamanya sehari keluar sehari tidak. Menanggapi masalah ini, pendapat para ulama bisa kita lihat sebagai berikut:
Dalam madzhab Hanafi, terhentinya darah yang menyela-nyelai keluarnya yang tidak teratur selama masa nifas, masih terhitung nifas, sekalipun terhentinya itu sampai melebihi 15 hari.
Dan demikian pula madzhab Syafi’i, masih menganggap nifas, jika terhentinya hanya 15 hari, yakni menurut pendapat yang lebih kuat dalam madzhab ini. Tetapi kalau sudah melahirkan sma sekali tidak keluar darah, dan sesudah itu ditunggu sampai 15 hari juga tidak keluar darah sama sekali, maka hari-hari itu semua dianggap suci. Dengan demikian, seluruh kewajiban yang tertinggal selama itu wajib diqadha. Adapun kalau sesudah itu kemudian ke luar darah, maka darah itu darah haid. Jadi dalam kasus seperti ini wanita itu tidak bernifas sama sekali.
Sedang menurut madzhab Maliki, kalau terhentinya darah itu mencapai setengah bulan, itu dianggap suci. Dan darah yang keluar sesudah itu adalah darah haid. Tapi kalau terhentinya itu kurang dari setengah bulan, maka darah yang keluar selanjutnya terhitung darah nifas. Kemudian diadakan perhitungan, berapa harikah hari-hari yang mengeluarkan darah. Bila hari-hari yang mengeluarkan darah itu telah sampai 60 hari masa nifas terpanjang dalam madzhab maliki, itu berarti masa nifas telah habis.

m. Istihadhah
Istihadhah ialah darah yang keluar dari bagian bawah rahim pada waktu selain haid atau nifas. Jadi darah yang keluar melebihi masa haid atau nifas terpanjang, atau kurang dari masa haid atau nifas terpendek, itulah darah istihadhah. Dan juga darah yang seluar dari perempuan sebelum mencapai umur dewasa (9 tahun).
Penderita istihadhah (mustahadhah) adalah termasuk mereka yang kena udzur, seperti penderita mimisan, beser, dan lain-lain.
Darah istihadhah ada 6 (enam) macam yaitu:
1. Darah yang keluar kurang dari ukuran masa haid yang terpendek.
2. Yang keluar dari ukuran masa haid terpanjang.
3. Yang kurang dari ukuran masa nifas terpendek.
4. Yang melebihi ukuran masa nifas terpanjang.
5. Yang melebihi kebiasaan haid dan nifas yang sudah-sudah, yakni melebihi kebiasaan keduanya yang terpanjang; yang kalau tidak terjadi demikian maka disebut haid atau nifas.
6. Menurut Ahmad dan para ulama Hanafi, termasuk juga darah yang keluar dari wanita hamil karena tersumbatnya mulut rahim.

n. Hukum Darah Istihadhah
Istihadhah adalah peristiwa yang tidak menentu kesudahannya. Oleh karena itu bukan merupakan penghalang (mani’) bagi shalat, puasa, dan ibadat-ibadat lain yang tidak boleh dilaksanakan ketika haid atau nifas. Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَائَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِى حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِىِّ ص.م. فَقَالَتْ إِنِّى إِمْرَأَةُ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ لَهَا: لاَ، اِجتَنِبِى الصَّلاَةَ أَيَامَ مَحِبْضَكِ، ثُمَّ اغْتَسِلِى وَتَوَضَّئِ لِكُلِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّى وَإِنْ فَطَرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيْرِ.
Dari Aisyah ra. Dia berkata: “Fatimah binti Abi Hubaisy pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya: “Sesungguhnya saya ini menderita istihadhah hingga aku tak kunjung bersih, haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka sabda Rasulullah kepadanya: “Jangan! Tinggalkanlah shalat (hanya) pada hari-hari (yang biasanya) kau haid saja. Kemudian mandilah dan berudhu tiap kali hendak shalat. Kemudian tetaplah shalat, sekalipun darah menetes pada tikar”.
Menurut Asy-Syaukani, hadits di atas hanya menunjukkan wudhu untuk setiap shalat, sedang mandi hanyalah mandi wajib dilakukan satu kali saja ketika habis masa haid, sekalipun darah masih mengalir.

o. Hukum Melakukan Hubungan dengan Wanita Istishadhah
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: كَانَتْ أُمُّ حَبِيْبَةَ تُسْتَحَاضَ وَكَانَ زَوْجُهَا يَغْشَاهَا.
Dari Ikrimah ra. berkata: “Ummu habibah menderita istishadhah, sedang suaminya tetap menyetubuhinya”.
Dari Ikrimah ra. berkata: “Ummu Habibah menderita istihadhah, sedang suaminya tetap menyetubuhinya”.
Hadits di atas menunjukkan tentang bolehnya bersetubuh dengan wanita-wanita mustahadhah sekalipun darah masih mengalir. Demikian pendapat jumhur yang diriwayatkan pula oleh Ibn Al-Mundzir dari Ibnu ‘Abbas, Ibn Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, ‘Atha, Sa’id bin Jabir, dan lain-lain.
Akan tetapi ada juga yang mengharamkan perbuatan tersebut di atas, berdasarkan riwayat Al-Khallal dengan sanad sampai ke ‘Aisyah ra. beliau berkata:
المُسْتَحَاضَةُ لاَ يَغْشَاهَا زَوْجَهَا
Wanita mustahadhah tidak boleh disetubuhi suaminya.
Mereka memandang bahwa dalam darah istihadhah itu ada penyakit, maka haram pula menyetubuhi wanita mustahadhah seperti halnya wanita haid. Bukankah larangan Allah terhadap persetubuhan di waktu haid memuat penakit? Sedang penyakit itu terdapat juga dalam darah istihadhah. Maka dapat ditetapkan wanita mustahadhahpun haram disetubuhi.
Hanya menurut yang zhahir (tersurat) dari hadits di atas, memang tak ada halangan untuk menyetubuhi wanita mustahadhah. Namun demikian menghindarinya tentu lebih utama, karena penyakit yang ada pada darah haid juga terdapat pada darah isihadhah, sekalipun hanya sebentar saja. Jadi baiklah menghindari persetubuhan selama masa yang sebentar itu demi keselamatan bersama, dan sesudah itu bolehlah bersetubuh karena penyakit telah pergi. Dan tentu Allah juga yang Maha Tahu.

p. Darah yang Keluar Waktu Hamil
Para Fuqaha berselisih pendapat mengenai darah yang keluar dari wanita hamil, apakah termasuh haid ataukah istihadhah.
Menurut ulama Hanafi, wanita hamil takkan pernah mengalami haid. Dan bila suatu saat mengeluarkan darah, maka darah itu darah rusak, kecuali bersama itu dia merasakan sakit sebagaimana orang yang yang melahirkan anak. Darah yang keluar dalam kondisi demikian, barulah mereka itu dianggap darah haid. Sedang menrut yang lain itu darah nifas.
Imam Malik berkata: “Darah yang keluar dari wanita hamil adalah darah haid. Bila umur kandungan telah lebih dari dua bulan sampai enam bulan, maka masa haid yang terpanjang ialah 30 hari. Bila umurnya telah melebihi 6 bulan, maka haid terpanjang adalah 30 hari”.
Lebih dari itu semua, bila masih keluar juga maka itu tak lain adalah darah istihadhah. Bagi yang mengalaminya ia wajib melakukan shalat, berpuasa, dan boleh disetubuhi, sekalipun darah mengalir terus. Dan hal ini adalah dalam kaitannya dengan soal ibadat. Adapun dalam masalah ‘iddah maka yang menjadi pedoman adalah lahirnya anak.
Sedangkan dalam madzhab Syafi’i, darah yang keluar sewaktu hamil termasuk haid juga, asal tidak kurang dari sehari semalam dan tidak lebih dari 15 hari. Karena haid adalah darah yang tidak bisa dicegah oleh menyusuinya anak, maka demikian pula tak bisa dihalangi oleh mengandung anak. Hal ini yang dimaksud dalam kaitannya dengan selain ‘iddah. Sedang mengenai ‘iddah, patokannya adalah lahirnya anak.

q. Penundaan Haid
Allah menciptakan manusia baik itu laki-laki maupun perempuan dengan kodratnya masing-masing. Allah menciptakan segala ciptaannya itu tidak dengan coba-coba atau main-main.
Allah maha Pengasih dan maha Penyayang tanpa ada pilih kasih. Allah telah menciptakan wanita, dan wanita itu menurut ketentuannya harus haid, Allah maha Mengetahui tentang faedah dan manfaatnya haid itu, dan Allah tidak mungkin berbuat aniaya.
Melakukan penundaan haid dikhawatirkan bisa membahayakan bagi wanita itu sendiri karena dengan merubah sistem yang telah ditetapkan oleh Allah yang maha Tahu. Akan tetapi hukum Islam tidak kaku. Dalam setiap ketentuan Allah itu selalu ada jalan keluar ketika dihadapkan dengan kesulitan. Di dalam hukum Islam dikenal ada yang disebut ruhshah. Oleh karena itu Allah telah menetapkan bahwa:
1. Haid itu adzi.
2. Haid dapat menimbulkan perubahan hukum.
3. Dalam keadaan terpaksa boleh melakukan perbuatan yang terlarang.
4. Tidak boleh menjatuhkan diri kepada kebinasaan.
Dengan pertimbangan di atas, maka:
1. Menunda haid tanpa ada alasan yang kuat atau tidak dalam keadaan darurat, tidak boleh.
2. Menunda haid, untuk kepentingan ibadah kepada Allah seperti shalat, shaum, tidak dibolehkan sebab tidak terlihat keadaan daruratnya.
3. Menunda haid bagi jemaah haji agar dapat melaksanakan thawaf sebagai rukun haji itu dapat dibenarkan, sebab pada saat itu bisa dirasakan keadaan daruratnya.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar