Dulu,
ketika saya masih duduk sebagai mahasiswa di fakultas ekonomi, dan sempat
dibombardir
oleh ide-ide besar ala banyak ekonom seperti Keynes dan manusia
sejenis,
tiba-tiba merasa diinteruspi pikirannya oleh E.F Schumacher melalui
karyanya
yang berjudul "Kecil Itu Indah". Anda bayangkan, pikiran yang biasa
diajak
untuk
mempermainkan variable-variabel yang ditujukan untuk memperbaiki hal-hal
besar,
tiba-tiba dibelokkan secara mendadak untuk mencermati sekumpulan hal
yang
relatif "kecil".
Entah
apa ukuran dan kriteria Anda dalam menilai keberhasilan perekonomian, kalau
ukurannya
pertumbuhan, dan ini yang dikhotbahkan
banyak ekonom, tentu saja ide-ide
ala
Schumacher tidak layak untuk dilirik dan diperhatikan. Namun, bila kita mau
belajar
dari runtuhnya sejumlah perekonomian yang tidak berakar dalam pada
karakteristik
dasar masyarakat setempat, cerita jadi lain lagi. Dan harus diakui,
dalam
wacana manapun, selalu ada perimbangan dari setiap pro kontra.
Demikian
juga
wacana tentang basis utama perekonomian suatu masyarakat.
Tanpa
berniat mau memperpanjang pro kontra yang
belum berakhir di atas, kita di
Indonesia
dihadapkan pada serangkaian kenyataan yang mudah mengundang
paradoks.
Ketika krisis total terjadi, mereka yang berdiri di depan dalam barisan
orang-orang
yang mengeruk uang negara melalui bantuan likuiditas Bank Indonesia,
hampir
semuanya termasuk dalam pengusaha dan perusahaan besar yang sengaja
dibesarkan
penguasa rezim orde baru. Sampai ketika tulisan ini dibuatpun, barisan
perusahaan
dan pengusaha tadi sebagian dalam proses penanganan oleh aparat.
Dan
kalau kontribusi manusia-manusia bermasalah ini dihitung perannya terhadap
perekonomian
ketika orde baru masih berkibar, tentu saja porsinya masuk dalam
klasifikasi
besar.
Sebaliknya,
ketika indikator-indikator perekonomian menunjukkan angka-angka
menyedihkan,
Indonesia dihadapkan pada sekumpulan penyelamat perekonomian
yang
dulunya tidak pernah diperhitungkan dan disentuh kebijakan-kebijakan besar:
usaha
kecil dan menengah. Demikian juga dengan dunia perbankan. Bank-bank
besar
nan menjulang memang diinjeksi uang dalam jumlah yang tidak bisa
diperkirakan
oleh pemain kecil menengah. Kalau dukungan pemerintah memang
merupakan
satu-satunya tenaga kemajuan, mungkin Indonesia adalah salah satu
negara
yang mbalelo dalam hal ini. Bagaimana tidak menyimpang dan melanggar
kaidah,
kalau pihak-pihak yang dijejali dana dan dukungan terbukti menjadi beban.
Sedangkan
mereka yang jauh dari hiruk pikuk lobi-lobi agar dibantu pemerintah,
justru
tampil sebagai penyelamat ketika negara dan bangsa ini terpuruk. Tidak
pernah
bisa dibayangkan, bagaimana nasib Indonesia ketika krisis paling dalam
terjadi,
kalau ia tidak diselamatkan pemain-pemain kecil menengah.
Data-data
mikro saya sebagai konsultan manajemen menunjukkan, justru industri-industri
dengan
perputaran uang kurang dari lima ratus milliard setahun, tampil ke
depan
sebagai penyelamat perekonomian dan pengangguran.
Perusahaan penjualan
langsung
Tupperware pertumbuhannya mencapai puncaknya ketika tahun 1998
(tahun
paling mengerikan dalam rangkaian krisis ekonomi Indonesia). Sekaligus
menampung
limpahan penganggur dari banyak industri yang ketika itu lagi sekarat.
Demikian
juga bank, mereka yang bisa masuk kategori "A" di tahun-tahun
mengagetkan
tadi hampir semuanya datang dari pemain-pemain yang dari besarnya
asset
hanya mengundang lirikan sebelah mata. Belum lagi industri-industri kecil ala
kafe
tenda yang di kota besar seperti Jakarta tadinya menjamur di mana-mana. Ia
tidak
saja tampil sebagai penyelamat perut dari kelaparan, tetapi juga sebagi safety
valve
masyarakat yang dari banyak segi bisa disebut genting ketika itu.
Derajat
representasi dari data-data mikro memang layak dipertanyakan. Yang jelas,
kecenderungan
mbalelo ini tidak saja menjadi monopoli Indonesia, sahabat saya di
Italia
Utara sana juga bertutur hal serupa. Di mana industri-industri kecil menengah
yang
jauh dari jangkauan dan sentuhan kebijakan-kebijakan "besar"
pemerintahlah
yang
menjadi tumpuan masa depan yang meyakinkan.
Bercermin
dari sini, mungkin sudah saatnya untuk memikirkan kembali keangkuhan
dan
arogansi variable-variabel "besar" dalam perekonomian. Apa lagi,
keangkuhan
dan
arogansi terakhir diikuti oleh kesombongan pemerintah, bahwa dialah satu-satunya
produsen
masa depan. Banyak krisis sudah bertutur, bangsa dengan
rakyatnya
bukanlah bebek-bebek yang dengan mudah bisa digerakkan variable-variabel
"besar"
ketika berjalan ke depan. Meletakkan rakyat hanya sebagai obyek
variable-variabel
besar, sudah banyak terbukti, hanya memproduksi perusahaan dan
pengusaha
yang memperpanjang ketergantungannya pada penguasa ketika gerbang
krisis
terbuka. Bila dalam perusahaan dan pengusaha menengah kecil yang kebal
bantingan
perekonomian, berlaku kaidah "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian".
Atau, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Krisis ekonomi
Indonesia
mengajarkan, arogansi variabel besar yang demikian asiknya dimainkan
oleh
rezim orde baru, memproduksi kaidah berusaha yang lain lagi: berakit-rakit ke
hulu,
berenang-renang ke Singapore. Artinya, memperoleh kredit dulu, setelah itu
kabur
ke Singapore.
Kita
patut bersyukur dan berterimakasih kepada mereka yang tidak hanya bertahan,
tetapi
tampil sebagai penyelamat. Terutama karena modal berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang
ke tepian. Kita juga patut merenungkan, akankah rezim sekarang
tetap
memproduksi pengusaha yang besar dengan kaidah "berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang
ke Singapore" ?
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar